Bagaimana perasaanmu jika suami yang kau cintai kedapatan berciuman dengan kakakmu sendiri? Terlebih di malam pertamamu sebagai pengantin. Bening Ayu tak pernah menyangka jika suaminya berkhianat. Parahnya dengan sang kakak sendiri. Bening kira pernikahannya akan bahagia, tetapi ternyata pernikahan itu penuh kepalsuan semata. “Kalian tega,” desis Bening dengan bibir bergetar. Air matanya sengaja ditahan. Tangisnya baru luruh saat Bening melarikan diri di malam itu. Ia ingin marah pada takdir Tuhan. Ingin marah kepada kakak dan juga suaminya. Namun, yang terjadi justru Bening sekarang tengah duduk di sebuah tempat makan di pinggir kota. Makan tanpa akal. Tak peduli tatapan semua mata. Sakit hati dan merasa dikhianati membawa langkah Bening kian gila. Menegak minuman haram dan berakhir di sebuah kamar bersama seorang pria yang ia temui di pinggir jalan. “Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau!” ucap Bening dengan gila.
Lihat lebih banyak“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.
Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.
Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.
Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...
“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.
Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.
“Mas Cakra!”
Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju ranjang. Bersiap jika suaminya sudah berada di sana. Tapi, Cakra belum juga ada.
Yang terpampang adalah ranjang pengantin berwarna putih dengan taburan bunga mawar merah di atasnya. Wangi, intim, dan membuat dada Bening bergetar.
Paras Cakra mendominasi imajinasi Bening. Ia sungguh tak sabar. Harusnya sang suami sudah berada di kamar yang sama mengingat ini adalah malam pertama mereka.
Tetapi kenyataannya, di mana Cakra?
Tak seperti tadi, kini Bening mulai kecewa. Ia gelisah karena suaminya belum di depan mata. Tak tinggal diam dan hanya menunggu, Bening melangkah keluar kamar. Melewati lorong rumah orang tuanya yang sudah sepi dan masih sedikit berantakan usai acara.
Sesekali kepalanya melongok panjang menyapu setiap sudut ruang. Berharap menemukan sang suami di salah satu sudut pengamatan.
“Kamu di mana sih, Mas?” batin Bening semakin gusar.
Langkah kaki Bening kini tiba di depan kamar sang kakak –Sinta. Pintu yang tidak tertutup sempurna membuat Bening penasaran. Rasa penasarannya kian membabi buta tatkala ia mendengar suara kikik tawa yang tak asing. Mesra dan menggoda.
Itu adalah suara Cakra. Suaminya.
“Nggak mungkin.” Bening menggelengkan kepala. Menepis apa yang ia dengar.
Sialnya, suara itu kembali terdengar dan kian nyaring masuk ke telinga.
Dada Bening bergemuruh. Tidak mungkin. Mati-matian ia menyangkal keadaan. Ia pasti hanya berhalusinasi sebab ingin segera bertemu sang suami.
Namun, langkahnya seperti membatu. Ia sungguh-sungguh penasaran apakah benar yang berada di kamar sang kakak adalah Cakra –suaminya.
Dengan tangan gemetar Bening mulai memegangi gagang pintu, hatinya bergejolak antara iya dan tidak. Tetapi suara tawa mesra tadi mengundang rasa penasaran kian mencapai klimaks. Ia menekan dan melebarkan celah agar leluasa melihat fakta di dalamnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetak sebab dihantam palu gada. Kakinya benar-benar kaku di sana. Pemandangan yang tersuguh di depan kelewat mencengangkan.
Suaminya tengah membungkuk dengan wajah yang begitu dekat dengan Sinta. Tangan kakaknya itu pun mengalung mesra pada leher suaminya. Pria yang mengucap namanya pada lafal qabul siang tadi. YA, SIANG TADI.
Keduanya bercumbu. Mesra. Panas. Seolah dunia hanya milik berdua. Dan seakan Bening tak ada di sana.
“Mas Cakra ... Mbak Sinta ... .” Suara Bening timbul tenggelam. Bibirnya bergetar. Belum betul-betul yakin bahwa yang ditatap adalah kejadian nyata. Ia berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk.
Kedua insan yang sedang berpatukan itu dengan cepat melepas diri dan mendongak ke arah Bening. Eskpresi Cakra persis rusa yang terkena lampu mobil. Penuh kebimbangan. Tetapi Sinta, Bening tak mendapati keterkejutan di sana.
“Iya, Ning?”
Justru Sinta tampak bertanya dengan nada biasa. Seakan justru Beninglah yang bersalah berada di sana memergoki percumbuan mereka. Tak berhenti di situ, ibu jari Sinta tampak mengusap permukaan bibir bekas cumbuan panas barusan dengan sensual. Sengaja.
