Bagaimana perasaanmu jika suami yang kau cintai kedapatan berciuman dengan kakakmu sendiri? Terlebih di malam pertamamu sebagai pengantin. Bening Ayu tak pernah menyangka jika suaminya berkhianat. Parahnya dengan sang kakak sendiri. Bening kira pernikahannya akan bahagia, tetapi ternyata pernikahan itu penuh kepalsuan semata. “Kalian tega,” desis Bening dengan bibir bergetar. Air matanya sengaja ditahan. Tangisnya baru luruh saat Bening melarikan diri di malam itu. Ia ingin marah pada takdir Tuhan. Ingin marah kepada kakak dan juga suaminya. Namun, yang terjadi justru Bening sekarang tengah duduk di sebuah tempat makan di pinggir kota. Makan tanpa akal. Tak peduli tatapan semua mata. Sakit hati dan merasa dikhianati membawa langkah Bening kian gila. Menegak minuman haram dan berakhir di sebuah kamar bersama seorang pria yang ia temui di pinggir jalan. “Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau!” ucap Bening dengan gila.
Lihat lebih banyakI have been dreading this day for months now. Today is the day that my father receives his trial sentence from the shrewd and devilishly handsome judge, Damien Hale. His nickname was “The Demon,” and I would always hear my father and his fellow lawyer friends speak about “Judge Damien “The Demon” Hale” and how they all hated to go in front of the man because he was so intimidating and harsh. The women, on the other hand, would sneak into the hearings just to get a glimpse of the man, and gossip spread about his beauty, which I had never witnessed until today.
It was raining and cold outside, early September weather, so I combed my hair and put on my denim jacket and black leggings, I felt that was appropriate for an eighteen-year-old attending a sentencing. I wouldn’t know, the only court hearings that I had been to were some of my dad’s, years ago, where he was defending a man accused of aggravated assault. When it came to my father’s trial, my mother kept me completely in the dark, trying to protect me. It was only because today was my father’s sentencing that my mother wanted me to be there for support.
“Abby! Abby, come on, we’re going to be late!” My mom shouted from downstairs.
Sadly, my father was on trial for stealing money from his firm, and no one was willing to represent him, so he was forced to represent himself.
“Yeah, mom, I’m coming,” I hollered back at her from my room.
Mom was clearly very on edge today. The hearing didn’t start for another hour and the courthouse was only twenty minutes from our house.
“What in the world are you wearing?” She asked as she looked me up and down before sighing, “Never mind, come on, let’s go.”
We arrived early and entered the courtroom to take our seats, the room looked entirely different from the outside appearance of the courthouse would lead you to expect; The outside looked old and dated, the paint fading and bricks shifted, but the inside was clean and polished; Dark wooden benches and railing, white walls, and leather chairs underneath fluorescent lights. We took our seats towards the back of the room and waited.
My mother was a nervous wreck and kept tapping her foot on the ground from anxiety. I wondered if she knew what my father had been doing and if he was guilty or not. I placed my hand on her leg and looked at her, “It’s going to be alright, mama.” She forced a smile on her face in response.
“All rise, the court is now in session. The honorable Judge Hale presiding,” The bailiff announced.
Judge Hale walked out of a door from the side of the room and time stood still for a moment. As he walked, I saw his long black hair moving like silk before it laid just above his shoulders, his jawline looked like it could cut paper if he wanted. He wore the judge’s robe, but I could tell just how broad his shoulders were. He took his spot at the bench and told everyone to be seated. My knees went weak at his voice that I dropped to my seat, rather abruptly.
Before he began to speak again, he looked up from the folder that he had just opened, and his eyes met mine directly. Did he hear how hard I sat down? Oh God, I could die of embarrassment.
Since all the hearings had already taken place, the jury had taken the last two days to deliberate, and it was finally time to hear the verdict.
“Has the jury reached a verdict?” Judge Hale asked.
“We have, your honor,” the foreman said and my father stood up, he glanced back at mom and me and gave us a small grin of confidence, “We the jury, in the case of Steele and Warner versus Joseph Spencer, find the defendant, guilty of embezzlement.”
I heard a shuddered breath escape my mom’s lips and she gripped onto my hand, which was still on her leg to keep her steady. I looked at her and saw tears dripping down her cheeks, one tear at a time. She shut her eyes tight and let her head fall, resulting in her blonde hair covering her beautiful face. I could feel her tears falling on top of my hand, which she was still gripping onto in her lap.
My father is not the kind of person who has certain tells when they lie, like looking down or stuttering, he had been a lawyer longer than I have been alive, so he had a good poker face, or so we thought he did. He became enraged when he heard the word guilty.
“You cannot do this to me! You have no proof!” He slammed his fist on the table and the officer came to take him away, he began kicking his feet “You cannot do this! I did nothing!” From where he stood, I could only see the back of his bald head, but I could tell that his face was bright red with rage, I could see the color at the tips of his ears. Even through my father’s rant, Judge Hale seemed unphased by him.
Once my father had finally been removed from the room, Judge Hale kept on speaking the terms of his guilty verdict; a half a million-dollar fine and twenty years incarceration without a chance of parole. This judge really was a demon.
“Court is adjourned.” He slammed the gavel with such force that I could have sworn it rattled the room, I was surprised that the gavel didn’t split in half. Was he always that strong? Or was it my father’s outburst that had him heated? His voice certainly didn’t give any indication of emotion, if anything, his voice was sultry and hypnotizing.
As he left the room and walked back through the door he originally came out of, I realized that I didn’t notice what color his eyes were, we weren’t in the courtroom long, but every now and then, I could feel his gaze on me and I would look back up, but his eyes were elsewhere. Was he really looking at me, or was I fantasizing that the hot judge wanted the felon’s daughter?
Dayat tersenyum kecil, tidak kaget sama sekali. Justru, pria itu menatap Bening dengan cara yang membuat Bening semakin gelisah—tatapan seperti seseorang yang sudah tahu rahasia sebelum si pemilik rahasia mengungkapkannya."Aku tahu," kata Dayat, nada suaranya ringan.Bening mengerjap. "Apa?"Dayat menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. "Waktu kamu pingsan di rumah sakit, aku ada di sana. Aku dengar sendiri waktu dokter ngomong soal kehamilanmu."Bening terdiam. Ada sesuatu yang dingin merayap di tulang punggungnya."Jadi, aku cuma menunggu kapan kamu akhirnya bakal jujur." Dayat menatapnya lekat, bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis yang sulit diterjemahkan.Bening merasa darahnya berdesir. "Kalau kamu udah tahu, kenapa nggak bilang apa-apa?"Bening mengepalkan jemarinya, berusaha menahan gemetar yang menjalar hingga ke ujung jari. Udara di dalam kafe terasa semakin berat. Di hadapannya, Dayat dud
Suara pria di seberang sana terdengar datar, tapi anehnya, seperti telah menunggu panggilan darinya. Hal itu menyalakan sesuatu dalam benak Bening—rasa tak nyaman yang tak bisa ia abaikan. Apakah Dayat benar-benar sudah menduga ia akan menghubunginya?Napas Bening tersengal halus. Bukan karena kelelahan, melainkan karena dadanya terasa sesak. Kata-kata yang ingin ia ucapkan seakan tersangkut di tenggorokan, tapi ia harus mengatakannya. Ia menggigit bibir bawah, mencoba mengendalikan getar suaranya sebelum akhirnya bicara."Aku cuma mau bilang terima kasih," katanya, berusaha terdengar tenang. "Sudah nolongin tadi. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku—""Sama-sama."Dayat memotongnya dengan nada santai, seakan sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan. Bening terdiam sejenak. Ia menunggu, berharap Dayat akan menambahkan sesuatu, tapi tidak."Nggak perlu dipikirin," lanjut pria itu.Bening menggenggam ponsel lebih erat. Ada sesuatu dalam caranya berbicara—tenang, tapi seolah tidak member
Flora baru saja hendak menata ulang kue-kue yang Bening buat ketika sesuatu yang tak terduga terjadi. Tubuh Bening yang semula berdiri tegak mendadak limbung, lalu ambruk. Flora terperanjat. Napasnya tercekat sejenak sebelum refleks menerjang ke arah sahabatnya itu.Belum sempat ia menjangkau, dua pelanggan yang baru saja masuk ke gerai lebih dulu bergerak. Salah satu dari mereka, pria bertubuh tinggi dan tegap, langsung menyambut tubuh Bening sebelum kepalanya benar-benar menghantam lantai.“Bening?” gumam pria tersebut, seakan mengenal perempuan yang kini tak sadarkan diri.Flora mengabaikan keheranannya dan buru-buru mengambil minyak kayu putih dari rak. Tangannya bekerja cepat, membalur kaki, pelipis, philtrum, dan leher Bening dengan minyak itu. Dada Bening naik turun pelan, namun tetap tak menunjukkan tanda-tanda sadar. Flora menggigit bibirnya, lalu dengan sedikit ragu, melonggarkan kancing baju bagian atas Bening agar pernapasannya lebih leluasa. Tapi tetap saja, tak ada respo
“Jawab, Bee!”Bening menatap Flora dengan ekspresi sulit ditebak. Pertanyaan sahabatnya tadi seperti tamparan yang telak. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Ia sendiri pun bingung. Flora menunggu jawaban dengan tatapan penasaran. Bisa saja Bening menjawab pertanyaan sahabatnya dengan jujur, tetapi tentu itu tidak mungkin.Akhirnya, Bening memutuskan menyahut dengan pertanyaan balik yang berbalut sebuah canda."Pertanyaan aneh. Ya menurutmu buat apa punya suami?" jawabnya santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan dalam-dalam.Flora menghela napas. "Nah! Berarti udah disentuh, kan? Wajar aja kalau sewaktu-waktu kamu bisa hamil. Bersuami.”“Kamu tuh harusnya bersyukur, Bee! Hamil itu impian setiap istri, jadi jangan bilang nggak mungkin nggak mungkin terus!"“Nanti dicatat malaikat baru nyahok kamu.”Bening tersenyum tipis, menahan rasa yang menggelayut di dadanya. Bersyukur? Kalau orang lain tahu apa yang ia alami, pasti tidak akan ada yang berkata seperti itu.Sejak pembi
Huh!Bening hanya bisa memejamkan mata seraya menghela napas dalam-dalam. Kakaknya benar sudah gila. Tidak bisa lagi diingatkan. Justru malah membalikkan keadaan dan seolah tidak bersalah. Susah!“Aku harus gimana, Ya Allah?” Menahan hati yang terluka, Bening beranjak dari tempat.Yang dialaminya itu persis buah simalakama. Ia yang jadi korban dan ia yang tertekan. Sakit hati kini bagaikan melayang. Hendak mengadu kepada sang ibu pun percuma, Sinta pasti sudah mempersiapkan jawaban. Dan Bening pun tak bisa membayangkan jika ibunya shock, darah tingginya kumat, dan ...“Nggak nggak. Ibu nggak boleh tau,” ucapnya menyimpulkan. Ia tidak akan memberitahu ibunya. Cukuplah ia yang mengetahui dan mengatasi.Namun, apakah ia juga sanggup untuk menghadapi kelakuan Sinta dengan suaminya itu seorang diri?Astaga! Bening benar-benar dibuat bingung oleh keadaan. Ia akan meminta penjelasan langsung kepada Cakra.Menunggu kepulangan Cakra tiga minggu lagi sungguh membuat Bening kian nestapa. Bukan ka
“Bener-bener ya kamu, Mbak.”Seraya menggerutu, jari Bening sudah mendial nomor Sinta. Tetapi, hingga panggilan ketiga, sama sekali tidak ada jawaban. Seakan Sinta sengaja tak menjawab telepon darinya. Membiarkan Bening larut dalam emosi serta kecemburuan yang membara.Tidak putus asa, kali selanjutnya Bening menelepon Cakra (lagi). Tetapi, nyatanya nomor suaminya itu justru tidak aktif. Membuat Bening kian curiga. Ia gelisah bukan main. Pikirannya meruncing pada simpulan prematur.BAHWA SUAMINYA MEMANG BERKHIANAT!“Ya ampun, Maaaas. Tega banget kamu!” desisnya dengan hati teriris pilu.Tangannya cepat mengetikkan pesan kepada Cakra. Mempertanyakan kesungguhan Cakra yang berjanji untuk setia, yang telah berjanji untuk terus berkabar bahkan setiap menit. Tapi, nyatanya mana? Kenyataannya suaminya itu justru tidak bisa dihubungi kala suasana hati Bening tengah berselimut kabut kecurigaan.“Mana janjimu? Katanya mau ngabarin aku. Katanya nggak bakal biarin aku mikir yang aneh-aneh.”“Jus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen