Perawat jaga yang mengetahui kondisi Edward telah siuman di ruang ICU segera memanggil dokter untuk memeriksa pasien itu. Kali ini Dokter Sigmund Olsen yang mendapat giliran jaga malam hingga pagi, dia melakukan pengecekan kondisi vital tubuh Edward.
"Apa yang terasa nyeri? Bagaimana pandangan mata Anda, apa fokus atau blur?" tanya Dokter Sigmund Olsen.
Edward merasa nyeri di seluruh tubuhnya karena obat pereda nyeri yang diberikan pasca operasi telah mulai memudar efeknya. Dia berbicara dengan suara serak kering terdengar seperti kertas disobek perlahan, "Seluruh tubuhku nyeri, terlalu sakit ... mataku baik-baik saja ... sekalipun kepalaku pusing, Dok! Dan aku haus sekali."
"Baik, kami akan berikan lagi pain killer injection sesegera mungkin! Silakan beristirahat lagi, Sir," jawab Dokter Sigmund Olsen lalu ia memerintahkan kepada perawat untuk memberikan suntikan pereda nyeri serta air minum untuk Edward.
Setelah itu pria yang tubuhnya luluh lantak itu kembali tertidur berjam-jam dan terhanyut dalam mimpi tentang kejadian terakhir di bawah Eifel Tower antara dia dengan Mario serta Inez. Nama wanita itu meluncur dari bibirnya ketika ia mengigau dalam tidurnya.
Kebetulan Nyonya Rae Adeline Hutapea yang sedang menemani putera kesayangannya itu di samping ranjang pasien ruang ICU. Hatinya terbakar api dendam. 'Masih pula nama wanita laknat itu yang Edward panggil dalam tidurnya. Nak, sebegitu besarnya cintamu untuk Inez?! Mama tak rela kamu jadi begini!' geram mama Edward dalam hatinya sambil menangis tersedu memandangi wajah puteranya yang setengah hancur.
Samar-samar pemuda itu mendengar suara tangisan wanita dan ia pun mulai membuka kedua matanya. Edward menangkap sosok mamanya yang duduk di samping ranjang tempat ia terbaring. "Mama ... kapan datang?" sapa Edward tak mampu menggerakkan tubuhnya yang lemas.
"Kemarin malam, Nak. Apa tubuhmu masih terasa sakit?" balas Nyonya Rae Adeline menggenggam tangan kanan Edward sembari menatap penuh kasih.
Rasa bersalah menguasai hati pemuda itu saat melihat mamanya bersedih karena dia. Maka dia pun berusaha kuat dan menjawab, "Edward baik-baik saja, Ma. Ini hanya luka biasa, nanti juga pulih pada waktunya."
Wanita berumur yang masih tampak menarik itu mengangguk lega mendengar jawaban puteranya. "Setelah kau pulih kita kembali ke Indonesia saja, Sayang! Tinggallah di Medan bersama papa mama. Kau bisa mengurusi bisnis VES dari sana juga, tak perlu menetap di Eropa," bujuk Nyonya Rae Adeline.
"Mamaku yang cantik, jangan terlalu menguatirkan aku. Sepertinya Edward akan berkantor di Jakarta saja," jawab pemuda itu karena masih ingin menemui Inez Jansen.
Raut wajah Nyonya Rae Adeline sontak mendung, dia pun mencecar puteranya, "Jangan temui lagi wanita itu! Mama melarangmu, Ed. Dia tidak layak mendapatkan cintamu yang berharga. Bukankah dia memilih kembali dengan suaminya lagi dan meninggalkanmu setengah mati di jalanan kota Paris?! Apa yang kau harapkan lagi dari Inez?!"
Mata Edward terpejam menahan kenyataan pahit dari perkataan mamanya yang tak meleset sedikit pun itu. Dia lalu menjawab, "Aku ingin membalas dendam, Ma. Pihak-pihak yang telah merengut kebahagiaanku dan membuatku nyaris kehilangan nyawa, mereka harus membayarnya lunas!"