Gila!
“Kenapa kaget gitu, Dek?”
Seketika bibir Bening yang tadi seperti bisu, kini panas ingin merutuk. Kepalanya yang seolah penggal dari leher tadi kini kembali. Kakaknya sama sekali tak merasa bersalah.
“Kalian ini apa-apaan? Gila kalian! Sakit jiwa!” Bibir Bening bergetar hebat, tangannya pun sama bergetarnya. Menunjuk keduanya dengan kemarahan yang tidak mampu ia kendalikan. Kepalanya terasa panas.
“Mbak Sinta, kamu gila!”
“Cakra! Bajingan kamu!”
Cakra kalang kabut. Bergegas kepada Bening dan berusaha menjelaskan, “aku bisa jelasin, Sayang! Ini nggak kayak yang kamu lihat!”
“Aku khilaf!”
Bening dengan tatapan kosong menatap manik mata suaminya. Bibirnya kembali kelu. Dadanya penuh, kepalanya ingin meledak. Ia tatap bibir Cakra dengan kecewa. Bibir yang bahkan belum mencumbunya sebagai seorang istri itu justru telah lebih dulu mencumbu kakaknya sendiri. Kakak ipar Cakra. Apa yang pria di depannya telah lakukan?
Benar-benar tragis malam ini!
“Dia yang godain aku, Sayang. Please! Aku minta maaf!”
“Aku nggak sengaja! Aku khilaf!” Cakra meraih tangan Bening dan mengecupinya. Tetapi, kejadian barusan sangat lekat dan Bening tidak amnesia.
Plak!
Begitu saja tangan Bening melayang menghampiri pipi Cakra. “Brengsek kamu, Mas!”
“Aku ini istri kamu. Tapi kamu malah masuk kamar wanita lain. Kamar kakak iparmu sendiri.” Suara Bening mulai patah-patah. Ia semakin kehilangan daya pertahanan.
“Di mana otak kamu?”
“Dan kamu, Mbak. Nggak seharusnya kamu giniin aku!” Tetapi kakaknya justru memasang wajah dihiasi senyum culas. Licik. Wajah yang bahkan belum pernah Bening lihat di 28 tahun hidup ini.
“Bening! Bening! BENIIING!” Suara Cakra yang melolong tak lagi Bening pedulikan.
Hatinya terlalu pedih. Bagaikan disayat-sayat lalu ditaburi garam di atasnya. Perih tak tertahan.
Bayangan bagaimana suaminya mencium kakaknya sendiri membuat dada Bening bak diremas kuat-kuat. Dongeng indahnya kini hancur berserakan. Di malam di mana seharusnya ia menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.
Seperti nasib Cinderella, dongeng percintaannya usai tengah malam ini.
“Kamu tega, Mas! Kerasukan apa kamu?”
“Kamu juga, Mbak Sinta. Aku nggak ikhlas!”
“Mbak Sinta aku nggak nyangka. Kamu kejam.”
Bibir Bening terus mengumpati keadaaan. Air matanya leleh sepanjang jalan. Kakinya lurus melarikan diri dari rumah.
Gaun satin yang membungkus tubuh sama sekali tak menghentikan langkahnya. Tak menawar apapun. Yang ada dalam kepala Bening hanyalah takdir malam ini sungguh menyesakkan dada.
Dan semesta pun seperti mengoloknya pula, hujan turun seperti menertawai dirinya.
Namun, Bening tak peduli. Ia hanya ingin lari, lari, dan lari sejauh mungkin. Tak sudi dikejar sang suami. Apalagi kakaknya. Ia jijik setengah mati.
Huh!
Bening lelah. Bajunya basah kuyup. Ia lebih persis orang gila daripada pengantin yang kabur di hari bahagia.
Di sebuah warung kecil temaram ia berhenti. Diam dan menatap sekeliling dengan mata berat sisa tangisan. Dan sebelah tangan menyodorkan botol berlabel kusam ke arahnya, lengkap sungging senyuman.
“Mbaknya butuh ini kayaknya,” ucap laki-laki itu. Seakan mampu membaca keadaan.
“Ini apa?” desis Bening memeriksa. Dahinya berkerut.
“Penawar sesaat,” jawab laki-laki itu. Setengah bercanda, tetapi ada nada serius di ujungnya.
Bening yang tengah porak poranda pun menerima. Aroma menyengat langsung menyeruak. Tanpa berpikir dua kali, ia meneguk minuman yang berasa pahit itu berkali-kali. Anehnya, Bening tak berhenti dan terus meneguknya hingga merasa rileks, ringan, dan terbang.
Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama. Laki-laki yang tadi memberinya botol kini mendekat, tatapan matanya berubah liar. Tangan kasarnya menyentuh bahu Bening, memaksanya untuk mendongak.
“Mbaknya lagi butuh perhatian, kan? Nggak usah malu-malu.” Suaranya bernada licik.
Bening terperanjat, tubuhnya yang tadi terasa ringan mendadak kaku. “Jangan sentuh aku!” serunya, berusaha mengelak. Namun, laki-laki itu semakin mendesak, menarik lengannya hingga ia hampir terjatuh.
“Sudahlah! Nggak ada yang bakal tahu…”
Bening meronta, mencoba melawan meskipun tubuhnya terasa lemah akibat minuman tadi. Ia memukul, menendang, tapi sia-sia. Hingga tiba-tiba suara berat memecah ketegangan.
“Lepaskan dia,” ucap seorang pria, tegas dan penuh wibawa.
Laki-laki itu terhenti, menoleh dengan kaget. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan warung, sorot matanya tajam, wajahnya seperti pilar keadilan di malam yang kelam.
“Ini bukan urusanmu!” bentak laki-laki itu, tapi sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, pria itu melayangkan pukulan ke wajahnya, membuatnya tersungkur ke tanah.
Bening terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Dadanya naik turun, antara ketakutan dan kelegaan. Pria itu berbalik, menatap Bening dengan sorot lembut. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lebih tenang.
Namun, alih-alih berterima kasih, Bening justru tertegun. Mata pria itu… wajahnya… entah kenapa mengingatkan Bening kepada Cakra.
Tanpa berpikir panjang, Bening melangkah maju dan memeluk pria itu erat. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir deras.
“Tolong… jangan pergi,” bisiknya, hampir seperti permohonan.
Pria itu terdiam, bingung. “Kamu kenapa?” tanyanya, mencoba melepas pelukan Bening.
Bening mendongak, menatap pria itu dengan mata basah yang penuh kerinduan. Nafasnya tersengal saat ia berbicara, suaranya bergetar di antara tangis. “Aku rela… lakuin apa aja yang kamu mau! Aku… aku nggak peduli lagi! Tolong, jangan pergi!”
Pria itu menatapnya dalam diam.
Dayat tersenyum kecil, tidak kaget sama sekali. Justru, pria itu menatap Bening dengan cara yang membuat Bening semakin gelisah—tatapan seperti seseorang yang sudah tahu rahasia sebelum si pemilik rahasia mengungkapkannya."Aku tahu," kata Dayat, nada suaranya ringan.Bening mengerjap. "Apa?"Dayat menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. "Waktu kamu pingsan di rumah sakit, aku ada di sana. Aku dengar sendiri waktu dokter ngomong soal kehamilanmu."Bening terdiam. Ada sesuatu yang dingin merayap di tulang punggungnya."Jadi, aku cuma menunggu kapan kamu akhirnya bakal jujur." Dayat menatapnya lekat, bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis yang sulit diterjemahkan.Bening merasa darahnya berdesir. "Kalau kamu udah tahu, kenapa nggak bilang apa-apa?"Bening mengepalkan jemarinya, berusaha menahan gemetar yang menjalar hingga ke ujung jari. Udara di dalam kafe terasa semakin berat. Di hadapannya, Dayat dud
Suara pria di seberang sana terdengar datar, tapi anehnya, seperti telah menunggu panggilan darinya. Hal itu menyalakan sesuatu dalam benak Bening—rasa tak nyaman yang tak bisa ia abaikan. Apakah Dayat benar-benar sudah menduga ia akan menghubunginya?Napas Bening tersengal halus. Bukan karena kelelahan, melainkan karena dadanya terasa sesak. Kata-kata yang ingin ia ucapkan seakan tersangkut di tenggorokan, tapi ia harus mengatakannya. Ia menggigit bibir bawah, mencoba mengendalikan getar suaranya sebelum akhirnya bicara."Aku cuma mau bilang terima kasih," katanya, berusaha terdengar tenang. "Sudah nolongin tadi. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku—""Sama-sama."Dayat memotongnya dengan nada santai, seakan sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan. Bening terdiam sejenak. Ia menunggu, berharap Dayat akan menambahkan sesuatu, tapi tidak."Nggak perlu dipikirin," lanjut pria itu.Bening menggenggam ponsel lebih erat. Ada sesuatu dalam caranya berbicara—tenang, tapi seolah tidak member
Flora baru saja hendak menata ulang kue-kue yang Bening buat ketika sesuatu yang tak terduga terjadi. Tubuh Bening yang semula berdiri tegak mendadak limbung, lalu ambruk. Flora terperanjat. Napasnya tercekat sejenak sebelum refleks menerjang ke arah sahabatnya itu.Belum sempat ia menjangkau, dua pelanggan yang baru saja masuk ke gerai lebih dulu bergerak. Salah satu dari mereka, pria bertubuh tinggi dan tegap, langsung menyambut tubuh Bening sebelum kepalanya benar-benar menghantam lantai.“Bening?” gumam pria tersebut, seakan mengenal perempuan yang kini tak sadarkan diri.Flora mengabaikan keheranannya dan buru-buru mengambil minyak kayu putih dari rak. Tangannya bekerja cepat, membalur kaki, pelipis, philtrum, dan leher Bening dengan minyak itu. Dada Bening naik turun pelan, namun tetap tak menunjukkan tanda-tanda sadar. Flora menggigit bibirnya, lalu dengan sedikit ragu, melonggarkan kancing baju bagian atas Bening agar pernapasannya lebih leluasa. Tapi tetap saja, tak ada respo
“Jawab, Bee!”Bening menatap Flora dengan ekspresi sulit ditebak. Pertanyaan sahabatnya tadi seperti tamparan yang telak. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Ia sendiri pun bingung. Flora menunggu jawaban dengan tatapan penasaran. Bisa saja Bening menjawab pertanyaan sahabatnya dengan jujur, tetapi tentu itu tidak mungkin.Akhirnya, Bening memutuskan menyahut dengan pertanyaan balik yang berbalut sebuah canda."Pertanyaan aneh. Ya menurutmu buat apa punya suami?" jawabnya santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan dalam-dalam.Flora menghela napas. "Nah! Berarti udah disentuh, kan? Wajar aja kalau sewaktu-waktu kamu bisa hamil. Bersuami.”“Kamu tuh harusnya bersyukur, Bee! Hamil itu impian setiap istri, jadi jangan bilang nggak mungkin nggak mungkin terus!"“Nanti dicatat malaikat baru nyahok kamu.”Bening tersenyum tipis, menahan rasa yang menggelayut di dadanya. Bersyukur? Kalau orang lain tahu apa yang ia alami, pasti tidak akan ada yang berkata seperti itu.Sejak pembi
Huh!Bening hanya bisa memejamkan mata seraya menghela napas dalam-dalam. Kakaknya benar sudah gila. Tidak bisa lagi diingatkan. Justru malah membalikkan keadaan dan seolah tidak bersalah. Susah!“Aku harus gimana, Ya Allah?” Menahan hati yang terluka, Bening beranjak dari tempat.Yang dialaminya itu persis buah simalakama. Ia yang jadi korban dan ia yang tertekan. Sakit hati kini bagaikan melayang. Hendak mengadu kepada sang ibu pun percuma, Sinta pasti sudah mempersiapkan jawaban. Dan Bening pun tak bisa membayangkan jika ibunya shock, darah tingginya kumat, dan ...“Nggak nggak. Ibu nggak boleh tau,” ucapnya menyimpulkan. Ia tidak akan memberitahu ibunya. Cukuplah ia yang mengetahui dan mengatasi.Namun, apakah ia juga sanggup untuk menghadapi kelakuan Sinta dengan suaminya itu seorang diri?Astaga! Bening benar-benar dibuat bingung oleh keadaan. Ia akan meminta penjelasan langsung kepada Cakra.Menunggu kepulangan Cakra tiga minggu lagi sungguh membuat Bening kian nestapa. Bukan ka
“Bener-bener ya kamu, Mbak.”Seraya menggerutu, jari Bening sudah mendial nomor Sinta. Tetapi, hingga panggilan ketiga, sama sekali tidak ada jawaban. Seakan Sinta sengaja tak menjawab telepon darinya. Membiarkan Bening larut dalam emosi serta kecemburuan yang membara.Tidak putus asa, kali selanjutnya Bening menelepon Cakra (lagi). Tetapi, nyatanya nomor suaminya itu justru tidak aktif. Membuat Bening kian curiga. Ia gelisah bukan main. Pikirannya meruncing pada simpulan prematur.BAHWA SUAMINYA MEMANG BERKHIANAT!“Ya ampun, Maaaas. Tega banget kamu!” desisnya dengan hati teriris pilu.Tangannya cepat mengetikkan pesan kepada Cakra. Mempertanyakan kesungguhan Cakra yang berjanji untuk setia, yang telah berjanji untuk terus berkabar bahkan setiap menit. Tapi, nyatanya mana? Kenyataannya suaminya itu justru tidak bisa dihubungi kala suasana hati Bening tengah berselimut kabut kecurigaan.“Mana janjimu? Katanya mau ngabarin aku. Katanya nggak bakal biarin aku mikir yang aneh-aneh.”“Jus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen