"Abra!"
"Kamilia!""Keluar kalian!"Suara gedoran pintu disertai dengan teriakan orang-orang terdengar semakin riuh. Aku yang ada di dalam kamar bersama Abra pun hanya bisa berjalan mondar-mandir dengan gundah. Jika orang-orang itu memergoki aku dan Abra ada di dalam kamar yang sama, entah gosip apa yang akan tersebar di desa."Di sini ada pintu belakang, nggak?" tanyaku pada Abra."Nggak ada!" jawabnya."Terus kita harus gimana?" tanyaku.Abra mengangkat bahu tampak tak berdaya. Aku lantas diam-diam mendesahkan nafas kecewa sembari mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar berukuran 3 x 3 meter itu.Di dalam kamar tempat kami berada ini, aku hanya melihat ada satu tempat tidur, dan satu lemari susun plastik tergeletak di pojok kamar. Sama sekali tidak ada ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian."Bapak kamu cukup kejam juga ya. Dia memimpin warga untuk datang menggerebek kita di sini," gumam Abra.Aku yang mendengar nada satir dalam suara pria ini pun mengepalkan jemariku dengan erat. Aku juga tidak pernah menyangka bahwa bapak kandungku sendiri akan merencanakan kehancuran untukku."Pintunya ternyata tidak terkunci. Ayo masuk!"Jantungku menghentak kian keras tatkala mendengar suara teriakan itu. Apalagi ketika ramai suara langkah kaki berjalan semakin mendekat ke arah kamar dimana aku dan Abra berada."Sudahlah santai saja. Paling-paling kita akan langsung dinikahkan," tukas Abra asal-asalan.Bukannya menghiburku, kata-kata ini justru membuatku semakin senewen. Semua wanita pasti memiliki pernikahan impiannya, dan aku juga demikian. Model pernikahan terpaksa karena keadaan seperti ini tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakku. Amit-amit!"Abra!""Kamilia!"Suara teriakan itu diiringi oleh suara pintu kamar yang kemudian didobrak hingga terbuka. Aku dan Abra pun dengan serentak menoleh ke arah sumber suara."Kamilia!""Abra!""Apa yang sudah kalian lakukan!"Pekikan munafik itu terdengar meluncur dari bibir wanita bernama Hafsah yang tidak lain adalah ibu tiriku itu. Dia meringsek masuk ke dalam kamar, lalu dengan langkah panjang dia menghampiriku."Mil, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa di sini bersama Abra?" tanya ibu tiriku seraya meremas kedua sisi bahuku dengan keras.Tindakan wanita paruh baya ini seperti sedang mengisyaratkan bahwa aku harus mengikuti sandiwara yang hendak dia lakukan di depan orang ramai."Ibu sama sekali nggak menyangka kalau kalian punya hubungan seperti ini," tukas wanita itu lagi dengan nada yang dibuat sendu.Aku menggulung mataku dengan terang-terangan sambil mendengus ketika mendengar kalimat ini. Akan tetapi, aku tidak mengatakan apapun untuk membalasnya. Aku ingin melihat sampai sejauh mana sandiwara ini akan terus dipentaskan."Kalau kalian memang saling mencintai, kalian harusnya berbicara pada bapak dan ibu, Mil. Jangan malah kumpul kebo begini!" seru wanita itu dengan nada yang terdengar frustrasi."Apa yang dikatakan ibu kamu benar, Mil. Selain dosa, apa yang kamu lakukan ini juga telah mencoreng nama baik keluarga. Bapak kecewa sama kamu," celetuk bapak yang tiba-tiba muncul dari antara para warga yang berjubel di depan pintu.Riuh suara bisik-bisik pun semakin keras terdengar setelah bapak mengeluarkan kalimat bernada kecewa yang dibuat-buat itu."Iihh, aku nggak menyangka kalau Kamilia seperti ini. Padahal selama ini dia kelihatannya kayak anak baik-baik,""Aku juga nggak menyangka!""Makanya jangan melihat orang dari tampilan luarnya aja. Tampilan luar bisa menipu!""Eh, tapi kok bisa dia mau-maunya sama si Abra yang pengangguran sih? Bukannya dia sudah punya pacar ya?""Yaelah hari gini kayak nggak tahu anak muda aja. Nggak cukup cuma setia sama satu hati. Harus ada cadangan di setiap tikungan!"Aku yang mendengar untaian gosip yang diucapkan oleh para ibu-ibu itu hanya bisa menggigit bibir bawahku dengan keras. Jemari tanganku juga terkepal kian erat untuk menutupi kepahitan hati yang merajai.Bahkan meski aku tahu dengan sangat jelas bahwa apa yang menimpaku ini adalah fitnah yang dibuat oleh keluargaku sendiri, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya dengan gamblang. Kebencian di hatiku untuk keluarga ini belum cukup besar untuk membuatku membeberkan kebusukan mereka."Sudahlah, tunggu apalagi? Arak mereka keliling kampung untuk dijadikan contoh bagi anak-anak remaja di sini agar tidak melakukan hal serupa!" seru suara seorang pria yang tidak aku ketahui siapa."Benar! Jangan sampai anak-anak kita mencontoh hal terkutuk macam ini!" timpal yang lain menyetujui."Pak Kepala desa harus membuat keputusan dengan tegas saat ini juga. Demi wajah desa kita!" desak warga yang lainnya.Walaupun aku sedang dalam kondisi terdesak, tapi aku tidak lantas mengkerut malu. Aku justru dengan berani dan percaya diri menatap pada orang-orang yang berdiri di ambang pintu kamar sambil menatap penuh cibiran ke arahku.Pada momen ini, aku mulai berpikir apakah sebaiknya aku membuat klarifikasi sendiri?Rasanya akan sangat bodoh jika aku membiarkan fitnah yang dibuat oleh keluargaku sendiri ini berjalan dengan mulus."Ak.. ""Tunggu dulu!"Abra yang semula terdiam tiba-tiba mulai bersuara. Hal ini menyebabkan aku menarik kembali kata-kata yang ingin aku ucapkan."Ada yang harus aku jelaskan," tukas Abra membuat semua mata langsung menatap ke arahnya. Tidak terkecuali juga aku."Apa yang mau kamu jelaskan? Kita tidak butuh penjelasan! Ini pasti kamu 'kan yang sudah mempengaruhi Kamilia hingga dia berakhir di atas ranjangmu seperti ini?!" sambar ibu tiriku dengan vulgar.Sudut alis Abra tampak berkedut. "Aku? Bukannya kalian yang bersekongkol dengan pria itu untuk menjebakku?!" tukas Abra sembari menunjuk ke arah kerumunan warga yang semakin sibuk berbisik-bisik.Aku yang semula menaruh perhatian pada Abra pun segera mengalihkan pandanganku ke tempat dimana jari telunjuk pria itu mengarah. Di antara kumpulan para warga yang berjubel di depan pintu kamar, ada sosok Mas Damar yang berdiri diam di belakang."Mas Damar!" seruku dengan lirih.Melihat sosok diam kekasih hatiku itu, aku tidak tahu bagaimana harus merasa. Dengan sorot mata memelas hampir menangis, aku pun menatap lekat padanya.Akan tetapi, Mas Damar tidak sedikitpun melirik ke arahku. Tatapan matanya justru menatap lurus pada Abra yang baru saja melancarkan tuduhan padanya."Aku?!" seru Mas Damar dengan nada terkejut seraya menunjuk dirinya sendiri. "Tolong jangan tiba-tiba menuduh sembarangan dong!" tukas Mas Damar dengan nada tidak terima."Wah, kamu mau menyangkal? Aku masih ingat dengan jelas orang yang tiba-tiba datang bertamu tadi malam lalu membiusku itu adalah kamu!" pungkas Abra dengan gamblang."Memangnya kamu punya bukti kalau orang itu adalah aku?" tantang Mas Damar. "Kalau kamu tidak punya bukti, jangan memfitnah orang sembarangan!" serunya dengan lantang." ... "Abra spontan terdiam. Dia tidak bisa membalikkan ucapan yang dilontarkan oleh Mas Damar padanya.Adapun aku yang mengamati pertukaran kata di antara mereka tidak bisa menahan rasa untuk tidak kecewa. Awalnya aku tidak ingin mencurigai Mas Damar, tetapi melihat responnya saat ini membuatku dilanda ragu."Mas Damar!" Aku memanggil kekasihku itu sekali lagi.Namun, Mas Damar tetap tidak bergeming. Dia bahkan terlihat jelas berpura-pura tidak mendengar