"Sayang, pikirkan dirimu dulu, wajahmu rusak parah akibat kecelakaan itu. Apa kau ingin menjalani operasi plastik? Mama sarankan kau berobat ke Korea Selatan, di sana ada dokter ahli operasi plastik terbaik yang bisa mengembalikan ketampananmu seperti sedia kala," saran mama Edward lalu mereka berdua menoleh ke pintu kamar ketika seseorang membukanya.
"Paa—" Edward menyapa papanya yang berjalan mendekati ranjangnya.
"Kau sudah siuman rupanya, Ed. Papa baru saja berbicara dengan tim dokter rumah sakit ini. Kau masih butuh waktu untuk pemulihan sekitar 2 minggu sebelum bisa kembali ke Indonesia," tutur Tuan Gultom Hotma Sinaga yang berdiri di sebelah kiri ranjang puteranya itu.
Edward paham seperti apa kondisi tubuhnya, memang sebaiknya menuruti saran dokter yang paham ilmu medis. Dia pun menuruti semua petunjuk tim dokter yang merawatnya. Bahkan, pada akhirnya dia harus tetap dirawat di rumah sakit selama dua bulan penuh untuk menjalani fisioterapi kakinya yang sempat fraktur (patah tulang) dan ketiga tulang rusuknya retak juga yang mengalami rehabilitasi.
*Dua bulan setelahnya*
Edward terbang dengan pesawat Turkish Airlines bersama John Whitmann dari Paris menuju ke Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan. Dia memiliki janji untuk menjalani operasi rekonstruksi wajah dengan Dokter Jang Sung Kyun, dokter spesialis bedah itu terkenal paling bagus hasil operasinya hingga menjadi langganan para artis top negeri ginseng itu.
Nama klinik bedah khusus itu bernama Mayo Aesthetics Surgery Clinic, mereka berdua naik taksi dari Bandara Incheon ke klinik milik Dokter Jang Sung Kyun.
Bangunan vertikal 7 lantai itu termasuk mewah untuk kelas klinik dokter pribadi. Tenaga medisnya juga banyak dan sigap membantu setiap pasien baru yang datang ke sana sama seperti seorang perawat yang berjaga di bagian resepsionis klinik yang sedang membantu Edward mengisi data identitas pasien.
"Baik, Tuan Edward Lincoln Sinaga. Semua data sudah lengkap, silakan Anda menuju ke lantai 2 untuk menunggu nama Anda dipanggil oleh perawat ruang periksa," ujar Suster Kim Yeon Na menundukkan kepalanya kepada Edward dengan sopan.
"Terima kasih, Suster," jawab Edward lalu bangkit berdiri dari bangku bagian pendaftaran pasien.
Pemuda itu ditemani John Whitmann naik dengan lift ke lantai 2 lalu menunggu namanya dipanggil di bangku ruang tunggu.
"Master Edward, apa proses operasinya akan langsung dikerjakan atau kita harus mengantre lagi hingga hari berikutnya?" tanya John Whitmann karena dia yang bertugas mengurus akomodasi bosnya selama bepergian.
"Aku masih belum tahu, John. Namun, setelah aku bertemu Dokter Jang, pasti akan kuberitahu seperti apa agendanya. Tenanglah—"
Seorang perawat keluar dari balik pintu ruang periksa dan memanggil nama lengkap Edward serta memintanya masuk ke ruangan itu.
Ketika Edward memasuki ruang periksa, dia melihat seorang pria yang berparas menarik entah berapa usianya, yang jelas seolah ia tidak mengalami proses penuaan. Sungguh mengesankan!
"Silakan duduk, Tuan Edward Lincoln Sinaga. Apa Anda ingin membetulkan kerusakan di wajah tampan Anda?" ujar Dokter Jang Sung Kyun dengan sebersit gurauan yang terkesan santai.
Edward tersenyum menanggapi perkataan dokter berkebangsaan Korea Selatan itu. "Benar, Dok. Saya percaya Anda yang terbaik," ucap pemuda itu melontarkan pujiannya.
"Terima kasih. Jadi ... saya sudah melihat foto Anda sebelum mengalami kecelakaan. Apa bentuk wajah yang sama yang Anda inginkan untuk saya reparasi?" lanjut Dokter Jang.
"Tidak. Buat wajah yang berbeda dan lebih tampan serta enak dilihat, Dok. Saya tahu bahwa paras saya sebelum kecelakaan sudah tampan ... hanya saja Anda pasti bisa membuatnya lebih sempurna. Apa boleh begitu, Dok?" jawab Edward santai sembari tersenyum tipis.
Dokter Jang mengerti keinginan kliennya. "Boleh, tentu saja boleh. Klien adalah raja. Apa yang ingin Anda perbaiki, hidung yang lebih mancung, bibir yang lebih sensual, tulang pipi atau rahang yang lebih runcing?" pancing pria Korea itu untuk memahami keinginan Edward.
"Semuanya, Dok. Buat wajahku seperti artis K-pop paling tampan yang pernah ada. Kapan kita bisa memulai proses operasinya?" balas Edward antusias dengan mata berkilat-kilat.
"Siang ini, Tuan Edward. Silakan mengikuti petunjuk perawat yang akan mendampingi Anda bersiap-siap sebelum menjalani operasi rekonstruksi wajah. Sampai jumpa beberapa minggu lagi dengan wajah berbeda!" ujar Dokter Jang Sung Kyun dengan percaya diri berjabat tangan dengan pemuda asal Indonesia itu.
Tepat pukul 18.00 WIB, pesawat private jet membawa Edward dan Meirasty yang tetap dikawal oleh John Whitman beserta 2 rekan pengawal lainnya terbang menuju ke Amsterdam. Sekitar 16 jam durasi perjalanan itu tanpa mendarat transit sama sekali. Pukul 04.00 waktu Amsterdam mereka tiba di bandara, memang ada perbedaan waktu kedua negara yang lebih cepat 6 jam di Indonesia bagian barat dengan Amsterdam."Mey, kita check in hotel dulu saja buat istirahat, nanti pukul 11.00 baru mulai jalan-jalan ke kota," ujar Edward menggandeng tangan Meirasty menuruni undakan pesawat private jet itu."Aku ngikut rencana Kak Edu aja," sahut Meirasty mengikuti langkah-langkah lebar kaki suaminya yang bertubuh jangkung itu melintasi lobi bandara internasional Amsterdam. Mereka dijemput karyawan kantor VES dengan mobil SUV hitam merk buatan Belanda.Hotel yang dipilih Edward sengaja sama seperti saat dia menginap di kota itu bersama Inez, Inntel Hotels Amsterdam Zaandam. Saat memasuki kamar yang sama, dia t
"Halo, Pak Edward. Ada sebuah kiriman lukisan dari Nyonya Inez Jansen di kantor VES Jakarta," ujar David Sutomo, sekretaris pribadi Edward yang mengurusi kantornya yang ada di Jakarta Pusat.Pria itu mengerutkan keningnya, dia menduga itu pasti lukisan replika karya Rembrandt berjudul The Storm on The Sea of Galilee yang dulu pernah ia kirimkan untuk mengancam Inez. Kemudian ia pun bertanya, "Apa ada surat yang dikirimkan untukku juga, David?""Ada, Pak Edward. Saya belum membukanya, apa perlu saya fotokan isinya atau bacakan di telepon?" jawab David yang memang sedang memegangi sepucuk surat beramplop putih dengan tulisan tangan di alamat tujuan penerima."Bacakan saja, tapi nanti fotokan juga dan kirim ke nomorku, oke?" balas Edward lalu diam menunggu sekretarisnya membacakan surat dari Inez.David pun membacakan isi surat dari Inez itu, "Hai, Mas Edward. Semoga kabarmu baik-baik saja di sana. Inez ingin mengembalikan lukisan ini, aku harap Mas sudah mengakhiri dendam yang ada di an
Seusai makan malam di rumahnya yang ada di Paris bersama keluarga kecilnya, Edward duduk sendiri dalam ruang kantor rumahnya. Di genggaman tangannya ada beberapa lembar kertas bertuliskan "Surat Pernikahan Kontrak" dimana pada bagian bawah dari surat itu terdapat tanda tangan Meirasty dan juga tanda tangannya sendiri. Sudah hampir 2 tahun ini dia mengenal Meirasty, segalanya berjalan di luar dugaannya. Rencana awalnya untuk menghancurkan rumah tangga Inez dan Mario menggunakan adik kandung Mario memang awalnya berhasil. Namun, dalam perjalanannya justru dirinyalah yang terjerat dalam perasaan cinta yang sulit untuk ditepis olehnya.Inez terlalu keras kepala baginya, wanita itu lebih memilih untuk menjadi gila dibanding merelakan dirinya menjalin percintaan dengannya. Sungguh mengecewakan!Dari informan yang dia bayar untuk memata-matai Inez di rumah wanita itu yang ada di Jakarta, kondisi kesehatan mental dan kejiwaan Inez berangsur pulih sekalipun pada akhirnya dia berhenti bekerja
Sekalipun pernikahan kali ini adalah yang kedua bagi Clara, tetapi dia masih merasakan debaran kencang di dadanya saat mendengar calon suaminya mengucap janji di hadapan penghulu. Ketika semua mengucapkan kata "SAH", dia dan Tristan menghela napas lega. Sekarang mereka berdua adalah pasangan suami istri resmi di mata hukum dan agama."Tris, nitip puteri kesayanganku ya! Tolong kamu bahagiakan dan jaga dia selalu," pesan Inez saat dia menerima sujud sungkem mohon doa restu orang tua dari Tristan, menantu barunya.Kemudian dengan yakin Tristan pun menjawab, "Pasti, Nez. Ehh—Mama Mertua ... aku pasti serius jagain Clara. Mohon doa restunya ya!" Mario yang diam-diam mendengarkan pembicaraan istrinya dengan Tristan pun mendengkus geli. Pasalnya, kedua orang itu pernah terlibat cinta terlarang, sebuah one-night-stand. Dan itu pun karena Tristan merasakan obsesi cinta yang hampir sama dengan Edward. Bedanya, takdir berbicara lain untuk hubungan kedua pria itu dengan Inez."Mama ... Clara, m
Hari-hari selanjutnya setelah Inez kembali ke Jakarta terasa menenangkan. Dia memang terkadang seperti melamun saat sedang sendirian. Namun, histeria mimpi buruknya berangsur mulai jarang muncul. Mario pun mendukung penuh proses pemulihannya dengan tidak memaksakan harus berhubungan suami istri secara intim. Baginya kesehatan mental kejiwaan istrinya jauh lebih penting dibanding memaksakan ego serta kebutuhan biologisnya.Pagi jelang siang itu Nyonya Valeria Jansen, mama mertua Inez dari mendiang suami pertamanya dulu mengunjunginya di rumah. Dia sudah mendengar cerita dari Clara serta Mario mengenai penculikan Edward. Sekalipun bagi dirinya sebagai orang awam terasa absurd peristiwa itu. Namun, begitulah kenyataannya ... ketika seseorang dibutakan oleh obsesi gila segalanya dihalalkan untuk mendapatkan keinginannya."Pagi, Inez!" sapa Nyonya Valeria yang masih begitu sehat berjalan tanpa alat bantu sekalipun rambut sepunggungnya sebagian besar telah memutih. Inez menoleh lalu berjal
Sepasang kekasih yang akan segera menikah beberapa hari ke depan itu duduk berdekatan di bangku ruang tunggu bandara. Clara melihat-lihat berita yang sedang menjadi trending topik di jagad maya melalui layar ponselnya, sedangkan Tristan yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu lebih tertarik untuk bermesraan dengan kekasihnya.Dia menempelkan badannya dan wajahnya kepada Clara sambil membelai rambut panjang dan wajah pacarnya itu dengan gaya pria yang sedang bucin. Mau tak mau Clara pun menjadi geli sendiri dengan tingkah pacarnya yang menggemaskan. Memang Tristan itu seorang CEO perusahaan berkelas nasional, smart, ganteng, perfectlah pokoknya. Namun, kelakuannya kalau sedang bersamanya seperti bocah yang manja begitu kekanak-kanakan. "Mas Tristan nggak lapar?" tanya Clara iseng.Tristan langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Clara. "Apa kamu lapar, Sayangku? Mau dibeliin apa?" tanyanya kembali."Hahaha. Hey, 'kan yang nanya duluan aku! Mas jawab dong," balas Clara ter