Share

Part 7

Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.

Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.

“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.

“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”

Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.

“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.

Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.

“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.

Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”

Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengingat-ingat apa saja pembicaraan yang diobrolkan dengan Jonan malam kemarin.

“Apa mama juga penasaran?” tanya Hanggoro kemudian.

“Tentu saja,” jawab Sasmita. “Mama penasaran dengan kata-kata Jonan yang mengatakan kalau pernikahan Bagas dan Anin sama sekali tidak bahagia. Bukankah itu aneh, Pa?”

“Itu dia,” sahut Hanggoro sambil menjentikkan jari. “Papa juga penasaran. Perasaan, mereka berdua baik-baik saja kan ya? Kenapa Jonan bisa bilang kalau pernikahan mereka ada yang salah?”

Sasmita menghela napas diikuti jari telunjuk mengusap-usap dagu. “Apa sebaiknya kita cari tahu saja, Pa?” tatap Sasmita.

“Caranya?” Hanggoro balas menatap.

Sasmita berpikir sejenak. Diam sampai beberapa detik hingga kemudian bola matanya membelalak diikuti kata ‘Aha’. Hanggoro yang sempat terkejut kemudian segera terkesiap.

“Apa, apa?” tanya Hanggoro.

Sasmita berdehem terlebih dahulu sebelum berbicara. “Jadi gini, Pa, besok malam kan peresmian Bagas sebagai pimpinan perusahaan. Mama mau papa sekalian bahas tentang penyerahan pemilik perusahaan itu.”

“Kan memang rencananya begitu, Ma,” saur Hanggoro.

Sasmita menghela napas kemudian meraih kedua tangan suaminya. “Mama nggak mau berburuk sangka sama Bagas, tapi kita juga harus waspada. Papa ngerti maksud mama kan?”

Hanggoro mengangguk ragu. “Apa maksud mama tentang rencana kita menyerahkan perusahaan kakek Anin untuk Bagas?”

Sasmita pun mengangguk. “Papa ingat kan, Bagas itu bukan anak kandung kita. Bagas juga sudah tahu tentang itu. Papa tentunya masih ingat kalau dulu Bagas pernah meminta jatah karena merasa takut akan dibuang.”

Hah! Helaan napas lolos begitu saja. Kejadian itu sudah sangat lama. Sangaaat lama. Kemungkinan sekitar lima belas tahun yang lalu saat secara tak sengaja Bagas mendengar pembicaraan Hanggoro dan Sasmita. Dan saat itulah Bagas mulai menunjukkan keahliannya dalam memimpin perusahaan.

Hanggoro dan Sasmita sejujurnya bangga akan hal itu, tapi mereka berdua juga takut kalau Bagas terlalu ambisius dan melupakan segala hal sebelum sampai berada di puncak.

“Kalau gitu, kita harus bagaimana?” tanya Hanggoro setelah berdiam beberapa saat. “Apa keputusan kita memberikan perusahaan  untuk Bagas adalah cara yang tepat? Bahkan Anin sendiri belum tahu dengan perusahaan itu.”

Sasmita menarik napas kemudian menepuk pelan pundak suaminya. “Sebaiknya kita jangan berpikiran buruk. Bisa jadi Jonan hanya merasa iri kan?" kata Sasmita. "Mama tahu bagaimana Jonan yang tidak begitu suka melihat kesuksesan Bagas."

“Benar juga ya, Ma. Kita jangan berburuk sangka dulu. sebaiknya kita lihat bagaimana nanti setelah perusahaan itu jatuh di tangan Bagas."

Usai membicarakan hal penting itu, Hanggoro dan Sasmita bersamaan keluar dari kamar. Ini sudah pukul setengah delapan malam. Sudah waktunya untuk makan malam bersama.

“Kenapa papa dan mama baru muncul?” tanya Bagas yang sedang mengunyah ayam goreng.

Sasmita kemudian duduk. Pun dengan Hanggoro.

“Tadi mama mijitin papa dulu. Papa capek banget katanya,” ujar Sasmita.

Di samping Sasmita, Hanggoro lantas tersenyum. “Iya nih, nggak biasanya badan papa pegal-pegal.”