panggilanku."Aku tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada mereka. Mulai detik ini, hubunganku dengan Kamilia dinyatakan berakhir. Aku tidak sudi bersama dengan wanita tukang selingkuh!"Setelah mengucapkan kalimat ini, Mas Damar langsung berbalik pergi. Dia meninggalkanku dalam kondisi tidak bisa berkata-kata."Itu tadi pacarnya Kamilia 'kan?""Ho-oh. Kasihan sekali dia diselingkuhi. Padahal dia cakep begitu. Si Kamilia memang tidak pandai bersyukur!""Eh, tapi kenapa si Abra menuduh pria ini telah membiusnya ya?""Tau deh. Urusan anak muda!"Gosip para warga yang ada di depan pintu kamar semakin keras terdengar."Tunggu apalagi Pak kepala desa? Ayo segera arak mereka keliling kampung!""Betul Pak kepala desa. Ayo beri pelajaran pada mereka karena telah berbuat tidak senonoh di kampung kita ini,"Satu demi satu suara seorang warga mengompori dengan tidak sabar."Tunggu dulu semuanya!" tukas bapak menyela keributan yang semakin riuh. "Pak Kepala Desa, tolong jangan lakukan itu!" ucap bapak dengan nada memelas."Tidak bisa begitu dong Pak Suherman. Jika masalah ini dibiarkan begitu saja, anak-anak muda di kampung kita akan berpikir bahwa perilaku tidak bermoral macam ini diperbolehkan!" tukas seorang warga sok bijak."Saya tahu Pak Gultom. Kamilia ini memang salah karena telah melakukan tindakan tercela seperti ini, tetapi daripada mengaraknya keliling kampung, lebih baik nikahkan saja mereka. Tolong beri keluarga saya sedikit wajah, Pak kepala desa!" ucap bapak."Bapak!" seruku sambil menatap dengan mata melotot lebar."Diam kamu!" bentak bapak dengan marah. "Kamu bisanya cuma membuat malu keluarga saja!" omel bapak menambahkan." ... "Ucapan keras bapak ini membuatku termangu. Dadaku yang semula sudah panas semakin terbakar. Kebencian di dalam hatiku juga turut melonjak.Membuat malu keluarga katanya?Ini benar-benar sudah sangat keterlaluan. Mereka yang membuatku berada dalam situasi ini, tapi aku yang dituduh membuat malu keluarga?"Aku tidak mau menikah!" ujarku menolak gagasan bapak dengan tegas."Terserah kamu. Diarak keliling kampung atau menikah. Kamu tinggal pilih!" timpal bapak dengan acuh tak acuh.Aku menggelengkan kepala pelan tidak habis pikir. "Kenapa bapak begitu tega melakukan ini padaku? Boleh aku tahu alasannya?" tanyaku dengan lirih hampir tidak terdengar." ... "Tentu saja bapak tidak mau menjawab. Pria paruh baya ini justru mendesakku agar segera membuat pilihan."Jadi apa yang kamu pilih? Menikah? Atau diarak keliling kampung?" tanya bapak.Aku lantas menggigit bibir bawahku dengan keras untuk menahan agar air mata tidak merembes jatuh di pipiku. Rasanya sungguh menyesakkan berada dalam situasi tidak diinginkan seperti ini. Ketika keluargamu sendiri memfitnahmu, dan kekasihmu mencampakkanmu."Kami akan menikah!"Aku yang sedang dirundung kesedihan segera menoleh ke arah Abra yang berdiri di sampingku. Ucapan santainya membuatku melebarkan mata. Namun, dia hanya menepuk bahuku dengan pelan."Bagus!" seru bapak dengan girang. "Pak Kepala desa, bagaimana?" tanya bapak pada pak kepala desa yang dari awal hingga detik ini belum juga mengeluarkan suara."Terserah Pak Suherman saja. Tapi tolong dilakukan dengan segera. Jangan ditunda lama-lama," pungkas pak kepala desa."Besok pagi. Saya akan menikahkan mereka besok pagi!" seru bapak. Wajah pria paruh baya itu tampak begitu sumringah."Baiklah kalau begitu. Sekarang semuanya bubar!" seru pak kepala desa menggiring warga untuk keluar dari rumah kontrakan ini.Aku yang tidak memiliki kesempatan untuk membela diri pun hanya bisa diam termangu seperti orang bodoh.* * *"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel