LOGINKeesokan harinya setelah acara pernikahan selesai, halaman rumah Adnan masih dipenuhi kursi-kursi yang belum dibereskan. Sania, ibu Nabila, duduk di beranda sambil menikmati teh hangat. Di sampingnya, duduk seorang perempuan paruh baya berwajah teduh, Lastri, ibu Adnan, yang kini resmi menjadi besannya.
“Saya sungguh senang melihat Adnan dan Nabila akhirnya bersatu. Hati saya jadi lega sebagai seorang ibu.” Sania membuka percakapan dengan senyum tulus.
Lastri tersenyum, wajahnya ikut berbinar. “Saya juga, Bu Sania. Adnan itu anaknya keras kepalaa, banyak sekali gadis desa yang melamarnya, tapi selalu ia tolak. Jujur saja, saya sempat khawatir, apakah dia akan menemukan pasangan yang benar-benar cocok. Ternyata Tuhan menuntunnya pada Nabila.”
Sania menunduk sebentar, matanya berkaca-kaca. “Seorang ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia. Kalau Adnan bisa menerima Nabila apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. Saya pun percaya, Nabila bisa jadi istri yang baik untuk Adnan.”
Lastri menggenggam tangan Sania penuh rasa hangat. Ia tidak menyangka akan mendapatkan besan sebaik ini. “Dan saya akan merestui sepenuh hati. Saya juga janji akan memperlakukan Nabila seperti anak saya sendiri. Tidak akan ada bedanya.”
Sania menatap besannya, hatinya diliputi rasa syukur. “Terima kasih, Bu. Itu membuat saya tenang. Kita ini sekarang sudah keluarga, semoga hubungan ini selalu diberkahi.” Keduanya saling tersenyum, lalu tertawa kecil.
Setelah beberapa hari tinggal di desa, akhirnya orang tua Nabila memutuskan untuk lebih dulu kembali ke kota, mereka merasa yakin bahwa putrinya kini sudah berada di tangan yang tepat. Bahkan Sania merasa cocok saat mengobrol dengan Lastri. Sementara itu, Nabila tetap tinggal bersama Adnan sembari menghabiskan masa cutinya, dan juga turut serta membantu suaminya mengurus surat pindah, berkas-berkas administrasi, serta hal-hal kecil termasuk warung ayam geprek milik Adnan yang harus diurus dan dipindahtangankan ke sang adik.
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela rumah Adnan, menyinari ruang tamu yang masih penuh dengan karangan bunga sisa pesta pernikahan. Nabila duduk bersama kedua orang tuanya yang bersiap kembali ke kota. Di sampingnya, ada koper dan tas yang sudah tertata rapi.
Sania menggenggam tangan Nabila erat. “Sayang, Mama senang sekali akhirnya bisa melihatmu menikah. Hati Mama tenang meninggalkanmu di sini, dan sepertinya suamimu baik.” Nabila tersenyum, meski matanya berkaca-kaca.
Harlan, ayah Nabila, yang sejak tadi lebih banyak diam, menatap Nabila dengan sorot tegas. “Nabila, sekarang kau sudah menjadi seorang istri. Ingat tanggung jawabmu. Jangan lupa siapa dirimu." Nabila mengangguk. “Iya, Pa.”
Sania tersenyum haru, lalu merapikan rambut Nabila dengan lembut. “Jaga Adnan baik-baik, ya. Dia suami pilihanmu. Ingat, rumah tangga itu nggak selalu mulus, ada suka dan dukanya. Hadapi dengan sabar.”
Nabila menghela napas panjang, lalu mendekap ibunya. “Aku akan selalu ingat pesan Mama. Doakan aku kuat, Ma, Pa." Mereka bertiga berpelukan lama, hingga akhirnya suara klakson mobil travel yang menunggu di depan rumah memaksa mereka berpisah.
Harlan menepuk pundak Adnan sebelum melangkah ke luar. “Kami pulang dulu. Jaga istrimu baik-baik. Beritahu kami jika kau akan kembali ke kota, biar papa sewakan travel untuk kalian.” Adnan mengangguk sembari tersenyum, "Baik, Pa. Saya juga akan menjaga Nabila dengan segenap hati saya"
Nabila berdiri di samping Adnan, wajahnya berat melepaskan. Di sebelah mereka, Lastri ikut mendampingi, senyumnya hangat meski matanya juga berkaca-kaca menyaksikan momen itu. Lastri kemudian merangkul Sania. “Tenanglah, Bu. Nabila di sini bukan hanya menantu, tapi sudah saya anggap anak sendiri. Tak akan saya biarkan ia merasa sendirian.”
Sania tersenyum lega, matanya berkilau. “Terima kasih, Bu. Saya percaya Nabila berada di tangan yang tepat.”
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara burung dari pepohonan. Hingga akhirnya, Harlan menghela napas panjang. “Baiklah, sudah saatnya kami berangkat.”
