Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.
Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”
Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.
Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”
“Apa maksud kamu?” Nana melebarkan kedua tangan—menghalangi langkah Anin. “Siapa yang mau ninggalin kamu?”
Anin tersenyum getir. Membalas tatapan Nana, Anin lantas menurunkan tangan Nana sebelah kanan. “Tentu saja Bagas.” Anin berjalan lagi.
“Sungguh?” pekik Nana yang dengan cepat mensejajari langkah Anin.
Anin mengangguk. “Harusnya aku senang karena bisa lepas dari Bagas,” kata Anin pelan. Dua kakinya berbelok masuk ke sebuah butik.
Nana mengikuti dengan langkah buru-buru. “Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mendadak bilang kalau Bagas akan ninggalin kamu?
Anin berjalan mendekati sebuah manekin yang berbalut dress berwarna kuning. “Sebentar lagi, apa yang Bagas inginkan akan tercapai. Saat itu juga, mungkin Bagas akan langsung menceraikan aku.”
“Apa ini tentang perusahaan?” tanya Nana penasaran.
Anin beralih ke deretan baju yang menggantung rapi di lemari dengan pintu kaca terbuka lebar. “Apa ini cocok untuk aku?” tanya Anin saat satu dress menempel di depan dada.
“Aniiin!” tekan Nana saat Anin justru mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa?” saur Anin santai. “Bagus kan?” Anin masih menempelkan dress tersebut di badanya.
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” hardik Nana yang kemudian menjambret dress tersebut dari tangan Anin.
Anin melengos ke arah kursi panjang di sudut ruangan kemudian menghampiri dan duduk. “Bukan begitu ... aku hanya sedang bingung.”
Nana ikut duduk setelah menggantung lagi dress tersebut ke tempat semula. “Aku tahu ... tapi jangan begini. Yang ada kamu bisa stres,” ujar Nana.
“Hei, Nana,” panggil Anin tiba-tiba. Anin menoleh sambil meraih tangan Nana. “Apa masih ada lowongan di restoran tempat kamu bekerja?”
“Apa sih!” tepis Nana saat itu. “Kok kamu malah semakin ngelantur?”
“Siapa sih, yang ngelantur?” timpal Anin. “Aku cuma sedang mempersiapkan semuanya sebelum lepas dari Bagas.”
“Dengar ....” Nana meraih kedua pundak Anin. “Aku tahu kamu stres, bingung atau apapun itu. Tapi ... jangan jadikan masalah ini sebagai beban tambahan. Pikirkan kalau kau sebentar lagi memang akan bebas. Bagaimana kehidupanmu nanti, pikir belakangan.” Nana mengangguk-angguk meminta persetujuan.
Apa yang Nana katakan, mungkin sebaiknya Anin praktikkan. Bayangkan saja bahwa Anin akan segera terbebas dari jerat pernikahan yang tidak jelas kelanjutannya. Anin akan memikirkan cara yang Nana ucapkan.
“Anin, kita pisah di sini ya?” kata Nana saat sudah berada di halaman butik. “Mamaku SMS. Dia nyuruh aku pulang sekarang.”
Menyampirkan tas cangklong yang merosot, Anin kemudian mengangguk. “Baiklah ... jangan lupa datang, nanti malam,” kata Anin.
Nana mengangkat tangan kemudian menautkan dua jarinya dan membiarkan tiga jari lain tetap berdiri. Setelah Anin melambaikan tangan, Nana segera masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi.
Setelah mobil Nana sudah tak terlihat, Anin pun masuk ke dalam mobilnya sendiri. Namun, sebelum itu, Anin terlihat toleh sana sini seperti sedang mencari sesuatu.
“Mobil Bagas masih di sana, itu artinya mereka berdua masih di dalam restoran,” batin Anin.
Didorong rasa penasaran, Anin menutup kembali pintu mobilnya dan memilih melangkahkan kaki mendekati area restoran. Semakin merasa tak sabar, Anin memberanikan diri masuk ke dalam restoran dan menghampiri mereka berdua.
“Hai,” sapa Anin.
Sapaan itu terdengar seperti satu kata bodoh yang keluar dari mulut orang yang tengah mengalami guncangan. Dengan polosnya Anin justru menyapa mereka berdua seolah merasa tak tersakiti sama sekali.
“Anin,” pekik Bagas dan Ela bersamaan.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Bagas sambil memantau pandangan di balik punggung Anin. “Sama siapa kamu?”
Anin tersenyum getir. “Tenang, aku cuma sendirian kok.” Anin kemudian mengamati beberapa paperbag yang berada di kursi kosong di samping Ela.
Selama menikah, Anin bahkan tidak pernah sama sekali dibelikan sesuatu oleh Bagas. Sekalipun itu barang sepele seperti makan ringan mungkin, tapi nyatanya Anin memang tidak pernah mendapatkan itu.
Anin tak bisa menyalahkan Bagas seratus persen atas sikap acuh tersebut. Toh sampai detik ini, Anin sendiri tidak bisa menunjukkan bukti tepat yang menunjukkan kalau foto di kelab itu hanyalah kesalahpahaman.
Mungkin Bagas merasa kecewa dan dikhianati saat itu. Karena Anin memang terlalu berpikiran baik.
“Apa kamu sudah menyiapkan semuanya untuk nanti malam?” tanya Anin gugup.
“Sudah,” jawab Bagas acuh. “Kamu pulang saja sana, aku masih ada perlu.”
Betapa bodohnya Anin karena mau menghampiri mereka berdua. Anin harusnya tahu kalau Bagas tidak akan peduli.
“Aku cuma mau kasih ini.” Anin merogoh tasnya. Setelah mendapatkan barang dari dalam tas itu, tangan Anin keluar dengan menggenggam boks persegi berwarna mewah. “Semoga nanti malam acaranya lancar.”
“Apa ini?” tanya Bagas. “Kamu tidak usah membelikan apa-apa untukku. Aku sudah punya segalanya.”
Ela yang masih duduk, terlihat tersenyum ngeledek. Anin tentunya tahu itu.
“Nggak pa-pa, itu hanya sebuah dasi. Mau kamu pakai silahkan, nggak juga silahkan,” kata Anin kemudian. “Kalau gitu, aku pergi. Maaf udah ganggu.”
Anin berbalik badan. Tubuhnya mendadak gemetaran dan terasa kaku untuk melangkah. Anin mencoba menarik napas panjang sambil menekan dada. Memejamkan mata sesaat, dan setelah merasa tenang Anin mulai melangkahkan kaki.
“Anin! Kamu memang bodoh!” seloroh Anin pada diri sendiri. Anin masuk kedalam mobil dan langsung membanting punggung—bersandar pada jok.
“Kenapa juga aku harus menghampiri mereka?” Anin masih mengutuki diri sendiri. “Dasar bodoh! Kamu kira Bagas akan kaget lalu minta maaf karena kepergok jalan dengan wanita lain? Tidak! Dasar Anin bodoh!”
“Sebaiknya aku pulang,” kata Anin kemudian. “Sebentar lagi sore. Aku juga harus bersiap-siap.”
Anin memasang sabuk pengaman kemudian tancap gas melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Drt ... drt ... drt ...
Ponsel Anin bergetar. Anin memperlambat laju mobil dan langsung menelusupkan satu tangan ke dalam tas—mengambil ponsel.
“Jonan?” pekik Anin saat nama Jonan terpampang di layar depan.
***
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal
Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona
Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa
Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka
Pagi harinya, Anin sudah dikejutkan dengan sosok Bagas yang ternyata sudah tidur di sampingnya. Bagas tidur dalam posisi miring ke arah tembok. Meskipun tidur seranjang, toh bagi Anin tetap merasa sedang tidur sendirian.“Sejak kapan Mas Bagas balik ke hotel?” Anin bertanya-tanya.Sebelum Bagas terbangun, Anin lebih dulu beranjak dari tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, Anin menggulung rambut panjannya ke atas. Setelah itu Anin mengambil handuk di atas gantungan dan pergi mandi.Acara semalam memang lumayan meriah karena ada riuh tepuk tangan dan berbagai ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, bagi Anin, acara semalam adalah satu acara yang begitu membosankan.Berpindah dari Anin yang sedang mandi, Hanggoro dan Sasmita juga sudah terbangun dan sedang berbenah untuk kembali pulang ke rumah. Sementara Hanggoro sedang melipat lengan bajunya, Sasmita nampak sedang bercermin sambil menyisir rambut. Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah koper beruk
Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.“A
Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”Bagas berdiri mema