10 bulan kemudian...Hari itu langit Berlin tampak sendu, seolah ikut merasakan suasana hati banyak orang di Rumah Sakit Jerman tempat Jennie bekerja selama satu tahun setengah. Di depan gedung utama rumah sakit, puluhan rekan kerja, staf medis, perawat, bahkan beberapa pasien dan keluarga pasien yang mengenalnya berkumpul mengantar kepergian Jennie ke Korea Selatan.Jennie berdiri dengan koper kecil di sisinya, mengenakan trench coat krem panjang, syal rajut abu-abu yang dililitkan oleh salah satu perawat, dan mata berkaca-kaca yang sulit menyembunyikan haru di balik senyumnya.“Aku… nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Jennie pelan, suaranya sedikit bergetar saat ia berdiri di tengah-tengah semua rekan kerjanya. “Tapi, terima kasih. Terima kasih karena sudah menerima aku, membimbing aku, mengizinkan aku belajar dan bekerja di tempat ini dengan semua cinta dan kepercayaan.”Suara isakan pelan terdengar dari beberapa perawat wanita yang berdiri di barisan belakang.“Selama di sini,
Langit Berlin pagi itu berwarna kelabu, mendung seperti menyatu dengan suasana hati Jennie yang berdiri dalam pelukan terakhir suaminya di terminal keberangkatan Bandara Tegel.Pelukan mereka erat dan penuh bisu, seolah mencoba mengunci waktu, menolak kenyataan bahwa mereka akan kembali terpisah jarak dan waktu untuk sepuluh bulan ke depan.“Aku akan kembali, Sayang...” bisik Jennie pelan di dada Liam, suaranya terdengar serak menahan tangis. “Sepuluh bulan lagi. Setelah masa praktik ini selesai, aku akan kembali ke Seoul. Lalu kita akan menikah lagi. Aku janji.”Liam mengeratkan pelukannya sesaat, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka, menatap wajah Jennie yang mulai memerah karena air mata yang tertahan.Tangannya terulur, membelai anak rambut Jennie yang keluar dari balik telinga. Lembut dan penuh kasih.“Aku akan menunggu, J.” suara Liam terdengar tenang namun penuh makna. “Tak peduli berapa lama... Aku siap menikahimu kembali. Kali ini, tanpa jeda. Tanpa luka.”Jennie menggigit
Apartemen Jennie – Berlin, Jerman. Malam Tahun Baru. Pintu apartemen mewah itu terbuka, menyambut dua insan yang baru saja melewati malam penuh makna. Jennie dan Liam memasuki ruangan yang hangat dengan pencahayaan lembut keemasan. Interior apartemen itu bergaya modern-klasik, dinding marmer putih bersih, jendela besar menghadap kota Berlin, dan lantai kayu mengilap memberikan kesan elegan namun nyaman. "Wow…" gumam Liam pelan, matanya menyapu ruangan luas itu. Jennie tersenyum sambil melepas jaket dan syalnya. "Kau bilang apa?" "Katamu apartemenmu kecil," Liam menoleh padanya dengan alis terangkat. Jennie terkekeh kecil, "Kalau dibandingkan mansion Kim, ini masih kecil." Mereka meletakkan jaket dan syal mereka di gantungan pintu masuk. Jennie melepas sepatunya dan menoleh ke arah Liam, "Kau ingin minum sesuatu? Teh? Susu hangat?" Liam menggeleng pelan, "Air putih hangat saja sudah cukup, aku sedikit menggigil." "Oke, tunggu di ruang TV, ya? Duduk-duduk dulu. Aku baw
Restoran Italia Kecil – Berlin, Jerman Lampu gantung temaram dengan nuansa vintage menggantung rendah, memberikan kehangatan pada ruangan kecil yang penuh aroma keju parmesan, basil, dan roti panggang. Di sudut dekat jendela, duduklah Jennie dan Liam. Meja mereka hanya dihiasi satu lilin kecil, dua piring pasta carbonara yang masih mengepul, serta segelas air mineral dan jus anggur. Jennie menatap ke arah Liam yang tengah memutar garpu di atas piringnya, lalu menghela napas pendek. “Maaf ya, Liam…” ujarnya pelan. Liam mendongak, menatap Jennie dengan mata beningnya. “Maaf untuk?” “Karena malam tahun baru seharusnya spesial, dan aku malah membawamu makan di tempat sekecil ini. Semua restoran besar sudah penuh reservasi... Aku benar-benar nggak sempat pesan tempat.” Nada suara Jennie dipenuhi rasa bersalah. Liam tersenyum, menaruh garpu dan mengisyaratkan dengan tangan sambil menatap Jennie dalam, “Kau tahu? Aku justru lebih suka begini.” Jennie mengernyit heran. “Maksudmu?” Lia
8 Bulan Berlalu… Langit Berlin siang itu mendung. Di lantai tujuh salah satu rumah sakit bergengsi di Jerman, Jennie Kim baru saja menyelesaikan operasi jantung berdurasi empat jam. Tubuhnya terasa sangat letih, tangan masih gemetar, dan keringat belum sepenuhnya mengering di pelipisnya. Ia membuka pintu ruang istirahat khusus dokter, melepas masker, dan menyandarkan tubuhnya di kursi putar dekat jendela besar yang menghadap ke kota. Dengan tangan gemetar, ia membuka ponselnya. Sudah delapan bulan sejak terakhir kali ia dan Liam berbicara. Tidak ada satu pesan pun, tidak ada panggilan. Tapi hari ini… rindunya terlalu berat untuk ditahan. Klik… Panggilan video tersambung. "Sedang memanggil…" Detik berlalu. Tak ada jawaban. Jennie menghela napas, menunduk sambil menatap pantulan dirinya di layar. "Mungkin dia sibuk… atau tidak ingin bicara lagi." Namun rasa itu tetap membuncah. Klik. Jennie menekan tombol panggil ulang. Beberapa detik berlalu… lalu akhirnya, wajah Liam muncul
RUANG SIDANG UTAMA – PENGADILAN SEOUL, KOREA SELATANRuangan itu penuh sesak. Kamera media bergantian menyorot ke arah kursi terdakwa, tempat seorang pria dengan wajah pucat dan mata kosong tengah duduk. Tangannya diborgol, tubuhnya gemetar, dan kepala tertunduk dalam-dalam.Raka.Pria yang dulunya hidup penuh percaya diri sebagai kekasih cinta pertama Jennie Kim, kini tidak lebih dari terdakwa kasus tabrak lari yang merenggut nyawa seseorang yang tak pernah bisa membalas perlakuannya—ayah dari Liam.Di sisi penggugat, duduk tim kuasa hukum yang disewa langsung oleh Jennie Kim. Kursi kosong di sebelah mereka menunjukkan satu hal: Jennie tidak datang secara langsung, tapi seluruh dokumen dan pernyataan resmi telah ditandatangani dan disahkan sebagai alat bukti kuat di pengadilan.Ketukan palu tiga kali menggelegar.“Sidang dimulai.”Suara hakim utama, Yang Mulia Hakim Seo Jinyoung, menggema di seluruh ruang sidang. Pria paruh baya dengan wajah tegas dan mata tajam itu menatap langsung