Share

Bab 7

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-07-01 08:31:55

"Nikah sama siapa, Bik?" Aku memastikan kembali apa yang tertangkap di telinga ini. Apa mungkin dia salah ucap atau aku yang salah dengar?

Wanita setengah baya ini memberi tatapan ragu, kemudian menunduk dengan tangan memainkan epron.

"Maaf kalau saya berbicara lancang. Tapi ini karena saya merasa tidak terima, kenapa Mbak Laras orang baik tapi terjebak dengan orang seperti Pak Aditya."

Aku tersenyum. Ternyata yang aku dengar benar. Namun, kenapa Bik Yanti bisa mempunyai pemikiran seperti ini? Aku harus cari tahu.

"Sini, Bik." Aku menepuk bangku di sebelahku, memberi ruang untuk dia duduki.

"Mbak Laras marah?"

"Tidak. Hanya mau tanya tentang pendapat Bik Yanti. Bagaimanapun saya sekarang sendirian dan hanya Bik Yanti yang menjadi teman saya. Sini." Aku menepuk bangku kembali.

"Kenapa Bik Yanti tadi berkata seperti itu?"

Dia menghela napas sebelum menjawab. "Dari kecil saya kan tahu bagaimana Mbak Laras sekeluarga dulu. Pak Guru dan Bu Guru yang baik dengan semua orang."

Aku tersenyum mendengar sebutan Pak Guru dan Bu Guru untuk almarhum orang tuaku. Memang bapak dan ibu dulu terkenal menjadi tempat meminta tolong orang sekitar. Entah masalah anak, kehidupan, bahkan kalau ada masalah pernikahan pun mereka datang ke rumah.

Orang tuaku selalu membantu dengan tulus. Maka tidak heran hampir setiap hari ada saja yang mengirim hasil bumi atau makanan tanda terima kasih.

"Tapi ketika mendengar Mbak Laras diceraikan Pak Aditya, kami semua marah."

"Kenapa?"

"Ya gemes aja. Laki-laki kok tidak ada syukur-syukurnya! Apa kurangnya wanita seperti Mbak Laras? Lebih gregetan lagi saat mendengar kalau Mbak Laras mau rujuk dengannya."

"Rujuk? Saya kembali dengan Aditya?" tanyaku sambil tertawa kecil. "Memang Bibik tahu dari mana?"

"Loh, iya, kan? Semua orang tahu, Mbak. Sampai setiap ketemu orang saya ditanya hal yang sama."

Lalu dia menceritakan kalau kabar tidak benar ini dia dengar dua hari yang lalu ketika belanja di pasar. Seperti api yang disiram minyak, semua orang mengutarakan pendapatnya.

Aku jelaskan juga kalau berita itu tidak benar dan sebenarnya aku menjaga jarak dengan mantan suamiku itu.

'Seandainya orang-orang tahu tindakan pelecehan yang tadi terjadi, bisa jadi dia digebukin massa. Sudahlah, aku tidak mau keributan.

"Alhamdulillah kalau begitu. Saya senang mendengarnya dan akan menyangkal kalau ada yang bicara hal itu lagi. Wes, pokoknya biar Bibik yang ngadepin!" serunya sambil menepuk dada.

Dia beranjak dari duduk yang bersiap ke belakang. Tugasnya sudah menunggu-cucian peralatan yang menumpuk. Aku pun mulai bersiap memakai eprom berwarna merah maroon. Tak lama lagi waktunya makan siang dan pelanggan berdatangan.

Sendok sayur, capit untuk mengambil lauk, dan entong nasi aku siapkan di masing-masing tempat. Semua sudah siap.

"Pagi, Mbak Laras. Sudah buka, kan?"

"Sudah, Pak Parjo. Mau makan apa?"

"Seperti biasa. Tiga, minumnya teh hangat,," sahutnya sambil duduk di bangku tidak jauh dari estalase. Dia bersama dua temannya.

Kebiasaannya dia, yang selalu menggunakan lauk ayam lengkuas dan urap sayur, ditambah sambel sedikit.

Pak Parjo, satpam senior di kantor Pertanahan. Dia pernah memperkenalkan diri sebagai duda tanpa anak. Saat itu aku hanya mengiyakan tanpa menanggapi kelanjutannya. Bukannya GR, tapi cara bicaranya seperti memancing simpati.

