"Nadin ... Tolong, Nadin! Aku sudah tidak tahan. Sayang, tolonglah ...." "Apa yang bisa kutolong, Mas? Mas Zaki kenapa? Kenapa bertingkah seperti itu? Jangan nakut-nakuti aku, Mas! Mas mabuk, ya?" Zaki menggeleng lemah, bibirnya tidak berhenti mendesis, bahkan celananya makin mengetat, memperlihatkan tonjolan yang siapapun bisa menerka isinya apa. Nadin mundur dengan pelan berusaha menjauhi Zaki, naluri gadis itu mengatakan tanda bahaya akan mendekat, melihat tatapan mata Zaki yang seperti itu membuat gadis itu sedikit ketakutan. "Ada yang memasukkan obat perangsang ke minumanku, sekarang aku sangat tersiksa, Sayang ... Arrrggg!" "Nadin, bisakah kau memajukan malam pertama kita hari ini? Sekarang aku sangat membutuhkannya, aku bisa mati kalau begini. Tolonglah, Sayang ...." Zaki kini telah menghiba di hadapan gadis itu, tubuhnya bergetar hebat menahan segala rasa hasrat di dalam sana. "Apa tidak ada cara lain, Mas? Bagaimana kalau kita ke dokter?" tanya Nadin dengan takut-takut.
Zaki memandikan Nadin dengan pelan-pelan. Setalah mandi lelaki itu menyiramkan air wudhu, mengeringkan tubuh dan rambut istrinya dengan handuk dan memakaikan piyama mandi ke tubuh wanita itu, dengan sayang dia kembali menggendong istrinya ke kamar. "Mas, aku sudah wudhu, kita jadi bersentuhan lagi." "Nggak apa-apa, Sayang. Ini darurat, Allah juga akan memakluminya." Ditaruh istrinya di atas kasur, dengan telaten l laki itu memakaikan mukena ke tubuh istrinya "Kamu salat dulu, ya. Tidak usah berdiri, sambil duduk saja. Mas mandi dulu." "Iya, Mas. Makasih, ya?" "Mulai sekarang tidak ada kata terima kasih diantara kita, aku melakukannya karena memang aku ingin, aku sayang sama kamu," ujar Zaki sambil mengusap kepala istrinya Nadin tersenyum melihat suaminya yang tengah pergi ke kamar mandi, rasa nyerinya sedikit berkurang setelah disiram air hangat, cuma tubuhnya masih terasa pegal dan sakit, ketika luka lecetnya tersentuh atau tergesek kulit paha masih terasa begitu nyeri. Sel
Dan di sinilah mereka sekarang, di klinik dokter yang berada di ruko dua lantai, ketika masuk klinik tersebut, dokter sudah menunggu di tempat prakteknya, hanya dia sendiri tanpa ada asisten maupun perawat."Ada apa, kenapa anda begitu memaksa saya untuk buka praktek? Jadwal praktek saya baru buka jam empat sore, untung saja sekarang hari Minggu, jadi saya bisa mengabulkan permintaan anda," ujar dokter wanita yang ditaksir berusia empat puluh tahun ke atas."Tolong periksa istri saya, Dok. Dia terlihat sangat menderita, saya sudah membuatnya seperti itu," ujar Zaki yang masih juga membopong istrinya ketika menemui dokter tersebut. "Apa yang terjadi?" Dokter itu tampak terkejut, karena Nadin yang terlihat menderita."Ayo, baringkan dia di situ," tunjuk dokter tersebut, wanita itu berjalan mengambil peralatan seperti senter dan alat medis lainnya."Mana yang sakit?" tanya dokter itu.Nadin hanya bergeming tidak tahu mau mengatakan apa, rasa malu sangat menguasainya hingga pipinya teras
Setelah sampai rumah, Zaki langsung membopong Nadin ke kamar, lelaki itu mengambil air minum dan menyodorkan obat antibiotik ke arah istrinya."Minum obat," perintahnya.Nadin mengambil obat dari tangan lelaki itu dan menelannya, tak lupa meminum air putih yang sudah diambilkan suaminya itu."Ayo, baring. Biar Mas oleskan salepnya," ujar Zaki."Apa? Tidak perlu! Biar aku saja, sini!"Nadin berusaha meraih salep dari tangan Zaki, tetapi lelaki itu mengelaknya. Gila, ya? Jadi dia mau buka-buka punya gue? Nadin menjadi frustasi ketika memikirkan yang iya iya."Ayo, berbaring!" Perintah Zaki dengan tegas."Mas, gak usah! Biar aku sendir saja!""Gak perlu malu, aku cuma mau ngolesin salep, gak mau macam-macam. Lagian kata dokter tadi aku harus puasa selama dua Minggu," ujar lelaki itu sambil membaringkan istrinya di kasur singel gadis itu.Nadin hanya memejamkan mata, ketika dia merasakan lelaki itu membuka celana dalamnya dengan paksa. Bulu kuduknya bergetar ketika sebuah tangan menyentuh
"Fahmi, aku memang harus pulang sekarang juga," ucapnya dengan wajah tegang. "Kenapa? Mama kamu Anfal?" "Bukan, Dewi hari ini pulang. Jadi aku harus menemuinya." "What? Dewi? Shit, Zaki! Kenapa elu masih mikirin dia, sih?" "Kamu lupa siapa Dewi? Dia sudah menyelamatkan nyawaku, aku sudah berjanji padanya akan selalu peduli padanya sampai kapanpun, kau lihat apa yang dia tulis di email itu?" "Dia sudah menikah, Zaki. Relakan dia bersama suaminya," ujar Fahmi tanpa mengambil ponsel yang Zaki sodorkan. "Dia menikah karena terpaksa, Mi. Kalau bukan ayahnya yang Dubes itu yang memaksanya menikah dengan pria asing itu, dia akan menikah denganku sekarang. Kau lihat apa yang dia tulis? Dia sedang proses bercerai dengan suaminya, karena lelaki itu melakukan KDRT. Dia menderita, Fahmi. Cepat kau Carikan aku tiket, untuk dua jam lagi. Aku akan pulang dulu pamitan sama Nadin." "Terus siapa yang akan mengurus Nadin?" "Dia sudah lebih baik sekarang, aku menitipkan Nadin padamu, ya?" Fahmi h
Di sinilah Zaki sekarang, di rumah besar yang cukup elit, rumah dengan pagar tinggi dengan halaman luas, ada taman dengan bunga-bunga bermekaran, taman yang selalu bersih dan rapi, bunga-bunga itu ditanam sendiri oleh tangan Nuraini ibunya Zaki, wanita yang masih terlihat cantik walaupun umurnya sudah lima puluh lima tahun. Di belakang rumah terdapat kolam renang dan bangku-bangku untuk berjemur dan bersantai. Mobil Mercedes Maybach menjemput Zaki di bandara yang dikendarai oleh supir pribadi."Assalamu'alaikum," sapa Zaki kepada beberapa ART yang menyambutnya."Walaikumsalam, Mas Zaki.""Mama di mana?""Ibu ada di kamarnya, Mas. Sudah tiga hari tidak mau keluar kamar, suster Ana ada di sana menemani ibu," jawab salah satu ART.Rumah ini memiliki tiga orang ART, dua satpam dan satu orang supir, ada juga suster Ana, perawat yang merawat Nuraini, sudah sepuluh tahun suster Ana bekerja pada keluarga Zaki, suster sebelumnya sudah pensiun.Zaki melangkahkan kaki menuju tangga ke lantai du
Zaki menatap sepasang liontin itu dengan tangan gemetar, dia sudah mengantarkan ibunya ke RSJ langganannya, di sinilah dia sekarang, di meja kerja ayahnya yang masih setia dibersihkan, tata letak semua perabotan juga masih seperti semula, seperti ketika ayahnya masih ada.Zaki memandangi dan mengelus inisial sebuah nama di sana, ND. Itu bukannya inisial untuk Nadin? Ya, semua gadis yang ditinggal di rumah itu hanya Nadin yang cocok dengan inisial ini, kan? Zaki meremas dengan kuat liontin berbentuk gembok tersebut. Mengingat bagaimana kejamnya lelaki keluarga Purnomo itu menghabisi ayahnya dan menyisakan trauma mendalam pada ibunya.Derrttt .... Derrttt ....Ponsel di atas meja tersebut bergetar, Zaki langsung mengangkat panggilan tersebut ketika suster Ana terpampang di layarnya."Iya, Sus?""Mas Zaki, ibu sudah sadar, dia menanyakan mas Zaki terus, dia memanggil-manggil nama mas Zaki terus ....""Iya, Sus. Aku akan segera ke sana!"Zaki menutup panggilan dari suster Ana, tanpa dia s
"Jadi apa rencana hidupmu selanjutnya?" tanya Zaki menatap wanita itu dengan intens."Aku tidak tahu, ikuti saja air mengalir, yang jelas aku akan menggugat cerai lelaki itu.""Baiklah, jika kau butuh bantuanku bilang saja. Aku akan menyediakan pengacara terbaik untukmu. Kebijakan baik kau lepas dari pada menjadi samsak hidup.""Yang kupikirkan anakku Kiara, aku tidak tahu apakah aku bisa menghidupinya setelah bercerai, aku tidak bekerja, Zaki. Mau dikasih makan apa anakku itu?"Dewi tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, dia menangis dengan pilu di hadapan mantan kekasihnya tersebut."Aku sangat menyesal meninggalkanmu demi baktiku pada ayahku, seharusnya aku nekat saja menentang apa yang dia inginkan. Sekarang aku tidak memiliki sandaran hidup, setelah membuat putrinya menuruti keinginannya, ayah dan ibuku malah tidak bertanggung jawab pada hidupku, dia malah menyalahkan aku penyebab perceraian ini."Zaki merasa kasihan dengan wanita yang tengah memaparkan kehidupannya, biar bagai