"Aku selalu takut dibonceng pakai motor ini," keluhku seraya duduk dengan waspada di atas sepeda motor butut milik Abra.
"Aku tahu. Besok aku akan beli motor yang baru," ujar Abra sembari mengenakan helmnya."Alasan apa yang akan kamu gunakan kalau bapakku bertanya?" tanyaku lagi."Hutang!" jawab Abra dengan santai."Ah~" Aku pun tanpa sadar mengangguk sebagai tanda mengerti."Udah siap belum?" tanya Abra yang hendak memulai ancang-ancang untuk menarik gas."Udah," jawabku setelah menelan ludah dengan tidak nyaman.Tidak lama kemudian, sepeda motor butut milik Abra sudah meluncur di atas jalanan. Dan butuh waktu sekitar 30 menit berkendara dari rumah hingga kami tiba di kos-kosan itu."Alhamdulillah. Fiuh~" gumamku seraya mengusap peluh tak kasat mata dari dahiku. Jantung yang sempat menegang pun kini mulai rileks ketika kami selamat sampai tujuan."Itu Pak Rahmat yang sebelumnya aku mintai tolong untu"Kamu terlihat sangat bersemangat hari ini. Ada hal membahagiakan apa?" tanya Abra. Dia pasti penasaran karena aku terus berdendang dengan ceria sembari membersihkan setiap sudut kamar."Semalam aku bermimpi indah," jawabku. Ada senyum cemerlang yang terus menghiasi wajahku.Abra pun mendengus geli. "Ternyata gara-gara mimpi. Aku pikir uang 300 juta sudah membuatmu gila," celetuknya asal-asalan."Tidak gila, tapi hampir," balasku dengan bercanda. Kami lalu terkekeh pelan.Berbeda dengan harmoni yang terjadi di dalam kamar kami, suara misuh-misuh ibu tiriku terdengar sampai ke dalam kamar. Wanita paruh baya yang sebelumnya selalu berada di pihak putrinya itu mulai merasakan ketidakpuasan."Nak, ayolah bantuin ibu nyapu sekali-sekali. Terakhir kali lantai di rumah ini disapu dua hari yang lalu," pinta ibu tiriku dengan suara memohon pada putrinya.Aku yang masih terkikik bersama Abra spontan terdiam. Jari telunjuk pun aku dekatkan
"AARGGGGHH!""Lepaskan! Sakit!"Jemima terus menjerit karena genggaman tanganku pada rambutnya semakin menguat. Segala emosi yang beberapa hari ini telah aku pendam jauh di lubuk hati pun berusaha untuk aku salurkan pada rambut halus saudara tiriku ini."Dasar anak nakal. Lepaskan, nggak?!" seru ibu tiriku seraya berusaha melepaskan tanganku dari rambut putrinya.Namun, bukannya menurut dengan patuh, aku justru semakin mengencangkan genggaman tanganku."Aw! Dasar wanita gila! Lepaskan!" maki Jemima dengan galak. Kedua tangannya berusaha untuk balas meraih rambutku. Akan tetapi, aku dengan cepat memundurkan kepala untuk menggagalkan usahanya. Untungnya, kondisi badanku yang lebih tinggi darinya memberikan keuntungan dalam perkelahian ini."Pak, kenapa Bapak cuma bengong aja. Pisahin mereka dong!" seru ibu tiriku semakin gencar berusaha melepaskan tanganku dari rambut putrinya."Mil, lepaskan. Kasihan, Jemima!" t
"Sudahlah. Daripada terus memikirkan pria itu, kenapa kamu tidak memberitahuku mengenai usaha baru apa yang kamu rencanakan untuk di ruko itu? Dan kapan akan mulai dibuka?" tanya Abra menyela lamunanku." ... "Sebelum menjawab, aku menepuk kedua pipiku dengan keras hingga memerah agar tidak terus meratapi kemalanganku sendiri. Toh, di balik kemalangan ini, ada juga hikmah yang aku dapatkan."Kamu tahu Wak Saroh yang jualan lauk di perempatan jalan sana 'kan?""Yah, apa hubungannya dengan ini?" tanya Abra."Aku juga ingin mencoba menjual lauk seperti itu. Aku sering melihat kalau sedang beli lauk di sana, banyak ibu-ibu berseragam pegawai yang berbelanja di sana. Mumpung di sampingnya ada sekolahan, aku mau mencoba peruntungan," ungkapku mengutarakan rencana yang ada di dalam kepala.Abra menganggukkan kepala mengerti. "Boleh juga. Lauk yang kamu buat lumayan enak kok," puji Abra. "Lalu, kapan rencananya kamu akan mulai?" tanyany
"Mau sampai kapan kalian akan memperlakukan orang tua kalian seperti ini? Apa kalian tidak kasihan pada orang tua kalian? Terutama pada ibu yang sudah lelah mengurus kalian dari kecil?" tukas bapak dengan marah.Sebagai tanggapan, aku hanya mendengus sinis. "Siapa itu kalian yang dimaksud? Sejauh yang bisa aku ingat, aku selalu dengan suka rela membantu mengurus pekerjaan rumah ini. Baru-baru ini aja sih aku memberontak. Itu pun karena taulah ya alasannya," tuturku panjang lebar. Tentu saja aku tidak melupakan sindiran dalam kalimatku."Kamu!""Apa?""Huh! Terserah kamu. Bapak capek ngomong sama kamu!" tukas Bapak seraya melenggang ke dalam rumah dengan langkah menghentak kesal.Aku tidak peduli. Setelah sosok bapak menghilang di balik pintu ruang tamu, aku segera mengalihkan perhatian pada Abra."Kamu beli apa?" tanyaku dengan antusias sembari menatap kantong plastik hitam yang tergantung di motor. "Coba tebak,"