Walaupun aku berusaha mengenal pelanggan, tapi aku memberi batasan. Lelaki memang bertabiat menggoda, tergantung kita sebagai wanita menanggapi atau tidak. Syukurlah sampai sekarang pelangganku baik semua.

"Mbak Laras, punyakku sambelnya dua sendok."

"Tumben, Pak?" Aku menambahkan satu sendok lagi. Sambel bajak yang ditambah ikan teri sedikit untuk pengganti terasi.

"Iya. Biar kalau nangis ada alasan kepedasan," sahut temannya.

"Maklum, Mbak. Lagi patah hati!" Teman satunya menimpali dan berakhir tawa keduanya. Pak Parjo yang diledek tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala, menerima piring yang aku sodorkan, tapi dia tidak beranjak pergi.

"Ada yang kurang, Pak? Nambah tempe atau pergedel jagung?"

Bukannya menjawab, dia malah menghela napas panjang. Mataku menangkap kedua temannya yang senyum-senyum.

"Harusnya Mbak Laras sabar sedikit. Sebentar lagi saya dipromosikan jadi kepala satpam," ucapnya lirih tapi masih tertangkap jelas di telingaku.

Kerutan di dahiku semakin dalam setelah ucapan berikutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 30

    "Jadi ini jawabannya iya, kan. Kita bukan sandiwara lagi, tapi benar-benar serius akan menikah." Tangannya mengeratkan pelukan. Kepala ini juga menyelusup di dadanya. Sungguh, kehangatan ini tidak rela aku lepaskan. "Kok diem aja." Aku mendongak. "Sudah begini masak aku bilang tidak." "Ya, siapa tahu ada kandidat lain. Sudah yakin, kan?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ini kali kedua aku membuat keputusan untuk memasrahkan hidupku kepada laki-laki. Keraguan sebelumnya mulai memudar seiring keyakinan yang diberikan oleh lelaki ini. Tadi setelah tertidur, kami berbincang sambil rebahan. Dia menceritakan siapa dia sebenarnya. Latar belakang dan bagaimana sampai menjadi posisi sekarang. "Aku ini orang biasa, Mas. Seharusnya Mas Hendra mendapatkan pendamping yang sepadan." "Memang sepadan untukku harus bagaimana?" Tangannya yang aku gunakan sandaran kepala memainkan rambutku. Aku beringsut beralih kepadanya. "Mas Hendra masih muda sudah menjadi pengusaha, pinter, dan..." telunjukk

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 29

    "Boleh aku cium sedikit?" Bagaimana aku bisa menjawab, ketika logika dan rasa dalam diri berseteru. Isi kepalaku bersikukuh dengan keputusan kami untuk jaga jarak. Akan tetapi, hati dan tubuh ini berkehendak kebalikkan. Aku diam membalas tatapan yang awalnya terbelalak, lambat laun mata ini meredup. Dalam dada semakin bergemuruh dan napas pun seakan tercekat ketika bisik suaranya terdengar kembali."Boleh, Dek?"Isi kepalaku menyerah, terkalahkan dengan hasrat yang mulai terpatik. Bohong kalau aku tidak menginginkan dirinya, kedekatan ini sudah menjadi candu bagiku. Kepala ini mengangguk samar. Dengan kurang ajarnya, mata ini justru terpejam seakan mendamba untuk disegerakan.Tubuh ini meremang seiring jarak mulai terkikis. Tidak ada cukup dengan cium sedikit. Yang terjadi justru saling menuntut lebih. Kebutuhan yang sudah aku matikan pun kembali berkobar. Bukannya menolak, aku justru memberi keleluasaan kepadanya. Tidak hanya bibir yang menjelajah, tangan besarnya pun membuat mu

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 28

    Pandangan aku tajamkan, menelisik wanita itu. Wanita berkulit putih itu tinggi badannya hanya sebahu Mahendra. Tidak langsing, tapi dada besar dan pantat bundar berbentuk sempurna dalam balutan baju ketat dengan krah rendah yang menunjukkan belahan. "Kucing mana yang tidak ngiler melihat dada yang hampir tumpah itu. Pasti dalam pikiranya sudah membayangkan ini dan itu." Bisikku dalam hati sambil melirik bagian depanku yang tidak begitu besar. Mungkin ini juga yang menjadikan aku kalah saingan dengan wanita lain. Dahiku berkerut mengamati reaksi Mahendra. Terlihat sekali wanita berbaju merah itu berusaha menyentuh. Tangannya berusaha menggandeng dan seakan berbuat tidak sengaja dadanya yang besar menempel lelaki itu. Aku mendengkus, kedua alis mataku pun mulai bertaut. Namun, bibirku menyungging sedikit senyuman ketika melihat kekasihku itu berusaha menghindar. "Wanita itu benar-benar gatal. Apa dia tidak malu dilihat tukang-tukang yang cekikikan itu?" gumamku sambil membua

