Grace dibopong masuk ke dalam mobil dan didudukkan di kursi penumpang. William lalu mengambil tempat di kursi pengemudi.Tangan beruratnya mencengkeram kemudi, dan ia menekan pedal gas, membuat mobil mewah itu melaju stabil di jalan.Tubuh mungil Grace terbungkus mantel, diliputi kehangatan tubuh dan aroma lembutnya. Ujung hidungnya yang memerah menandakan dingin yang menggigit, namun di balik itu, ada perasaan asing yang menyusup ke dadanya. Ia benar-benar tak pernah menyangka William akan datang.Dulu, dia tidak datang.Tapi sekarang, dia ada di sini.Grace menoleh, menatap wajah William yang tegas dan rupawan. “Makasih udah nolong aku.”William cepat-cepat mengatur kemudi. Bibirnya terkatup rapat saat bertanya, “Kenapa kamu nggak bilang sama aku?”“Aku…”“Aku udah nanya berkali-kali. Kenapa kamu nggak ngomong? Kalau aku telat sedikit aja, kamu tahu apa yang bisa terjadi?” Nada suaranya terdengar keras.Grace bisa merasakan amarahnya. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kamu malah m
Frank melaju kencang di jalan bebas hambatan dengan van putihnya. Sesekali ia melirik kaca spion, menatap Grace yang terbaring tak sadarkan diri di bangku belakang. Keinginan gelap mulai menguasainya, tapi ia menahan diri. Ada rencana yang harus ia jalankan: membawa Grace ke tempat yang sepi dan tersembunyi, di mana dia tak akan bisa melarikan diri. Di sanalah Frank merasa bisa berkuasa penuh atasnya. Pikiran itu membuat nadinya berdegup kencang.Tiba-tiba, mobil di depannya mengerem mendadak, dan Frank sontak menginjak rem sekuat tenaga. Ban berdecit, dan van oleng sedikit. Lalu ia melihatnya—kemacetan.Pengemudi di sekitar mulai keluar dari mobil, saling bertanya.“Ada apa, sih? Kecelakaan ya di depan?”“Bukan. Persimpangan depan ditutup total, katanya semua mobil lagi diperiksa,” jawab seorang pria.Kata “ditutup” langsung menusuk pikiran Frank. Wajahnya menegang. “Siapa yang berani nutup semua jalan di San Francisco?” gumamnya lirih."Diperiksa untuk apa?" tanya pengendara lain.
"Theo ngasih kamu tas?" William bertanya dari pintu balkon, lalu berjalan masuk ke kamar.Grace menatap pria itu dan bertanya, "Kamu yang bilang ke Theo kalau aku suka tas, ya?"William mengangkat alis. "Memang kamu suka, kan?"Grace tersenyum tipis. "Kamu tuh gak tau apa-apa tentang aku, ya?" katanya, penuh ironi. "Aku nggak suka tas. Aku suka barang yang lebih mahal, kayak kalung berlian. Lain kali, suruh Theo kasih aku itu."Wajah William menegang, membuat suasana mendadak dingin. Tapi dia mengalihkan pembicaraan."Ayah angkatmu ngirimin apa hari ini?" tanyanya kemudian.Sebenarnya Grace sempat ingin cerita soal foto dan Frank, tapi dia berubah pikiran. Dengan nada datar, dia menjawab, "Foto aku waktu kecil, yang dia ambil dulu."William berniat bertanya lagi. "Dia ..."Grace memotong cepat. "Pak Donovan, kamu nggak ada kerjaan lain, ya? Kalau punya waktu luang, mending kamu kumpulin berkas buat kita ajukan ke pengadilan biar cepet cerai. Habis itu, langsung aja nikah sama Camila b
Grace buru-buru memasukkan kembali foto itu ke dalam kotak. "Nenek, ini foto masa kecilku. Jelek banget, nggak usah dilihat," ucapnya sambil tersenyum tipis, tapi di matanya tersimpan sedikit kecemasan.Barbara menarik tangannya, lalu tersenyum lembut. "Memangnya kamu pernah jelek?"Henry, sang pelayan, yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan, langsung menimpali, "Itu nggak mungkin, Nyonya."Grace hanya menunduk, menyembunyikan senyumnya di balik cangkir cokelat hangat. Ia menyeruput pelan, berharap bisa mengalihkan perhatian semua orang dari dirinya.Tak lama kemudian, suara salah satu pembantu terdengar dari arah pintu. "Tuan muda."Seketika, Grace mengangkat kepala dan melihat William baru saja masuk.Barbara yang duduk di sofa menoleh, matanya langsung berbinar. "William, kamu sudah pulang?"William melepas jas dan menyerahkannya pada pembantu, lalu berjalan mantap ke ruang tamu.Saat itu juga, Grace menyadari ada sesuatu yang berbeda pada rasa cokelat hangatnya. Ada aroma dan r
Ketika Grace sedang sarapan, William keluar dari kamar dan langsung pergi tanpa banyak bicara. Sebuah senyum kecut tersungging di bibirnya. Ia yakin pria itu terburu-buru karena dipanggil Camila. Tak lama kemudian, deru mesin mobilnya terdengar meninggalkan halaman Silvergate Estate. * * * Di Donovan's group, suasana di lantai atas terasa tenang. William pergi pagi-pagi karena Theo menelepon bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Dan sekarang, di ruang kerja CEO, William duduk santai di kursi kulit hitamnya. Theo menyeruput kopinya lalu bersandar santai di tepi meja kerja. "Aku ke sini mau minta saran sama kamu." William, dengan pena di tangan, memberi catatan cepat di beberapa dokumen. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya. "Jarang-jarang kamu datang karena butuh bantuan. Ada apa?" Theo mengangkat alis. "Kasih tahu aku... gimana caranya aku bisa deketin Grace?" Tangan William yang memegang pena tiba-tiba terhenti sesaat. "Hubunganku sama Grace sebenarnya udah banya
"Ya udah jangan nangis, Ibu di sini."Kata "Ibu" yang keluar dari mulut William membuatnya langsung terdiam sendiri. Ia benar-benar bersyukur tak ada orang lain yang mendengar kejadian konyol itu.Apa dia sebegitu pedulinya sama Grace sampai tak peduli pada citra diri?Seumur hidupnya, William belum pernah melakukan hal seperti itu.Untungnya, Grace tampak tenang setelah mendengar kalimat yang dia ucapkan. Wanita itu menyusup ke dalam pelukannya, kedua tangan mungilnya menggenggam erat tubuh William yang berotot, dan tak lama, ia pun tertidur pulas.William sempat menunduk menatap wajahnya. Gadis itu benar-benar nempel seperti permen karet. Tapi tangisnya sudah reda. Bulu matanya masih basah oleh sisa air mata, berkilau dalam cahaya lampu. Ada sisi polos dan rapuh dalam wajah itu yang entah kenapa... sangat memikat.Senyum geli terbit di bibir William.“Aku bukan mamamu, tahu. Aku ini Daddy-mu. Ayo, Grace... bilang ‘Daddy’.”"Daddy..." Grace bergumam hampir tidak jelas dalam tidurnya