Nabila memeluk kedua orang tuanya erat sebelum mereka masuk ke dalam mobil. Saat mobil itu bergerak perlahan meninggalkan halaman, Nabila berdiri di samping Adnan dan ibu mertuanya melambaikan tangan. Meski berat berpisah ia tahu ini adalah awal dari lembaran baru dalam hidupnya. Dalam hatinya ia berjanji akan membuat mereka bangga, meski ia tahu jalan yang akan ia tempuh tak akan selalu mudah.
Keesokan paginya, Nabila yang dimintai tolong Adnan membawakan cabai yang tertinggal di rumah, melangkah pelan di jalan desa menuju warung tempat suaminya berjualan. Udara pagi di desa membuatnya terasa sejuk, segar, dan juga menenangkan. Tiba-tiba langkahnya terhenti, dari arah berlawanan ia melihat beberapa gadis desa menghadangnya. Wajah mereka dipenuhi amarah.
"Jadi ini gadis kota yang dipilih Adnan?" ucap salah satunya dengan nada sinis.
Nabila terdiam memperhatikan ketiga gadis dihadapannya. Ia mencoba tersenyum dan tidak berniat mencari masalah di desa tempat tinggal suaminya itu, namun seketika salah satu gadis itu mendorong bahunya dengan kasar.
“Kami yang sejak kecil hidup bersama Adnan, tapi kenapa dia malah memilihmu, gadis kota," teriak gadis lain, matanya penuh cemburu.
Dorongan itu disusul dengan cubitan kasar di lengan Nabila, bahkan salah satu gadis menarik rambut panjangnya. Nabila sempat terhuyung, tapi dengan cepat ia menguasai diri. Tangannya menepis kasar, lalu matanya berubah tajam terlihat sinar kemarahan yang membuat para gadis itu sedikit gentar.
“Kalau kalian berani menyentuhku lagi …." Suara Nabila rendah namun menyeramkan, penuh ancaman, "Kalian akan menyesal seumur hidup.” Nada bicaranya dingin dan menusuk, membuat suasana mendadak mencekam. Gadis-gadis itu saling pandang, antara gengsi dan rasa takut yang mulai merayap.
“Adnan itu milik desa ini! Sejak dulu banyak yang ingin menikah dengannya, tapi justru kau, orang asing, yang mendapatkannya!” teriak gadis lainnya sambil mendorong bahu Nabila hendak menantangnya.
Nabila berusaha menahan diri dan berniat meninggalkan ketiga gadis tidak penting dihadapannya saat ini. Namun ketika salah satu gadis lainnya mencoba menamparnya ia bergerak cepat. Tangannya menangkis dengan keras, membuat gadis itu terkejut.
“Aku sudah diam, tapi jangan kira aku tak bisa melawan,” ucap Nabila, suaranya dingin menusuk.
Dengan gerakan cepat Nabila mendorong gadis yang tadi menarik rambutnya dan hendak menamparnya hingga terjatuh ke tanah. Gadis kedua yang mencoba menarik tangannya malah berakhir ditampar keras hingga terhuyung. Sementara gadis ketiga yang sempat ingin memukulnya, berhasil ia tangkap pergelangannya lalu dipelintir hingga meringis kesakitan.
Nabila menatap mereka dengan tatapan mengerikan, matanya menyala penuh amarah. “Sekali lagi kalian menyentuhku … aku pastikan kalian tidak akan bisa berdiri lagi.”
Hening. Ketiga gadis itu terpaku, wajah mereka pucat. Rasa sakit bercampur takut membuat mereka akhirnya mundur teratur, meninggalkan Nabila yang masih berdiri dengan nafas memburu.
***
Nabila yang masih terkejut mendapatkan serangan yang sangat tiba-tiba hanya dapat terdiam, masih mencerna kejadian yang baru saja ia alami saat ini."Dia itu pelakor. Berani-beraninya merebut Adnan dariku. Memangnya dia siapa? Punya jabatan apa? Cuma perempuan kota saja sudah sombong," cibir Ita, gadis yang tadi menjambak rambut Nabila. Ita masih dipegangi oleh beberapa ibu-ibu agar tidak menyerang Nabila kembali."Siapa kamu berani-beraninya menyebutku dengan sebutan pelakor. Justru kamu yang pelakor mau merebut suamiku." Nabila membalas cibiran Ita. Ia tidak ingin diam saja, ingin rasanya membalas serangan Ita yang masih terasa menyakitkan ditubuhnya saat ini."Jelas-jelas kau yang sudah merebut Adnan dariku. Kami sudah pacaran sedari kecil dan itu berarti kau yang telah mengambil Adnan dariku. Kembalikan Adnan padaku." Ita berteriak histeris.Nabila tidak peduli dan hanya menampilkan senyuman mengejek, "Heh! Dengar ya! Kalau memang Adnan suka dan cinta sama kamu, pastilah kamu suda
Tiba di warung tempat suaminya berjualan, terlihat sudah ramai antrian para pembeli. Memang warung ayam geprek Adnan selalu ramai pembeli. Entah karena rasanya memang enak atau karena ketampanan Adnan yang berwajah bule. Nabila menghampiri Adnan yang sedang membuat sambal dan menyodorkan sekantung cabai kehadapannya.Adnan tersenyum, "Terima kasih, maaf merepotkanmu." Nabila memalingkan wajahnya dari sang suami, memperhatikan sekitar dan melirik Adnan sebentar. Berjalan membelakangi Adnan menuju kursi dekat kompor. Menarik napas sesaat dan berkata, "Lain kali aku tidak mau mengantarkannya untukmu,"Adnan terdiam dengan raut wajah penasaran, "Mungkin karena dia gadis kota yang sudah terbiasa dilayani," batin Adnan."Para penggemarmu itu yang membuatku kesal, mereka juga hampir memukulku." Nabila mengepalkan kedua tangannya dan melayangkannya keudara, terlihat sangat kesal. Adnan langsung mendekati sang istri, ada rasa kekhawatiran di dalam hatinya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Adnan
Keesokan harinya setelah acara pernikahan selesai, halaman rumah Adnan masih dipenuhi kursi-kursi yang belum dibereskan. Sania, ibu Nabila, duduk di beranda sambil menikmati teh hangat. Di sampingnya, duduk seorang perempuan paruh baya berwajah teduh, Lastri, ibu Adnan, yang kini resmi menjadi besannya.“Saya sungguh senang melihat Adnan dan Nabila akhirnya bersatu. Hati saya jadi lega sebagai seorang ibu.” Sania membuka percakapan dengan senyum tulus.Lastri tersenyum, wajahnya ikut berbinar. “Saya juga, Bu Sania. Adnan itu anaknya keras kepalaa, banyak sekali gadis desa yang melamarnya, tapi selalu ia tolak. Jujur saja, saya sempat khawatir, apakah dia akan menemukan pasangan yang benar-benar cocok. Ternyata Tuhan menuntunnya pada Nabila.”Sania menunduk sebentar, matanya berkaca-kaca. “Seorang ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia. Kalau Adnan bisa menerima Nabila apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. Saya pun percaya, Nabila bisa jadi istri yang baik untuk Adnan.”Lastri mengg
Malam harinya Adnan bersama Ningrum mengunjungi Nabila di Puskesmas. Ia mengamati wajah Nabila yang sudah tidak terlihat pucat. Namun,Nabila menampilkan wajah kesal dan tidak bersahabat saat melihat Adnan sembari melipat kedua tangannya di depan dada.Adnan menatap Nabila dengan ekspresi penyesalan. "Aku minta maaf untuk yang kedua kalinya. Aku tidak tahu jika ...."“Kamu pikir itu lelucon! Aku tahu kok, kamu hanya ingin balas dendam, ya kan ... bilang aja iya. Tapi cara Anda itu sangatlah tidak baik, Tuan Bule.” Matanya berkaca-kaca karena menahan marah.Adnan menghela napas berat. "Maaf Nona, aku benar-benar tidak tahu soal kecoak itu. Aku sedang berada di bagian kasir saat itu. Adikku yang mempersiapkan semuanya," jelas Adnan.“Seharusnya kebersihan dapur Anda lebih diperhatikan,” Nabila masih menatap tajam. “Ini bukan masalah kecil. Bagaimana kalau orang lain yang menemukannya?”"Jadi ... kalian sudah saling kenal?" tiba-tiba saja Ningrum bersuara setelah mendengar perdebatan ked
Nabila melangkahkan kakinya santai hendak keluar stasiun. Pikirannya melayang mengingat ucapan sang ibu."Kau sudah dua kali gagal dalam hal percintaan, sekarang saatnya Mama yang memilihkan pria untukmu.""Kau itu sudah 25 tahun Nabila, sampai kapan kau akan seperti ini terus?""Mama akan menjodohkanmu dengan anak teman Papa.""Jangan membantah Mama, Nabila. Mama yakin, pilihan Mama kali ini adalah yang terbaik."Nabila menghela napas berat ia tidak ingin ada campur tangan sang ibu dalam hal pernikahan. "Yang nikah kan aku, kok Mama yang repot sih," gerutunya kesal sembari mengepalkan kedua tangannya.Nabila terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari seseorang berlari dari arah berlawanan.Tiba-tiba ...BRUK!Tubuhnya terdorong keras. Nabila jatuh tersungkur ke lantai dingin hingga tubuhnya terbentur dinding lorong stasiun.“Aduh!” Nabila meringis, menahan sakit di punggung kanannya.Suara napas terengah terdengar di depannya. "Ma ... maaf ... saya tidak .... "Na







