Suami Khianat, Terbitlah Bos Dayat

Suami Khianat, Terbitlah Bos Dayat

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-24
Oleh:  LisnaasaariiOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat. 1 Ulasan
15Bab
250Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Bagaimana perasaanmu jika suami yang kau cintai kedapatan berciuman dengan kakakmu sendiri? Terlebih di malam pertamamu sebagai pengantin. Bening Ayu tak pernah menyangka jika suaminya berkhianat. Parahnya dengan sang kakak sendiri. Bening kira pernikahannya akan bahagia, tetapi ternyata pernikahan itu penuh kepalsuan semata. “Kalian tega,” desis Bening dengan bibir bergetar. Air matanya sengaja ditahan. Tangisnya baru luruh saat Bening melarikan diri di malam itu. Ia ingin marah pada takdir Tuhan. Ingin marah kepada kakak dan juga suaminya. Namun, yang terjadi justru Bening sekarang tengah duduk di sebuah tempat makan di pinggir kota. Makan tanpa akal. Tak peduli tatapan semua mata. Sakit hati dan merasa dikhianati membawa langkah Bening kian gila. Menegak minuman haram dan berakhir di sebuah kamar bersama seorang pria yang ia temui di pinggir jalan. “Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau!” ucap Bening dengan gila.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Malam Pengantin

“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.

Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.

Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.

Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...

“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.

Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.

“Mas Cakra!”

Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju ranjang. Bersiap jika suaminya sudah berada di sana. Tapi, Cakra belum juga ada.

Yang terpampang adalah ranjang pengantin berwarna putih dengan taburan bunga mawar merah di atasnya. Wangi, intim, dan membuat dada Bening bergetar.

Paras Cakra mendominasi imajinasi Bening. Ia sungguh tak sabar. Harusnya sang suami sudah berada di kamar yang sama mengingat ini adalah malam pertama mereka.

Tetapi kenyataannya, di mana Cakra?

Tak seperti tadi, kini Bening mulai kecewa. Ia gelisah karena suaminya belum di depan mata. Tak tinggal diam dan hanya menunggu, Bening melangkah keluar kamar. Melewati lorong rumah orang tuanya yang sudah sepi dan masih sedikit berantakan usai acara.

Sesekali kepalanya melongok panjang menyapu setiap sudut ruang. Berharap menemukan sang suami di salah satu sudut pengamatan.

“Kamu di mana sih, Mas?” batin Bening semakin gusar.

Langkah kaki Bening kini tiba di depan kamar sang kakak –Sinta. Pintu yang tidak tertutup sempurna membuat Bening penasaran. Rasa penasarannya kian membabi buta tatkala ia mendengar suara kikik tawa yang tak asing. Mesra dan menggoda.

Itu adalah suara Cakra. Suaminya.

“Nggak mungkin.” Bening menggelengkan kepala. Menepis apa yang ia dengar.

Sialnya, suara itu kembali terdengar dan kian nyaring masuk ke telinga.

Dada Bening bergemuruh. Tidak mungkin. Mati-matian ia menyangkal keadaan. Ia pasti hanya berhalusinasi sebab ingin segera bertemu sang suami.

Namun, langkahnya seperti membatu. Ia sungguh-sungguh penasaran apakah benar yang berada di kamar sang kakak adalah Cakra –suaminya.

Dengan tangan gemetar Bening mulai memegangi gagang pintu, hatinya bergejolak antara iya dan tidak. Tetapi suara tawa mesra tadi mengundang rasa penasaran kian mencapai klimaks. Ia menekan dan melebarkan celah agar leluasa melihat fakta di dalamnya.

Jantungnya seperti berhenti berdetak sebab dihantam palu gada. Kakinya benar-benar kaku di sana. Pemandangan yang tersuguh di depan kelewat mencengangkan.

Suaminya tengah membungkuk dengan wajah yang begitu dekat dengan Sinta. Tangan kakaknya itu pun mengalung mesra pada leher suaminya. Pria yang mengucap namanya pada lafal qabul siang tadi. YA, SIANG TADI.

Keduanya bercumbu. Mesra. Panas. Seolah dunia hanya milik berdua. Dan seakan Bening tak ada di sana.

“Mas Cakra ... Mbak Sinta ... .” Suara Bening timbul tenggelam. Bibirnya bergetar. Belum betul-betul yakin bahwa yang ditatap adalah kejadian nyata. Ia berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk.

Kedua insan yang sedang berpatukan itu dengan cepat melepas diri dan mendongak ke arah Bening. Eskpresi Cakra persis rusa yang terkena lampu mobil. Penuh kebimbangan. Tetapi Sinta, Bening tak mendapati keterkejutan di sana.

“Iya, Ning?”

Justru Sinta tampak bertanya dengan nada biasa. Seakan justru Beninglah yang bersalah berada di sana memergoki percumbuan mereka. Tak berhenti di situ, ibu jari Sinta tampak mengusap permukaan bibir bekas cumbuan panas barusan dengan sensual. Sengaja.

Gila!

“Kenapa kaget gitu, Dek?”

Seketika bibir Bening yang tadi seperti bisu, kini panas ingin merutuk. Kepalanya yang seolah penggal dari leher tadi kini kembali. Kakaknya sama sekali tak merasa bersalah.

“Kalian ini apa-apaan? Gila kalian! Sakit jiwa!” Bibir Bening bergetar hebat, tangannya pun sama bergetarnya. Menunjuk keduanya dengan kemarahan yang tidak mampu ia kendalikan. Kepalanya terasa panas.

“Mbak Sinta, kamu gila!”

“Cakra! Bajingan kamu!”

Cakra kalang kabut. Bergegas kepada Bening dan berusaha menjelaskan, “aku bisa jelasin, Sayang! Ini nggak kayak yang kamu lihat!”

“Aku khilaf!”

Bening dengan tatapan kosong menatap manik mata suaminya. Bibirnya kembali kelu. Dadanya penuh, kepalanya ingin meledak. Ia tatap bibir Cakra dengan kecewa. Bibir yang bahkan belum mencumbunya sebagai seorang istri itu justru telah lebih dulu mencumbu kakaknya sendiri. Kakak ipar Cakra. Apa yang pria di depannya telah lakukan?

Benar-benar tragis malam ini!

“Dia yang godain aku, Sayang. Please! Aku minta maaf!”

“Aku nggak sengaja! Aku khilaf!” Cakra meraih tangan Bening dan mengecupinya. Tetapi, kejadian barusan sangat lekat dan Bening tidak amnesia.

Plak!

Begitu saja tangan Bening melayang menghampiri pipi Cakra. “Brengsek kamu, Mas!”

“Aku ini istri kamu. Tapi kamu malah masuk kamar wanita lain. Kamar kakak iparmu sendiri.” Suara Bening mulai patah-patah. Ia semakin kehilangan daya pertahanan.

“Di mana otak kamu?”

“Dan kamu, Mbak. Nggak seharusnya kamu giniin aku!” Tetapi kakaknya justru memasang wajah dihiasi senyum culas. Licik. Wajah yang bahkan belum pernah Bening lihat di 28 tahun hidup ini.

“Bening! Bening! BENIIING!” Suara Cakra yang melolong tak lagi Bening pedulikan.

Hatinya terlalu pedih. Bagaikan disayat-sayat lalu ditaburi garam di atasnya. Perih tak tertahan.

Bayangan bagaimana suaminya mencium kakaknya sendiri membuat dada Bening bak diremas kuat-kuat. Dongeng indahnya kini hancur berserakan. Di malam di mana seharusnya ia menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.

Seperti nasib Cinderella, dongeng percintaannya usai tengah malam ini.

“Kamu tega, Mas! Kerasukan apa kamu?”

“Kamu juga, Mbak Sinta. Aku nggak ikhlas!”

“Mbak Sinta aku nggak nyangka. Kamu kejam.”

Bibir Bening terus mengumpati keadaaan. Air matanya leleh sepanjang jalan. Kakinya lurus melarikan diri dari rumah.

Gaun satin yang membungkus tubuh sama sekali tak menghentikan langkahnya. Tak menawar apapun. Yang ada dalam kepala Bening hanyalah takdir malam ini sungguh menyesakkan dada.

Dan semesta pun seperti mengoloknya pula, hujan turun seperti menertawai dirinya.

Namun, Bening tak peduli. Ia hanya ingin lari, lari, dan lari sejauh mungkin. Tak sudi dikejar sang suami. Apalagi kakaknya. Ia jijik setengah mati.

Huh!

Bening lelah. Bajunya basah kuyup. Ia lebih persis orang gila daripada pengantin yang kabur di hari bahagia.

Di sebuah warung kecil temaram ia berhenti. Diam dan menatap sekeliling dengan mata berat sisa tangisan. Dan sebelah tangan menyodorkan botol berlabel kusam ke arahnya, lengkap sungging senyuman.

“Mbaknya butuh ini kayaknya,” ucap laki-laki itu. Seakan mampu membaca keadaan.

“Ini apa?” desis Bening memeriksa. Dahinya berkerut.

“Penawar sesaat,” jawab laki-laki itu. Setengah bercanda, tetapi ada nada serius di ujungnya.

Bening yang tengah porak poranda pun menerima. Aroma menyengat langsung menyeruak. Tanpa berpikir dua kali, ia meneguk minuman yang berasa pahit itu berkali-kali. Anehnya, Bening tak berhenti dan terus meneguknya hingga merasa rileks, ringan, dan terbang.

Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama. Laki-laki yang tadi memberinya botol kini mendekat, tatapan matanya berubah liar. Tangan kasarnya menyentuh bahu Bening, memaksanya untuk mendongak.

“Mbaknya lagi butuh perhatian, kan? Nggak usah malu-malu.” Suaranya bernada licik.

Bening terperanjat, tubuhnya yang tadi terasa ringan mendadak kaku. “Jangan sentuh aku!” serunya, berusaha mengelak. Namun, laki-laki itu semakin mendesak, menarik lengannya hingga ia hampir terjatuh.

“Sudahlah! Nggak ada yang bakal tahu…”

Bening meronta, mencoba melawan meskipun tubuhnya terasa lemah akibat minuman tadi. Ia memukul, menendang, tapi sia-sia. Hingga tiba-tiba suara berat memecah ketegangan.

“Lepaskan dia,” ucap seorang pria, tegas dan penuh wibawa.

Laki-laki itu terhenti, menoleh dengan kaget. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan warung, sorot matanya tajam, wajahnya seperti pilar keadilan di malam yang kelam.

“Ini bukan urusanmu!” bentak laki-laki itu, tapi sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, pria itu melayangkan pukulan ke wajahnya, membuatnya tersungkur ke tanah.

Bening terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Dadanya naik turun, antara ketakutan dan kelegaan. Pria itu berbalik, menatap Bening dengan sorot lembut. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lebih tenang.

Namun, alih-alih berterima kasih, Bening justru tertegun. Mata pria itu… wajahnya… entah kenapa mengingatkan Bening kepada Cakra.

Tanpa berpikir panjang, Bening melangkah maju dan memeluk pria itu erat. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir deras.

“Tolong… jangan pergi,” bisiknya, hampir seperti permohonan.

Pria itu terdiam, bingung. “Kamu kenapa?” tanyanya, mencoba melepas pelukan Bening.

Bening mendongak, menatap pria itu dengan mata basah yang penuh kerinduan. Nafasnya tersengal saat ia berbicara, suaranya bergetar di antara tangis. “Aku rela… lakuin apa aja yang kamu mau! Aku… aku nggak peduli lagi! Tolong, jangan pergi!”

Pria itu menatapnya dalam diam.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Ute Glider
Harus sampai tamat sih ini. Semangat kakakkkk...
2025-02-10 08:17:53
0
15 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status