"Mami, boleh tambah?" tanya Axel seraya mengangsurkan piringnya yang sudah kosong ke depanku.
"Boleh dong Sayang," jawabku senang.
Aku mengambilkan Axel sesendok lagi nasi goreng kesukaannya. Si bungsu ini suka sekali dengan nasi goreng.
"Papi mana sih, ke toilet aja lama banget. Nanti aku telat lho!" keluh Alea. Aku pun melihat ke kamarku di mana Mas Fatan sudah masuk sejak tadi.
"Bentar, biar Mami lihat ke dalam!"
"Biar Mama aja Fa, kamu siapin anak-anak biar gak telat!" usul Mama mertuaku.
"Iya, Ma!" jawabku singkat.
Mama berlalu dan aku membereskan sisa makanannya di meja.
"Ayo anak-anak buruan, Papi bentar lagi datang!" buruku pada anak-anak.
Alea dan Axel bergegas menyelesaikan sarapannya, pakai sepatu dan menunggu Papinya datang.
"Anak-anak Papi sudah siap!" tanya suamiku dengan semangat.
"Siap Pi!" jawab anak-anak kompak.
"Oke, kita let's go!"
Anak-anak menyalamiku dan Mama bergantian.
"Hati-hati ya Pi!" pesanku setengah berteriak.
Mobil yang membawa keluarga kecilku sudah menjauh. Aku menutup pintu lalu menyusul Mama yang sudah masuk terlebih dahulu.
"Ma, Dhifa mau ke salon ntar lagi. Mama mau ikut gak?" tanyaku.
"Ikut dong Fa, kepala Mama sudah terasa gatal nih," jawab Mama.
"Kalau begitu Dhifa beresin dulu nih dapur."
Aku membersihkan bekas masakanku tadi dan mencuci semua peralatan yang kotor.
Dirumah ini bukan tak ada pembantu, hanya dia kerja pulang hari. Datang pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 sore. Sebelum dia datang akulah yang mengurus keperluan anak-anak dan suamiku.
***
Kami sudah berada di salonku. Aku sedang berada di dalam ruangan pribadiku saat mama mertua masuk.
"Fa, kalau rambut Mama dicat bagus gak ya?" tanya Mama padaku.
"Bagus aja sih Ma, tapi warnanya jangan yang terlalu terang Ma," jawabku.
"Bagusnya warna apa ya?"
"Mira kemari sebentar!" panggilku pada Mira asisten salon milikku yang sedang melintas di depan ruanganku.
"Ya Bu!" Mira mendekat padaku.
"Tolong kamu pilihkan warna yang terbaik buat Mama saya ya. Sekalian bilang sama Elis saya minta laporan minggu ini!"
"Iya Bu, mari Tante saya pilihkan warnanya diluar saja ya!" ucap Mira pada Mama Mertuaku.
"Oke, Fa Mama keluar dulu ya!" pamit Mama padaku.
"Iya Ma!" jawabku.
Mama keluar dari ruangan kantorku diikuti oleh Mira dibelakangnya.
Ya salon ini memang milikku, aku sudah memilikinya sejak aku masih gadis. Aku Nadhifa Soraya Pribumi, telah bersuami dan memiliki 2 orang anak.
Alea Zahra Nogroho berumur 10 tahun dan Axel Ahmad Nugroho berumur 7 tahun.
Suamiku Fatan Nugroho Direktur dari perusahaan yang bergerak dibidang properti dan investasi.
Tak ada yang kurang dari kehidupan rumah tanggaku, sempurna. Aku cantik dan pandai merawat diri. Perhatian pada suami dan anak-anak. Urusan ranjang dan perut suami aku tak pernah lalai.
Tapi ternyata suamiku berpendapat lain. Suamiku ternyata tak puas dengan pelayananku.
Malam hari saat kami akan beristirahat setelah capek beraktifitas seharian.
"Fa!" panggilnya.
"Ada apa Mas?" tanyaku tanpa menoleh padanya.
Aku masih asyik membersihkan wajahku dari sisa make up yang menempel.
"Mas mau minta ijin!" ucapnya ragu.
"Ijin? Mas mau pergi kemana?" tanyaku heran.
Aku telah selesai dengan wajahku, aku bangkit dan mendekati suamiku.
"Mas ingin, ehm menikah lagi!"
Bagai disambar petir aku tak percaya mendengar permintaan suamiku.
"Menikah lagi? Mas sedang bercanda kan?" tanyaku tak percaya.
Aku berharap dia hanya sedang mengerjaiku, tapi aku kecewa saat dia menggeleng dengan yakin.
"Mas serius, Mas ingin menikah lagi!"
"Tapi kenapa Mas, apa kesalahan aku sampai Mas tega meminta ijin untuk menikah lagi?" tanyaku dengan suara bergetar.
Aku berusaha menekan tangisku yang hendak keluar. Tak sudi aku menangis didepan lelaki yang telah menyakiti hatiku seperti ini.
"Kamu selalu mengurus Mas dan anak-anak dengan baik Fa. Tapi Mas butuh lebih dari itu. Mas butuh kekasih yang bisa menemani kapanpun Mas butuh! Tapi kamu selalu gak ada waktu buat Mas. Saat Mas ngajak kamu nonton, kamu gak jadi datang padahal kita sudah janjian dan Mas sudah menunggu kamu didepan bioskop sepulang kerja. Ah masih banyak lagi yang Mas rasakan perubahan kamu Fa. Beda saat sebelum kita menikah!"
Aku tak habis pikir dan tak mengerti dengan kalimat panjang yang Mas Fatan ucapkan tadi. Aku berubah, apa dia gak mikir kalau sekarang bukan cuma ada dia saja.
Sekarang sudah ada dua orang anak yang butuh perhatianku dan juga Mama mertuaku, Mama dia juga.
"Aku gak ngerti dengan kemauanmu Mas, aku gak mengijinkan kamu untuk menikah lagi!"
Mas Fatan terkejut dengan penolakanku. Dia tak menyangka kalau aku yang selama ini selalu menurut dan mengikuti kemauannya, kini berani menolak dan berkata tidak.
"Mas hanya minta ijin, jika kamu tak setuju tak apa. Mas akan tetap menikah dengannya!" teriak Mas Fatan padaku.
Mas Fatan meninggalkan aku yang masih kaget dengan teriakannya.
"Mas tunggu dulu, kita belum selesai bicara! Mas Fatan!" teriakku mengejarnya.
Aku mengejar keluar rumah tetapi terlambat, Mas Fatan telah pergi dengan mobilnya.
Kucoba menghubunginya tetapi tak diangkatnya, kucoba sekali lagi malah tidak aktif nomornya.
"Mas Fatan, kamu tega Mas!" desisku lirih.
Air mataku akhirnya jebol juga, aku menangis tergugu di teras rumah. Sampai akhirnya Mama mertuaku mengajak masuk.
"Yang sabar Fa, kamu harus sabar. Mungkin dia sedang khilaf," bujuk Mama.
"Tapi dia mau menikah Ma, aku gak rela. Aku gak ridho!" tangisku sambil memeluk Mama.
Mama mendesah pelan, lalu mengelus pundakku sambil meminta maaf.
***
See u next part
Bab 86POV DhifaSatu Minggu kemudian, setelah dirawat dengan intensif, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja dengan berbagai persyaratan dari Dokter Boy yang sangat memperhatikan kesehatan pasiennya. Aku hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hati aku masih bingung dengan perusahaan milikku. Siapa yang akan menggantikan diriku selama aku bed rest? Aku juga belum tahu sampai kapan bisa beraktivitas dengan normal kembali. Aku mendesah resah, kehamilan kali ini benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. Sangat berbeda dengan saat hamil Alea juga Axel dahulu. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena sekarang aku hamil di saat usai sudah lewat tiga kukuh tahu, jadi kondisi dan ketahanan tubuhku juga menurun. "Sayang, kita makan dahulu, ya!" ujar Mama Riko yang baru saja masuk ke kamar dengan membawa satu nampan berisi hidangan makan untukku."Aku belum lapar, Mas," jawabku malas. Memang perutku masih terasa kenyang, belum lapar s
Bab 85POV RikoTiiinnn!"Astaghfirullah, maaf-maaf," ucapku penuh penyesalan. "Hati-hati, Masih untung saya bisa ngerem tadi!" balas pengemudi motor yang hampir saja aku tabrak. Pengemudi itu pun meninggalkan diriku yang masih termangu di balik kemudi. Mungkin sekarang wajahku sudah seputih mayat saking kagetnya. Aku sedang tidak fokus karena ingin cepat sampai ke rumah sakit. Begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Alea tadi membuat aku terburu-buru mengemudikan mobil hingga hampir saja mencelakai orang lain. Sungguh aku sangat khawatir dengan keadaan Dhifa. Entah apa penyebabnya sehingga dia bisa pingsan. Mana sedang sendirian di rumah, Bik Ijah, sang pembantu sedang pulang ke kampung. Jadi semua urusan rumah tangga dipegang oleh Dhifa. Hanya untuk mencuci dan membersihkan rumah, dia memakai jasa pembantu pengganti yang hanya bekerja dari pagi sampai pukul 4 sore saja. "Ya ampun, kok, malah ngelamun begini, sih. Aku harus secepatnya sampai ke rumah sakit." Begitu tersadar
Bab 84 "Apa? Mbak Dhifa hamil, Mas. Alhamdulillah," ucap Rini, adiknya Riko bahagia. "Iya, Rin. Ini baru pulang dari dokter kandungan. Alhamdulillah, Mbak kamu tengah hamil sekitar empat minggu," jawab Riko di ujung telepon. Dia melirik Dhifa yang tengah tertidur setelah muntah-muntah saat habis salat Subuh tadi. "Aku senang mendengarnya, Mas. Mama nanti siang kami ke sana, ya," ujar Rini. Mamanya Riko yang tengah menonton televisi pun ikut bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Riko. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, anak sulung kita akhirnya akan punya keturunan. Semoga kamu bahagia di sana, ya," bisik ya lirih. Dia jadi teringat akan almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia saat kedua anaknya masih kecil-kecil. Mamanya Riko mengusap air mata yang keluar begitu saja saking bahagianya dia. Selesai berbincang dengan Riko, Rini pun duduk di samping mamanya. "Nanti kita ke rumah Mbak Dhifa, Ma. Katanya hari ini Mbak Dhifa libur," ucap Rini. "Iya, Rin. Aduh, Mama
Bab 83Riko berlari kencang ke dalam rumah sakit, dia baru saja tiba setelah mendapat telepon dari Wita. Sekretaris istrinya mengatakan kalau Dhifa pingsan dan sekarang sudah berada di ruang IGD rumah sakit. Riko mengatur napasnya setelah sampai di depan ruang IGD. Wita yang melihat kehadirannya Oun bergegas menemui suami bosnya itu. "Pak Riko, Ibu masih ada di dalam. Sedang diperiksa sama dokter," beritahunya sebelum Riko bertanya. "Kenapa dengan istri saya, Wit. Kenapa dia bisa pingsan?" tanya Riko. "Saya juga gak tahu, Pak. Tadi kami habis rapat, Bu Dhifa mengeluh kalau kepalanya pusing. Tiba-tiba pingsan begitu saja."Riko masih belum puas dan ingin bertanya lagi pada Wita. Namun, pintu ruangan IGD terbuka lalu keluarlah seorang suster. "Keluarganya Ibu Nadhifa!" serunya dengan lantang. "Saya Suster. Saya suaminya," jawab Riko kemudian mendekati suster tersebut. "Bapak suaminya Bu Nadhifa? Mari ikut saya menemui dokter di dalam!" Riko pun mengangguk lalu mengikuti suster t
Bab 82Riko dan Dhifa baru saja kembali dari makan malam di luar. Saat itu sudah hampir larut malam. Setelah makan malam, sebelum kembali, Riko mengajak Dhifa untuk bersantai di taman yang masih ramai meskipun hari telah malam. Mereka berkeliling area taman sambil sesekali mampir di lapak pedagang kaki lima yang menjajakan aneka jenis makanan dan camilan yang enak. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana. "Enak juga bisa bersantai di tempat seperti ini, ya, Mas?" Dhifa melirik suaminya yang tengah duduk bersandar sambil menatap hamparan bintang di langit malam."Iya, Fa. Rasanya, Mas gak ingin malam ini cepat berlalu."Dhifa tersenyum mendengar jawaban Riko, dia melihat waktu di ponsel pintarnya. Dhifa pun berdiri lalu mengajak Riko untuk pulang. "Sayangnya, kita harus pulang sekarang, Mas. Sudah hampir tengah malam, taman juga sudah sepi."Riko menoleh ke sekitarnya, benar saja. Taman yang tadinya ramai dengan pengunjung, kini sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa
Bab 81"Jadi dia nekat datang ke sini tadi?" Riko bertanya dengan heran. Heran dengan keberanian Vanessa mendatangi kediamannya. Riko baru saja pulang dari kantor, Dhifa pun langsung menceritakan tentang kedatangan Vanessa siang tadi. "Iya, Mas. Dan kamu tahu gak, dia sekarang sudah merubah penampilannya. Vanessa sekarang memakai hijab dan tampak anggun sekali, meskipun kelihatannya dia tidak nyaman dengan pakaiannya itu," beritahu Dhifa. "Memakai hijab? Tapi waktu malam itu pakaiannya sangat seksi dan terbuka. Aneh," ujar Riko makin heran. "Entahlah, Mas. Biarkan saja dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan Vanessa Selan itu tanya. Lebih baik kamu sekarang mandi, terus kita makan malam di luar. Soalnya, Bik Ijah belum gak ada. Aku juga lagi malas masak.""Malas masak? Tumben?" Riko menggoda istrinya. Biasanya Dhifa akan memasak walaupun baru pulang dari kantor. "Tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga, Mas. Sangat lelah," jawab Dhifa. "Hm, wajah kamu juga sedikit pucat. Apa k