Keesokan harinya masih berlalu seperti biasa. Perdebatan antara Jemima dan ibunya pun kembali terdengar, tapi kali ini aku tidak mau tahu. Pagi-pagi sekali, aku dan Abra sudah mandi dan bersiap. Pagi ini kami memiliki rencana untuk membersihkan ruko yang telah kami sewa agar bisa segera ditempati."Kamu yakin mau bantuin aku beres-beres?" tanyaku sanksi pada Abra."Iya, memangnya kenapa? Apa kamu pikir aku tidak bisa diandalkan?" pungkas Abra dengan nada ketidakpuasan atas pertanyaanku."Bukan begitu, kamu 'kan pernah bilang kalau keluargamu adalah keluarga nomor lima terkaya di Negara ini. Jadi, aku pikir kamu tidak terbiasa melakukan pekerjaan kuli," ujarku."Kalau dulu awal-awal sih memang tidak terbiasa, tapi sekarang sudah biasa aja," timpal Abra dengan santai.Aku menganggukkan kepala mengerti. "Kalau begitu, ayo berangkat. Nanti kita cari sarapan di pinggir jalan," ucapku seraya menyelempangkan tas kecilku."Yuk!"
Begitu malam menjelang, aku berjalan mondar-mandir dengan senewen di dalam kamar. Sampai-sampai Abra yang melihat gelagatku ini menjadi risih."Kamu kenapa? Apa lagi yang mengganggu pikiranmu?" tanya Abra."Seperti yang pernah aku bilang, kalau aku berencana untuk mengajak satu teman dekatku. Tapi aku belum menghubunginya," ucapku menjelaskan."Lalu masalahnya dimana? 'Kan tinggal ditelepon aja?" tanya Abra heran. Keningnya sampai berkerut dalam." ... "Aku tidak menjawab pertanyaan Abra karena tidak tahu bagaimana menjelaskan padanya, bahwa pernikahan kami inilah yang menjadi masalahnya. Rentetan pesan dari sang teman karib yang menanyakan kondisiku beserta kebenaran berita tentang pernikahan ini telah membuatku mengabaikannya hingga hari ini. Bukan maksudku untuk menjauhinya, hanya saja pernikahanku dan Abra telah membuat emosi beberapa waktu lalu itu amat berantakan."Jangan terlalu banyak berpikir. Ajak tinggal ajak. Kalau
Keesokan harinya aku masih menjalani hari seperti biasa. Aku dan Abra bangun pagi-pagi dengan niat untuk melanjutkan pekerjaan yang tersisa kemarin. Agenda hari ini adalah memindahkan isi kios kecilku itu ke ruko yang "Apa yang kamu lakukan? Kamu mau bawa kemana semua barang-barang dagangan ini?" tanya ibu tiriku dengan intonasi suara yang hampir terdengar menjerit."Mau dibawa kemanapun, terserah aku dong," timpalku dengan nada masa bodoh."Nggak bisa gitulah!" tukas ibu tiriku tidak terima.Alisku lantas terangkat tinggi. "Loh, kenapa tidak bisa? Semua barang-barang ini aku beli dengan uangku sendiri. Otomatis barang-barang ini adalah milikku," ujarku dengan santai."Pokoknya kamu tidak boleh membawa barang-barang ini keluar dari kios walaupun hanya satu langkah!" seru ibu tiriku bersikukuh.Aku spontan menggulung mata ke atas. "Bodo amat!" seruku tidak peduli.Karena tidak ingin terus meladeni ibu tiriku ini, aku ter
Hari demi hari berlalu dengan kesibukan yang tiada habisnya. Begitu meja dan sekat ruangan yang telah kami pesan pada tukang kayu telah selesai dikerjakan, kami pun segera menempatkannya di posisi yang telah kami rencanakan sebelumnya.Segala kulkas dan berbagai macam keperluan dapur juga telah tersedia. Sisa barang-barang yang aku bawa dari kios juga telah terjual setengahnya.Sambil berdiri tepat di tengah-tengah ruangan, aku memandang dengan puas pada segala macam pengaturan yang telah kami buat. Sebuah harapan baru akan tempat ini pun menelusup di dalam hati."Alhamdulillah. Akhirnya siap juga!" seruku dari balik nafas yang membuncah naik turun tak karuan setelah lelah bekerja. "Gimana? Kamu sudah puas dengan pengaturan ini?" tanya Abra yang berdiri di sampingku. Nafasnya tidak kalah memburu."Sangat puas!" jawabku dengan mantap. Ada senyum sumringah yang tidak kunjung pupus dari wajahku."Lalu kapan rencananya mau dibuka?"