Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.
Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.
“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.
“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”
Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.
“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.
Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.
“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.
Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”
Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengingat-ingat apa saja pembicaraan yang diobrolkan dengan Jonan malam kemarin.
“Apa mama juga penasaran?” tanya Hanggoro kemudian.
“Tentu saja,” jawab Sasmita. “Mama penasaran dengan kata-kata Jonan yang mengatakan kalau pernikahan Bagas dan Anin sama sekali tidak bahagia. Bukankah itu aneh, Pa?”
“Itu dia,” sahut Hanggoro sambil menjentikkan jari. “Papa juga penasaran. Perasaan, mereka berdua baik-baik saja kan ya? Kenapa Jonan bisa bilang kalau pernikahan mereka ada yang salah?”
Sasmita menghela napas diikuti jari telunjuk mengusap-usap dagu. “Apa sebaiknya kita cari tahu saja, Pa?” tatap Sasmita.
“Caranya?” Hanggoro balas menatap.
Sasmita berpikir sejenak. Diam sampai beberapa detik hingga kemudian bola matanya membelalak diikuti kata ‘Aha’. Hanggoro yang sempat terkejut kemudian segera terkesiap.
“Apa, apa?” tanya Hanggoro.
Sasmita berdehem terlebih dahulu sebelum berbicara. “Jadi gini, Pa, besok malam kan peresmian Bagas sebagai pimpinan perusahaan. Mama mau papa sekalian bahas tentang penyerahan pemilik perusahaan itu.”
“Kan memang rencananya begitu, Ma,” saur Hanggoro.
Sasmita menghela napas kemudian meraih kedua tangan suaminya. “Mama nggak mau berburuk sangka sama Bagas, tapi kita juga harus waspada. Papa ngerti maksud mama kan?”
Hanggoro mengangguk ragu. “Apa maksud mama tentang rencana kita menyerahkan perusahaan kakek Anin untuk Bagas?”
Sasmita pun mengangguk. “Papa ingat kan, Bagas itu bukan anak kandung kita. Bagas juga sudah tahu tentang itu. Papa tentunya masih ingat kalau dulu Bagas pernah meminta jatah karena merasa takut akan dibuang.”
Hah! Helaan napas lolos begitu saja. Kejadian itu sudah sangat lama. Sangaaat lama. Kemungkinan sekitar lima belas tahun yang lalu saat secara tak sengaja Bagas mendengar pembicaraan Hanggoro dan Sasmita. Dan saat itulah Bagas mulai menunjukkan keahliannya dalam memimpin perusahaan.
Hanggoro dan Sasmita sejujurnya bangga akan hal itu, tapi mereka berdua juga takut kalau Bagas terlalu ambisius dan melupakan segala hal sebelum sampai berada di puncak.
“Kalau gitu, kita harus bagaimana?” tanya Hanggoro setelah berdiam beberapa saat. “Apa keputusan kita memberikan perusahaan untuk Bagas adalah cara yang tepat? Bahkan Anin sendiri belum tahu dengan perusahaan itu.”
Sasmita menarik napas kemudian menepuk pelan pundak suaminya. “Sebaiknya kita jangan berpikiran buruk. Bisa jadi Jonan hanya merasa iri kan?" kata Sasmita. "Mama tahu bagaimana Jonan yang tidak begitu suka melihat kesuksesan Bagas."
“Benar juga ya, Ma. Kita jangan berburuk sangka dulu. sebaiknya kita lihat bagaimana nanti setelah perusahaan itu jatuh di tangan Bagas."
Usai membicarakan hal penting itu, Hanggoro dan Sasmita bersamaan keluar dari kamar. Ini sudah pukul setengah delapan malam. Sudah waktunya untuk makan malam bersama.
“Kenapa papa dan mama baru muncul?” tanya Bagas yang sedang mengunyah ayam goreng.
Sasmita kemudian duduk. Pun dengan Hanggoro.
“Tadi mama mijitin papa dulu. Papa capek banget katanya,” ujar Sasmita.
Di samping Sasmita, Hanggoro lantas tersenyum. “Iya nih, nggak biasanya badan papa pegal-pegal.”
Nampaknya kedua orang ini sedang bersandiwara di hadapan para anaknya.
“Apa mau Anin buatin jamu, Pa?” timbruk Anin. “Aku dulu sering buatin jamu untuk kakek.”
Hanggoro meringis getir sambil melirik sekilas ke arah Sasmita. “Tidak usah, pijatan mama enak kok. Nanti juga enakan,” kata Hanggoro sekenanya.
“Jangan nawarin jamu. Jamu itu kan belum tentu sehat,” potong Jonan tanpa menoleh ke arah siapapun. “Bukannya sembuh, yang ada papa tambah capek.”
Merasa disinggung, Anin lantas menunduk dan mengatupkan kedua bibir rapat-rapat. Anin mulai merasa kalau perubahan pada Bagas semakin kerasa lebih menyakitkan.
Hanggoro dan Sasmita saling pandang sesaat. Saat beralih pandangan melirik Jonan, dengan santainya pria itu hanya menaikkan kedua alis dan pundak.
Jonan kemudian memilih menyudahi makan malam lebih dulu. Berdiri sambil mendorong kursi hingga menimbulkan suara gesekan, Jonan berlenggak pergi setelah menjatuhkan sendok di atas piring.
Mereka berempat tentunya terhenyak, tapi sama sekali tak ada yang bicara dan membiarkan Jonan pergi.
“Apa dia lagi datang bulan?” seloroh Bagas usai Jonan tak terlihat. “Dasar pria menyedihkan!”
“Bagas!” hardik Mama. “Jangan begitu, mungkin Jonan lagi ada masalah.”
“Jangan bahas Jonan,” timpal Papa. “Malam ini papa mau ngingetin kamu untuk acara besok malam.”
Senyum di bibir Bagas nampak mengembang sempurna. “Aku hampir lupa, Pa,” sahut Bagas.
Anin yang belum mengerti hanya bisa diam dan mendengarkan.
“Kamu siap kan?” tanya Mama.
Meneguk air putih lebih dulu, barulah kemudian Bagas menjawab. “Siap dong, Ma. Kan dengan ini, aku dan Anin bisa segera memiliki rumah sendiri.” Bagas menyikut lengan Anin.
Anin yang masih belum mengerti cukup melempar senyum tipis saja. Apa lagi ketika melihat wajah Bagas yang mendadak sok baik, justru membuat Anin merasa ngeri.
Papa dan Mama juga ikut tersenyum. Melihat tingkah atau sikap Bagas pada Anin barusan, seketika hampir membuat papa dan mama lupa akan perkataan Jonan yang masih harus dipertanyakan.
“Jangan kecewakan papa,” kata Papa masih dengan seutas senyum.
“Untuk kamu, Anin, besok kamu juga harus mendampingi Bagas di acara perusahaan ya,” timpal mama. “Mama memang belum ngasih tahu kamu, soalnya mama berniat kasih kejutan.”
Anin yang sangat penasaran, pada akhirnya bertanya, “Memangnya ada acara apa, Ma?”
Bagas melengos dan memilih pura-pura menikmati sisa makan malamnya.
“Besok malam, Bagas akan diresmikan sebagai pemimpin sah di perusahaan papa yang lain,” kata Sasmita masih dengan senyumnya yang mengembang.
Degh! Anin terhenyak tatkala kalimat itu masuk ke dalam pendengarannya. Tubuhnya terasa mendapat sebuah hantaman yang mungkin saja bisa meremukkan badan saat ini juga.
“Mungkinkah sudah waktunya?” batin Anin sendu.
Kalimat itu tak hilang begitu saja meskipun semuanya sudah bubar dari ruang makan dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Mereka bisa masuk kamar kemudian tidur dengan nyenyak, tapi tidak dengan Anin. Anin sedang berdiam diri duduk di tepi kolam renang.
“Setelah ini, mungkin aku akan terbebas dari Bagas,” gumam Anin. “Mungkin ini yang terbaik dari pada aku harus hidup dengan pria yang melirikku saja bahkan tidak mau.”
***Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak