"Masuk."Aku diam di ujung teras, menatap punggung lelaki yang memasuki rumah di tengah-tengan taman yang rindang. Ada rasa jengah mengikuti masuk ke dalam. Aku memilih mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Hanya pendar lampu satpam di depan sana.Katanya tempat ini milik Bu Camat yang disiapkan untuk tamu-tamu kecamatan. Mahendra bilang beberapa unit di belakang sana, tetapi untuk saat ini semuanya tidak ada yang menghuni."Dek Laras. Ayo masuk." Pria itu melongok keluar setelah tirai jendela dibuka. Tertinggal tirai transparan yang menyajikan keadaan di dalam dengan samar. "Aku tunggu di sini saja.""Banyak nyamuk, Dek. Masuk sini. Aku tidak gigit, kok, serunya sambil tertawa. Langkah ini masuk dengan keraguan. Masih lekat diingatan dua bapak satpam tadi memberi tatapan menyelidik ke arahku. Entah hanya perasaanku, aku menangkap arti lain senyuman mereka setelah saling pandang.Seakan mengatakan, " Cie Pak Mahendra bawa cewek pulang. Asyeeek." Seharusnya aku mengabaikannya.
POV Larasati Aku meruntuki batas GR ku terhadap laki-laki. Dikasih perhatian ini itu sudah luluh dan bertekuk lutut. Memang kami sudah menjadi sepasang kekasih, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menyentuhku. Itu seharusnya. "Pagi-pagi sudah minta cium," gumamku sambil melambaikan tangan kepadanya. Setelah selesai makan pagi, dia pamit pergi. Katanya ada yang harus diurus di kantor kecamatan. Tentunya dia memintaku mengantarkan dia dan tidak boleh masuk sebelum dia belok di ujung jalan. "Aku lihat kamu di kaca spion, Dek. Itu menjadi semangatku mulai sekarang. Rasanya hati ini sudah ada yang ngisi. Namanya Larasati," ucapnya tadi. Ucapan gombal seperti itu saja sudah bikin hati ini bermekaran seperti taman bunga. Tidak hanya itu, ketika ingat saat dia menciumku, dada ini kembali berdebar. Huuft!Kenapa aku tidak bisa menahan diri? Jiwa kewanitaanku mulai terusik dan tidak mematuhi perintah logika. "Mbak Laras, Pak Mahendra sudah pergi?" Bik Yanti keluar dari pintu belak
POV Mahendra Sebenarnya aku tidak ingin lama-lama tinggal di kota ini. Secara letak geografis tidak menguntungkan, jauh dari bandara. Sedangkan aku harus mondar-mandir ke sana sini. Usahaku menjual furniture dan handycraf ke luar negeri menuntutku untuk bepergian. Entah itu untuk kontrol produksi, atau melakukan pemasaran ke konsumen dalam maupun luar negeri. Selain itu ada alasan kenapa aku enggan tinggal di kota ini. Aku mempunyai kenangan buruk. Aku ingin melupakannya. Namun, Mbak Rahma-seniorku saat kuliah-meminta bantuan dengan sangat. Dia sekarang menjabat jadi camat di kota ini. "Bantu aku Mahendra. Aku sudah menggunakan banyak cara tapi tidak berhasil. Para pengrajin kerjanya ya saat program berlangsung, selanjutnya kembali ke awal." "Ya gimana lagi. Kalian memberi pengaraan untuk produksi saja. Tapi tidak di-push untuk penjualan" Kegagalannya karena tidak ada contoh nyata yang mematik semangat para pengrajin. Ya gimana, melakukan program hanya dengan ceramah dar
Aku terduduk kembali di kursi rotan, menangkup wajah dengan kedua tangan. Sungguh aku malu sekali. Dengan gampangnya aku menyerahkan diri disentuh oleh lelaki yang belum benar-benar aku kenal. Walaupun itu hanya ciuman. Setelah ini, bisa jadi aku di-cap olehnya sebagai janda gampangan. Kubuka tangan ini saat dia menyentuh lututku. Ternyata lelaki ini jongkok dengan satu kaki bertumpu di tanah. "Maaf. Kamu tidak marah, kan, Dek?" Suaranya berbisik dengan wajah mendekat. Memberi tatapan kawatir seakan takut aku akan kembali menarik diri darinya. "Sa-saya malu." Kembali satu tanganku menangkup wajah. Dada ini masih menyisakan debar yang tak karuan. Antara malu, kawatir, dan bahagia bercampur menjadi satu. Wajah ini terasa hangat mengingat betapa rakusnya aku tadi. Bilangnya tidak mau dekat lagi, eh tetapi responnya kebalikan. Harusnya saat dia mencium tanpa permisi, aku tampar dia yang kurang ajar. Eh, aku malah memeluk san membalas ciuman tanpa malu. Masih di depan
"Kamu ini lucu," ucap setelah tawanya mereda. Mungkin Mahendra sadar kalau aku diam seribu baca. Apa maksudnya ketawanya itu? Menganggap aku sebagai bahan lucu karena kebodohanku? Wanita yang tidak panjang akal yang tidak sadar posisi. Jangan-jangan selama ini aku dijadikan bahan ketawaan bersama teman-temannya. Seperti saat aku bersama Aditya dulu. Ketika itu, dia membicarakan aku dengan broker mobil bekas di gudang mobil tempat usaha mantan suamiku itu. "Kamu enak, istrimu tidak suka ngecek hapemu. Lah aku ketahuan karena istriku diam-diam menyadap hapeku. Pokoknya wanita zaman sekarang super canggih," ucap temannya itu Kala itu aku datang mengantar makan siang dari warung. Karena di depan ada tamu, aku memilih lewat pintu samping. "Aku juga kapok main api sama perempuan. Apalagi janda yang sudah punya anak. Kalau sudah chat mesra dan dia kirim foto, pasti ada aja yang diminta. Yang uang jajan anak lah, token listrik, sampai bayar bon di warung." "Iya, lah, Bro. Kami kan
Sepertinya ada yang salah denganku. Aku terlalu fokus dengan apa yang aku yakini. Telinga mata, dan mataku kurang peka. Mungkin ini kesalahanku di masa lalu. Ketika meyakini Aditya adalah lelaki yang paling tepat dan pasti memberi kebahagiaan, semua indraku menutup pendapat lain. Walaupun itu dari Bapak dan Ibuk. "Nduk, kamu ini anak Bapak satu-satunya. Kalau tidak melanjutkan kuliah bagaimana masa depanmu?" ucap Bapak kala itu. "Untuk apa kuliah, Pak. Ilmu itu tidak harus didapat dari mendengarkan dosen." "Benar itu. Tapi dengan kuliah kamu pasti mendapatkan bekal untuk masa depan." "Bapak ini berpikiran sempit. Kuliah pun tidak menjamin masa depan. Tuh banyak sarjana pengangguran," jawabku bersikukuh. Bapak memang penyabar. Dari kecil, tidak pernah sekalipun berteriak kepadaku, apalagi marah. Begitu juga Ibu. "Terus rencanamu apa, Nduk?" Ibu menimpali sambil membelai rambut ini. "Menikah." "Ha, menikah?!" teriak mereka bersamaan. Kala itu, telingaku benar-be