Nampaknya kedua orang ini sedang bersandiwara di hadapan para anaknya.

“Apa mau Anin buatin jamu, Pa?” timbruk Anin. “Aku dulu sering buatin jamu untuk kakek.”

Hanggoro meringis getir sambil melirik sekilas ke arah Sasmita. “Tidak usah, pijatan mama enak kok. Nanti juga enakan,” kata Hanggoro sekenanya.

“Jangan nawarin jamu. Jamu itu kan belum tentu sehat,” potong Jonan tanpa menoleh ke arah siapapun. “Bukannya sembuh, yang ada papa tambah capek.”

Merasa disinggung, Anin lantas menunduk dan mengatupkan kedua bibir rapat-rapat. Anin mulai merasa kalau perubahan pada Bagas semakin kerasa lebih menyakitkan.

Hanggoro dan Sasmita saling pandang sesaat. Saat beralih pandangan melirik Jonan, dengan santainya pria itu hanya menaikkan kedua alis dan pundak.

Jonan kemudian memilih menyudahi makan malam lebih dulu. Berdiri sambil mendorong kursi hingga menimbulkan suara gesekan, Jonan berlenggak pergi setelah menjatuhkan sendok di atas piring.

Mereka berempat tentunya terhenyak, tapi sama sekali tak ada yang bicara dan membiarkan Jonan pergi.

“Apa dia lagi datang bulan?” seloroh Bagas usai Jonan tak terlihat. “Dasar pria menyedihkan!”

“Bagas!” hardik Mama. “Jangan begitu, mungkin Jonan lagi ada masalah.”

“Jangan bahas Jonan,” timpal Papa. “Malam ini papa mau ngingetin kamu untuk acara besok malam.”

Senyum di bibir Bagas nampak mengembang sempurna. “Aku hampir lupa, Pa,” sahut Bagas.

Anin yang belum mengerti hanya bisa diam dan mendengarkan.

“Kamu siap kan?” tanya Mama.

Meneguk air putih lebih dulu, barulah kemudian Bagas menjawab. “Siap dong, Ma. Kan dengan ini, aku dan Anin bisa segera memiliki rumah sendiri.” Bagas menyikut lengan Anin.

Anin yang masih belum mengerti cukup melempar senyum tipis saja. Apa lagi ketika melihat wajah Bagas yang mendadak sok baik, justru membuat Anin merasa ngeri.

Papa dan Mama juga ikut tersenyum. Melihat tingkah atau sikap Bagas pada Anin barusan, seketika hampir membuat papa dan mama lupa akan perkataan Jonan yang masih harus dipertanyakan.

“Jangan kecewakan papa,” kata Papa masih dengan seutas senyum.

“Untuk kamu, Anin, besok kamu juga harus mendampingi Bagas di acara perusahaan ya,” timpal mama. “Mama memang belum ngasih tahu kamu, soalnya mama berniat kasih kejutan.”

Anin yang sangat penasaran, pada akhirnya bertanya, “Memangnya ada acara apa, Ma?”

Bagas melengos dan memilih pura-pura menikmati sisa makan malamnya.

“Besok malam, Bagas akan diresmikan sebagai pemimpin sah di perusahaan papa yang lain,” kata Sasmita masih dengan senyumnya yang mengembang.

Degh! Anin terhenyak tatkala kalimat itu masuk ke dalam pendengarannya. Tubuhnya terasa mendapat sebuah hantaman yang mungkin saja bisa meremukkan badan saat ini juga.

“Mungkinkah sudah waktunya?” batin Anin sendu.

Kalimat itu tak hilang begitu saja meskipun semuanya sudah bubar dari ruang makan dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Mereka bisa masuk kamar kemudian tidur dengan nyenyak, tapi tidak dengan Anin. Anin sedang berdiam diri duduk di tepi kolam renang.

“Setelah ini, mungkin aku akan terbebas dari Bagas,” gumam Anin. “Mungkin ini yang terbaik dari pada aku harus hidup dengan pria yang melirikku saja bahkan tidak mau.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status