“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.
Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.
“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.
“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.
Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”
Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.
“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.
Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ada orang yang bersedih. Terutama Anin.
“Kalau aku kasih saran, apa kamu mau menurutinya?” tanya Jonan.
“Kalau kamu meminta aku buat ninggalin Bagas, aku belum bisa,” kata Anin.
Tentu saja Jonan sontak menggaruk tengkuknya sendiri. “Sejujurnya, cuma itu cara supaya kamu lepas dari Bagas.”
Selain karena Anin bertahan karena memang sudah tidak memiliki siapa-siapa, tapi Anin juga memiliki kekhawatiran lain. Anin tahu tujuan Bagas yang lain. Yaitu, Bagas tak mungkin menceraikan Anin sebelum mendapat perusahaan yang katanya milik ayahnya.
“Nggak semudah itu untuk bisa lepas dari Bagas,” kata Anin lirih. Wajahnya mendadak menunduk sambil tangannya memeluk kedua lututnya.
Melihat Anin hampir menangis, Jonan merapatkan posisi duduknya. Satu tangannya perlahan naik dan berhasil merangkul pundak Anin. Bukan menolak, Anin justru mendaratkan kepala di dada Jonan.
“Aku capek,” lirih Anin. “Aku sangat capek, Jonan.” Isak tangis mulai terdengar.
Selain karena tak tega, Jonan paling tak kuat melihat Anin menangis seperti ini. Jonan memiliki rasa yang tentunya Anin tidak tahu.
“Jonan,” panggil Anin lirih. Wajahnya mendongak dan mata sembabnya menatap wajah Jonan.
Jonan lantas menunduk. “Apa?” saur Jonan sambil menyusuri wajah Anin yang terlihat begitu cantik. Dua bibir itu memancing Jonan untuk segera menyentuhnya.
“Apa Bagas suatu saat bisa cinta padaku?” tanya Anin. “Apa justru Bagas akan membuangku setelah mendapatkan apa yang dia mau?”
“Apa maksudnya?” batin Jonan. Kalimat kedua Anin membuat Jonan bingung.
“Apa kamu masih mencintai Bagas?” Jonan justru bertanya.
Anin menggeleng. “Aku nggak tahu. Aku nggak tahu gimana perasaanku sekarang.”
Jonan merangkul Anin lebih erat dan mendaratkan dagu di pucuk kepala Anin.
“Jonan,” panggil Anin lagi.
“Hm?” sahut Jonan yang sedang menikmati aroma wangi rambut Anin.
“Kenapa kamu peduli sama aku?”
Lagi-lagi pertanyaan Anin membuat Jonan bingung. Sebenarnya Jonan sudah berkali-kali memancing Anin supaya tahu tentang perasaannya, tapi nampaknya Anin memang kurang peka.
“Aku kan sudah sering bilang ...” Jonan berhenti berkata. Rangkulan Jonan lepas kemudian menangkup wajah Anin hingga sejajar dengan wajahnya. “Apa kamu masih tidak paham?”
Anin berkedip-kedip masih dengan menatap sorot mata Jonan. “Apa?”
Tak ada kalimat berikutnya, yang ada hanyalah sebuah kecupan lembut mendarat di bibir ranum Anin.
“Jonan!” pekik Anin yang sontak mundur lalu mengatupkan bibir dengan telapak tangan. “Kenapa kau—”
Jonan menarik tengkuk Anin, dan menyingkirkan telapak tangan yang menutup bibir. Selanjutnya, Jonan mendaratkan sebuah ciuman lagi yang lebih dari tadi. Intinya bukan sebuah kecupan, melainkan lumatan lembut dari bibir Jonan.
“Ini salah! Ini sangat salah.” Batin Anin. “Kenapa aku nggak melawan?” Anin masih bertempur dengan batinnya sendiri.
“Bibi kamu manis, Anin,” kata Jonan saat beberapa detik melepas pagutan tersebut untuk membiarkan Anin menghirup udara.
“Jonan!” hardik Anin kemudian dan mendorong dada Jonan hingga terjangkang.
Anin mengelap kasar bibirnya yang basah, kemudian mulai menitikkan air mata. “Kenapa kamu kaya gini sama aku?” lirih Anin sambil terisak. “Aku istri kakak kamu. Kamu nggak boleh melakukan hal ini sama aku.”
Jonan mengusap pipi Anin. “Bagas berselingkuh di luar sana, nggak adil kalau kamu hanya diam saja,” kata Jonan.
Anin menggeleng kuat. “Tapi bukan seperti ini. Ini salah, Jonan. Salah!” Anin menangis lebih keras.
“Maaf, aku minta maaf.” Jonan meraih tubuh Anin kemudian memeluknya. “Aku minta maaf, aku hanya ....”
“Kamu nggak boleh kaya gini sama aku.” Anin terus menangis sambil meremas kemeja Jonan. “Kenapa Jonan? Kenapa?”
Racauan yang diiringi tangis itu justru menaikkan hasrat yang sudah Jonan pendam. Jonan semakin tak kuat menahannya. Di tarik tengkuk Anin, mendongakkan ke atas, kemudian Jonan memberikan lumatan yang lebih ganas.
Bukan menolak, kali ini justru Anin menikmatinya. Sentuhan yang Anin inginkan selama satu tahun ini, tak bisa lagi Anin cegah. Rasa itu berontak dengan sendirinya dan melumer saat halus sentuhan Jonan menjalar.
Ini sangat salah. Anin tahu. Namun, Anin tak bisa mencegahnya untuk tidak menerima perlakukan Jonan. Tangannya yang membelai pipi, lidahnya yang lembut menyapu bibir, Anin sungguh tak bisa menolak.
Hingga pada akhirnya yang bisa Anin lakukan adalah, ambruk di dada Jonan sambil menangis. Jonan sendiri bingung harus berbuat apa. Jonan hanya bisa memeluk Anin dengan erat. Sangat erat.
Keduanya terpaku diam sambil memperbaiki deru napas yang naik turun tidak bisa terkontrol. Jantung masing-masing berdegup kencang membuktikan bahwa memang ada rasa di baliknya.
“Kalian dari mana?” tanya mama saat Jonan dan Anin memasuki rumah beriringan.
Ini baru pukul empat sore. Sepertinya hanya ada mama di sini.
“Anu, Ma.” Anin terlihat gugup.
“Aku baru antar Anin ke pemakaman kakeknya,” sahut Jonan. Jonan pastinya tahu kalau Anin masih kepikiran soal yang tadi di danau.
“Nggak diantar Bagas?” tanya mama pada Anin.
Anim tersenyum tipis sambil menggeleng. “Kalau gitu, Anin masuk kamar dulu ya, Ma,” pamit Anin.
Mama mengangguk saja. Kemudian saat Jonan hendak menyusul Anin, mama menarik lengan Jonan. “Mama mau bicara sama kamu.”
Mama menyeret Jonan ke ruang tengah.
“Apa sih, Ma?” dengus Jonan. “Aku capek, mau istirahat.”
Mama melotot. “Dengarkan mama dulu!”
Jonan kemudian membuang napas. “Apa?”
“Apa beber kamu habis ngantar Anin dari pemakaman?” tanya Mama kemudian.
Jonan mengangguk.
“Kenapa Anin nggak minta diantar sama Bagas?”
“Mamaku sayang ...,” kata Jonan sambil mencondongkan badan dan mendaratkan tangan di kedua pundak mama. “Coba deh, mama cari tahu ada apa diantara Bagas dan Anin.”
“Apa maksud kamu?” tanya mama bingung.
“Cari tahu apakah pernikahan mereka baik-baik aja atau nggak,” kata Jonan. “Tapi ingat, cari tahu tanpa mereka ketahui. Apa mama paham?”
Jonan tersenyum lalu berdiri tegak lagi. “Ingat, jangan mencurigakan. Sesekali mama dan papa emang harus bertanggung jawab dengan perjodohan kalian dulu.”
Mama terpaku diam memandangi langkah Jonan yang semakin jauh menaiki anak tangga. Ekspresi mama saat ini, tidak jauh berbeda dengan ekspresi papa malam itu.
***
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak