Merayakan kebebasan karena telah berhasil menceraikan Anin, Bagas lakukan bersama dengan sang kekasih, Ela. Kedua orang itu tengah menikmati kencan malam di salah satu kafe mewah di pusat kota.
“Sebentar lagi Aku dan Anin akan resmi percerai,” kata Bagas sambil menggenggam tangan Ela di atas meja. “Setelah ini, kita bisa langsung menikah.”
“Makasih ya, Mas Bagas. Aku jadi tambah cinta.” Ela tersenyum dengan satu kerlingan mata.
“Harus dong ....” Bagas mencubit ujung dagu Ela. “Setelah resmi bercerai, aku akan kenalin kamu sama papa dan mama.”
Ela mendadak diam. Bibirnya dilipat ke dalam sementara tangannya sudah terlepas dari genggaman Bagas. “Kalau papa sama mama kamu nggak suka, bagaimana?” Ela terlihat cemas.
Bagas menarik tangan Ela lagi. “Nggak usah khawatir. Papa dan mamaku sudah terlanjur kecewa sama Anin, melihat ada kamu, pasti mereka akan langsung setuju.”
Rasa khawatir berkurang, Ela kembali mengukir senyum. “Semoga saja ya, Mas.”
Dua hari sudah berlalu, dan kini justru menjelang satu minggu. Anin masih setia menunggu kepulangan Jonan dari urusan bisnisnya di luar kota. Anin tak tahu mengapa dirinya sangat rindu pada Jonan, yang jelas, Anin selalu uring-uringan sendiri karena tak kunjung melihat wajah JonanSementara di sisi lain, perceraian sudah usai dan Anin justru tak peduli akan hal itu. Bahkan saat surat resmi dari pengadilan datang dan harus sidang, Anin justru dengan entengnya mengatakan ‘Ya, saya memang melakukannya’. Anin hanya ingin perceraian cepat selesai dan tak mau berlarut-larut.Namun, jika Anin merasa nyaman dengan perceraian ini, lain dengan Bagas. Bagas merasa tak terima karena saat sidang Anin sama sekali tak memberi perlawanan. Anin hanya mengangguk dan selalu berkata iya.“Jadi, kamu memang sudah berniat melakukan ini sama aku kan?” tanya Bagas kala persidangan telah usai.Anin yang hanya berjalan sendirian di lorong, tak mau ambil pusing dan memilih tak meng
Anin benar-benar pergi meninggalkan rumah mewah yang sudah saru tahun lebih ia tinggali. Sebuah rumah yang dulu Anin kira akan menjadi istana kehangatan setelah ditinggal pergi oleh Kakek, ternyata tidak sesuai bayangan. Anin tidak mengelak kalau selama ini keluarga mertuanya memang begitu baik. Mereka tak pernah kasar. Hanya karena satu berita bohong, dengan mudahnya mereka langsung percaya. Tentu saja semua ini tak lain karena Bagas dan orang yang tega menjebak Anin.Satu jam setelah kepergian Anin, sosok Jonan tiba-tiba muncul. Jonan masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa curiga tentang apapun. Jonan terlihat tersenyum-senyum sambil menyeret gagang koper.“Lebih baik Aku temui Anin besok pagi,” gumam Jonan saat langkah kakinya sudah sampai di depan pintu kamar.Meninggalkan malam yang lelah, pagi pun akhirnya datang. Jonan sudah terlalu sangat bersemangat untuk segera menemui Anin. Jonan tak peduli jika ada Bagas, asal bisa melihat wajah Anin, Jonan akan merasa
Ketegangan yang tinggal menyisakan tiga orang saja, masih terus berlanjut. Bagas yang penasaran, pada akhirnya menyaksikan sendiri siapa gerangan pria yang berbicara secara tenang namun lantang di rekaman tersebut. Pria yang bernama Tian itu duduk secara tenang sambil direkam, lantas mulai berbicara mengenai seorang wanita yang dijebak hingga mabok. Pria tersebut juga mengatakan, kalau dirinya yang menolong Anin saat hendak dibawa keruangan oleh dua orang pria. Sebagai pemilik kelab, Tian tidak mau ada kasus seperti ini, itu sebabnya Tian memilih membantu Anin.Sampai di situ saja penjelasannya. Namun, rekaman tersebut sudah bisa membuktikan kalau Anin benar-benar masih bersih. Karena apa? karena Tian sudah membawa Anin pergi lebih dulu. Dan di menit terakhir, Tian mengatakan, “Kenapa Aku menolong wanita yang bernama Anin itu, karena Aku sudah muak melihat kelakuan pacar adikku. Dia hampir selalu mencelakai wanita yang dianggap mengganggunya.”Sementara Bagas masih fokus
.Sudah seminggu ini, rumah terlihat kacau. Hampir setiap hari isinya hanya perdebatan yang berawal dari perceraian Bagas dan Anin. Jonan sudah masuk kamar sekitar satu setengah jam yang lalu, membiarkan ketiga orang di lantai satu untuk merenungi apa yang sudah mereka lalukan terhadap Anin.“Kamu tega sekali bohongi mama, Gas,” sesal mama masih sambil menitikkan air mata. Mama tak kuasa menatap wajah Bagas yang pernah dibela di hadapan Anin.“Apa benar yang dikatakan Bagas? Kamu yang selingkuh dari Anin?” salak Papa.Bagas membisu seribu bahasa. Ia masih duduk mencondong dengan kedua tangan menyangga wajah. Bagas sudah lunglai seperti tak bertenaga. Beberapa detik kemudian—masih tak mau menjawab—Bagas beranjak kemudian memungut lembar foto kecil yang tadi dilempar Jonan.“Kamu mau kemana, Gas?” teriak papa saat Bagas berlari keluar tanpa mengatakan apapun.Bagas tak menoleh dan tetap keluar dari rumah. Buru-buru masuk ke mobil, Bagas tancap gas melajuka
Belum sempat Jonan duduk ikut makan siang, dari arah lain Bagas sudah lebih dulu menarik lengannya.“Di mana Anin?” tanya Bagas.Jonan berdecak, kemudian mengibaskan tangan hingga terlepas dari genggaman Bagas. “Apaan, sih!”Mama, papa yang awalnya duduk, terpaksa berdiri.“Katakan, di mana Anin?” Bagas menarik pundak Jonan yang hendak duduk. “Kamu tahu di mana Anin kan?”Jonan mendecih lantas menyingkir. “Kalaupun aku tahu, aku tidak akan memberi tahumu!”“Sialan kau, Jo!” salak Bagas. Bagas maju menyingkirkan kursi yang menghalangi. “Katakan, di mana Anin!”“BAGAS!” suara tinggi bernada gertakan itu membuat Bagas yang hendak meraih Jonan lagi, urung. “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri!” papa berkata lagi.Mama memutari meja makan dan berjalan menghampiri Bagas. Mama sudah merasa lelah karena hampir setiap pagi selalu ada keributan.“Jangan begitu, Gas?” cegah Mama. “Kamu hanya akan memperkeruh keadaan!”“Jonan yang su
Betapa terkejutnya ketika Hanggoro membaca berkas yang bisa dikatakan wasiat tersebut. Isinya jauh berbeda dengan berkas yang sebelumnya pernah di perlihatkan pada Hanggoro. Tidak terhindarkan, memang akhir-akhir ini ada saja yang membuat jantuk Hanggoro merasa tersentak.“Bisa jelaskan padaku apa maksudnya?” tanya Hanggoro.“Sebelumnya saya minta maaf. Saya tidak memberi tahu tentang hal ini karena memang permintaan dari mendiang Kakek Santo langsung ...”Hanggoro semakin dibuat penasaran. Di dalam hatinya Hanggoro terus bertanya dengan apa yang sebenarnya sedang di bahas Pak Pamungkas selaku kuasa hukum dari mendiang Kakek Santo.Masih saling berpandangan serius satu sama lain, mereka menunggu kelanjutan dari perkataan Pak Pamungkas.“Yang tadi Pak Hanggoro lihat dan baca, itu adalah berkas kedua yang menjelaskan tentang perusahaan yang ditinggalkan Kakek Santo. Jika pada berkas pertama mengatakan beliau akan memberikan perusahaan pada suami Nona Anin
Anin terkejut saat tiba-tiba Jonan muncul dari belakang. Anin tak bisa berkata-kata untuk sesaat selain menatap ke arah Nana.“Aku tinggalkan kalian berdua,” kata Nana kemudian sambil mengusap lengan Anin. Nana sempat tersenyum sebelum pergi meninggalkan Anin.Setelah Nana benar-benar sudah pergi, Anin dan Jonan hanya saling lirik dan tersenyum tipis.“Bicara saja di mobilku,” ajak Jonan pada Anin.Anin tak menjawab, tapi juga tidak menolak. Anin mau saja saat Jonan menuntunnya dan membawanya menyeberangi jalan.Jonan membukakan pintu mobil belakang. “Masuk,” pinta Jonan. Lagi-lagi Anin menurut saja.Anin sudah masuk, lantas Jonan memutari mobil dan ikut masuk. Tidak ada percakapan untuk beberapa saat sampai Jonan sudah merasa nyaman dengan posisi duduknya.“Anin,” panggil Jonan lirih. Anin menoleh. “Ngapain kamu pergi dari rumah?”Anin menunduk sambil melihat kedua tangannya yang saling memilin. Jonan tahu Anin sedang gemetaran.
Kebaikan seseorang sebenarnya tidak bisa diukur, pun dengan hati tulus milik Anin. Bagaimana mereka-mereka pernah berbuat kasar pada Anin, tapi Anin dengan mudahnya memaafkan. Tak mudah menghilangkan rasa sakit, tapi Anin menganggap semua itu sebatas kesalah pahaman saja.Sejak Jonan mengatakan kalau dirinya akan menikahi Anin, Bagas terlihat murung dan sedikit frustrasi. Apalagi Bagas juga sudah tahu bagaimana kelakuan Ela yang sebenarnya. Wanita yang selalu Bagas puja ternyata justru berdusta, sedangkan wanita yang dianggap buruk ternyata dia jauh lebih baik.Meninggalkan kekacauan beberapa hari yang lalu, Bagas hanya bisa meratapi nasibnya saat ini. Hampir setiap hari Bagas bertemu dengan Anin, tapi hanya sebatas berpapasan saja. Ingin rasanya Bagas meraih dan memeluk Anin. Namun, hal itu tak mungkin bisa Bagas lakukan.“Kenapa kamu terlihat cantik, Anin?” gumam Bagas saat sedang memandangi Anin yang sedang membantu Bibi Niah memasak. “Aku baru sadar kalau kamu