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 27

    Rasanya ingin marah, tapi kok aku merasa tidak tahu diri, ya? Siapa lah aku yang mungkin bagi lelaki sekaliber Mahendra hanya persinggahan di waktu luang. Dia seperti paket lengkap, keren, pinter, dan berduit. Masih beruntung dia memperlakukan aku seperti kekasih seperti sekarang ini. Namun... dada ini lama kelamaan kok semakin sesak, ya?"Kita sarapan, yuk!" Mahendra yang sudah bersiap menunjukkan kunci mobil.Laki-laki ini memang bikin mata tidak berkedip. Tidak mandi dan hanya cuci muka saja sudah terlihat segar. Menggunakan celana cargo yang dipadukan dengan kaos lengan panjang, menjadikannya mata wanita enggan berkedip."Sebentar, Mas." Aku mengambil tas cangklong, mengeluarkan ikat rambut kemudian menggelung tinggi. "Ayok. Aku sudah siap.""Tunggu.""Ada yang ketinggalan?"Dia mendekat. Sorot matanya lekat ke arahku. Tubuhku menyurut ketika tangannya terulur. "Kenapa, Mas?""Diam sebentar, Dek. Jangan gini ngikatnya." Dia menarik ikat rambut dan mengikat ke bawah. Aku terkesiap

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 26

    "Sebentar lagi kita sampai," ucap Mahendra sambil menoleh ke arahku. Lampu jalan mulai menunjukkan keberadaannya. Meskipun tidak rapat, tapi bisa menunjukkan pemandangan di luar jendela mobil. Lalu lalang di jalanan pun mulai terlihat, dan rumah penduduk berjajar seakan menyambut kedatangan kami. Walaupun terlihat pohon-pohon jati menjulang di belakang pemukiman. Pemandangan yang aku dapati begitu lain dari daerah lain yang pernah aku kunjungi. Di pinggir jalan tumpukan kayu jati glondongan dan akar kayu menjadi pemandangan. "Masih gelap. Kita masih ada waktu untuk istirahat." Mobil kami berhenti di depan pintu gerbang bangunan seperti gudang. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua keluar dan membuka setelah membungkuk memberi hormat kepada kami. "Dia penjaga gudang. Dari kemarin sudah saya kasih tahu kedatangan kita," ucapnya setelah melambaikan tangan ke aras lelaki itu. Pandangan mata ini memutari ke sekeliling. Kami berada di gudang besar yang di sisi sana terdapat

  • Suami Kiriman Bikin Nyaman   Bab 25

    "Saya kirim pesan Mbak Laras aja. Takut dia dengar dan tambah ngamuk." Suara berbisik Bik Yanti pun terputus. Tanganku menggenggam erat menahan amarah setelah membaca pesan dari Bik Yanti. Bisa-bisanya orang itu mengganggu hidupku. Padahal aku tidak pernah mengusik keluarganya yang sudah bahagia. "Ada yang gawat?" Mahendra menelengkan kepala dengan mata menyelidik. Mobil dia tepikan dan berhenti tanpa mematikan mesin. "Biasa, Mas. Orang itu," sahutku sambil menghela napas. "Mantan kamu?" "Iya. Dia datang di rumah gedor-gedor pintu sambil teriak-teriak kayak orang mabok. Ini tetangga pada keluar rumah gara-gara dia ini." "Sering seperti ini?" "Kalau datang dalam keadaan mabok baru kali ini. Biasanya datang ke warung seperti saat Mas Hendra ketemui itu," ucapanku terjeda dengan sesak di dada. Kenapa laki-laki yang pernah aku sayang dan dulu tempatku menyerahkan hidupku memperlakukan aku seperti ini? Apa tidak tersisa perasaan kasih dan sayang sedikit saja? Gigi in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status