Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu.
Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. “Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”“Saya yang pertama menemukannya,” kata seorang pelayan yang tiba-tiba menyeruak maju dari kerumunan. “Sebelumnya saya sempat mengobrol dengannya. Katanya dia harus mengantarkan kudapan ke kamar Nona Gemi. Lalu saya bilang kalau Nona Gemi tidak mau menerima kudapan. Dia bertanya apa dirinya boleh memakan kudapan yang sudah terlanjur disiapkan, lalu saya … saya membolehkannya.”Pelayan itu menutupi wajahnya sambil menangis terisak-isak, seolah merasa menyesal. Gemi menatap Nakula yang sudah kembali berdiri di hadapannya. “Sepertinya dia diracun. Kulitnya membiru dan mulutnya berbusa. Kemungkinan dia tewas karena memakan kudapan yang sebetulnya hendak diberikan untuk Anda.”Semua pelayan menatap Gemi dengan ngeri, sementara gadis itu merasakan tangannya mengepal tegang. “Maksudnya… korban sesungguhnya adalah aku?”“Bisa jadi.” Lalu Nakula menatap seluruh pelayan yang berkumpul di sekitar. “Katakan dengan jujur, siapa yang merencanakan semua ini?”Semua orang diam. Gemi berkata lirih, “Sudahlah, enggak ada yang namanya maling mengaku.”Pak Janu tiba-tiba muncul sambil membawa ponsel. Rautnya pias dan gelisah. “Tuan dan Nyonya, mohon lebih bersabar atas insiden ini. Saya akan mengumpulkan semua pelayan dan menginterogasi mereka satu per satu. Kalau pelakunya ada di antara mereka, saya tidak akan membiarkannya lepas.”“Saya menyerah Anda bagian itu,” kata Nakula, kemudian menghadap para pelayan. “Pastikan kalian mengurus jenazahnya dengan benar. Hubungi rumah sakit yayasan dan pihak keluarganya. Aku akan bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan.”“Baik, Tuan.” Semua orang menunduk kendati masih menampakkan wajah resah. Nakula menunduk pada Gemi. “Ikut aku.”Gemi tidak berkata apa-apa dan membuntuti Nakula di belakangnya. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri lorong, menaiki tangga, dan pergi ke sebuah ruangan yang tidak pernah dilihat Gemi sebelum ini. Sepertinya ini adalah ruang kerja, dilihat dari perabotannya. Nakula menutup semua jendela di ruangan setelah sebelumnya mengintip keluar untuk memastikan sesuatu. Kemudian dia berpaling pada Gemi. “Sudah terjadi,” katanya. Gemi mengerutkan kening. “Ini jebakan yang kamu maksud, kan?”“Ya. Mereka rupanya tidak mau mengulur waktu untuk melakukan kejahatan berikutnya.” Nakula melipat kedua tangannya di dada dan menatap Gemi lurus-lurus. Sorot matanya yang biasanya kalem kini terasa waspada dan mencekam. “Nona, mulai besok semua makanan yang masuk ke meja akan diperiksa terlebih dahulu. Anda tidak usah khawatir tentang kejadian ini.”“Enggak usah khawatir, katamu? Nyawa satu orang sudah jatuh!” Gemi tiba-tiba merasa marah dan langsung menuding wajah Nakula dengan telunjuknya. “Ini bukan soal aku aja, Nakula. Salah satu pelayanmu meninggal karena ulah kriminal itu! Kita seharusnya melaporkan hal ini ke polisi dan menyelidikinya!”“Anda tidak tahu bagaimana lingkungan kami bekerja,” kata Nakula, datar. “Andai saja pelakunya adalah orang biasa yang bisa tertangkap bila mengandalkan penyelidikan polisi, sejak awal saya sudah menangkapnya duluan. Tapi ini bukan sesuatu yang mudah dilacak. Rumah saya memiliki jaringan pengaman dan dijaga oleh ratusan orang berpengalaman dari luar dan dari dalam sistem. Kebobolan yang seperti ini hanya bisa dilakukan oleh tim yang ahli dan prestisius.”Gemi terdiam sebentar. “Maksudmu… pelaku yang membunuh pelayan tadi bukan hanya satu orang?”“Ya.” Nakula mengangguk, lalu melangkah mendekati Gemi. “Mereka pasti tergabung dalam sindikat pembunuhan terencana. Bila kita menghubungkan kasus ini dengan insiden pertama dimana kita terjebak di kamar hotel, maka pelakunya pasti memiliki niat sama untuk menyingkirkanmu dari sini.”Gemi kewalahan menahan informasi ini. Tiba-tiba saja dia merasa pening dan hendak jatuh. Nakula cepat-cepat menahan Gemi sebelum gadis itu luruh ke lantai. “Anda tidak apa-apa?” tanga Nakula khawatir. “Ini artinya nyawaku terancam setiap waktu,” Gemi menyuarakan hal itu dengan nada gemetar. Dia merasakan napasnya terpotong-potong dan air mata merebak di matanya. “Apa bahkan aku bisa tidur tenang? Gimana kalau pembunuh itu datang menyelinap ke kamarku dan membunuhku dalam tidur?”Nakula tiba-tiba mendekap Gemi dan menenangkan gadis itu dalam pelukannya. Dia mengusap punggung sempit Gemi dengan lembut. “Nona, tidak usah khawatir. Saya akan menjaga Anda.”“Aku enggak mau mati, Nakula.” Gemi menguburkan wajahnya pada dada Nakula dan menangis. Kepalanya penuh dengan bayang-bayang kematian sang pelayan; tubuhnya yang membiru, busa yang keluar dari mulut, dan mata yang membelalak kosong. Bagaimana bila Gemi berada di posisi itu? Bagaimana bila Gemi-lah yang tewas? “Sebenarnya apa salahku? Kenapa aku diincar sampai seperti ini?”Nakula merapatkan pelukannya, berkata lirih, “Saya… saya masih akan terus mencari informasi.”“Gimana aku bisa merasa tenang setiap waktunya?”Lalu Nakula melepas pelukannya dan membujuk Gemi dengan halus. “Kita tidur bersama saja malam ini, agar Anda tenang.”Gemi menatap Nakula dengan perasaan campur aduk. “Aku… tapi….”“Hanya ini satu-satunya cara,” kata Nakula, lalu mata pria itu bergeser pada dada Gemi sebelum akhirnya dia memalingkan wajah seolah menahan diri. Suaranya melirih seperti memohon, “Saya berjanji akan menjaga Anda, dan tidak akan membiarkan pembunuh itu menjangkau Anda sedikit pun.”Setelah menyaksikan insiden mengerikan di dapur tadi, dan mendengarkan betapa ricuhnya pihak yayasan rumah sakit yang datang untuk mengautopsi mayat tersebut, Gemi diserang rasa gelisah sampai tidak bisa tidur. Nakula masih keluar karena sedang berbicara bersama pihak forensik, tetapi Gemi di sini sudah kepalang rindu—bukan, maksudnya menunggu-nungu kedatangan Nakula lantaran dia takut sendirian. Dan setelah berlama-lama merenung, Gemi mendengar pintu kamarnya dibuka. “Nona. Kenapa Anda belum tidur?”“Enggak papa. Gimana tadi tentang obrolanmu? Kamu dapat informasi dari para petugas forensik?”“Racun arsenik,” kata Nakula selagi dia duduk di sebelah Gemi. “Ada di dalam kue kering yang disediakan untuk Anda. Pelayan itu memakannya dan efeknya langsung muncul dalam beberapa detik. Racun itu menyumbat pernapasan dan melumpuhkan otak—salah satu dari jenis racun terampuh untuk membunuh korbannya sebelum dia bisa dilarikan ke rumah sakit.”Gemi mengusap wajah dengan frustrasi terkejut d
Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t
“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A
Siang pukul 11.40. Surabaya panas menyengat seperti tangki pembakaran di neraka. Gemi dan Nakula melangkah melalui pintu tingkap kayu Rumah Yatim Piatu lalu muncul di sebuah ruang tamu luas yang nyaman. Dari dekat lorong samping tangga, muncul seorang perempuan muda yang memiliki wajah keibuan. “Halo, Nak Nakula. Apa kabar?” Wanita itu menyambut Nakula dengan murah senyum. Sudah Gemi duga, kedatangan Nakula di tempat ini pun pasti akan membuat semua orang melirik dengan penasaran, sebab sekarang itulah yang terjadi; beberapa anak penghuni panti asuhan yang mulanya duduk tenang dan bergerumbul di sudut ruangan langsung menghampiri Nakula dengan heboh. Satu dua di antaranya berteriak menyambut sambil melompat-lompat girang. “Wahhh, Mas Naku! Mas Naku datang!” “Mas, aku kangen Mas loh!” Seorang bocah perempuan yang kelihatannya berusia lima tahun langsung memeluk pinggang Nakula sambil tertawa senang. Nakula menerima sambutan mereka semua dengan hangat. Tawanya lebar dan santer, me
Setelah sekitar satu bulan tinggal bersama Nakula di kediamannya, sekaligus menjadi staf pengajar di Rumah Yatim Piatu Pelita Kasih, Gemi berhasil menggali cukup banyak informasi tentang latar belakang Nakula. Selain menjadi orang populer dan menerima banyak perhatian, Nakula juga ternyata sama seperti Gemi; dibuang oleh keluarga atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Betapa ironis mengetahui fakta bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki takdir sama. Gemi yang dulunya merasa sebal dan betah protes di hadapan Nakula, kini menjadi semakin lunak dan sabar lantaran merasa iba dengan kondisi suaminya sendiri. Seperti sekarang, ketika Gemi dan Nakula mendarat di sebuah toko kue sebelum pulang ke rumah, Nakula akhirnya melayangkan satu pertanyaan besar yang mengganjal pikirannya;“Kenapa Anda mengajak saya ke toko kue ini, Nona?”“Karena aku mau membelikanmu kue.” “Tapi saya tidak ulang tahun,” kata Nakula. Gemi mengambil sebuah keik sederhana dengan lelehan cokelat yang
Ini pasti mimpi. Begitulah yang Nakula rasakan ketika dia membuka mata dan terbangun di sebuah tempat yang familier—ruang kantor ayahnya. Bagi Nakula, yang telah lama diserang kepanikan atas trauma masa lalu, mimpi adalah sesuatu yang fana sekaligus nyata. Dia tahu dia bermimpi, tetapi dia tidak bisa mengendalikannya. Bayang-bayang kematian anggota keluarganya selalu melilitnya dalam kerangkeng masa lalu, mencekiknya, melumpuhkannya. Seperti saat ini, ketika Nakula melangkah menghampiri sang ayah, dia tidak bisa mengelak dari tatapannya yang membunuh. “Nakula,” kata ayahnya, yang menatap Nakula dengan bengis. “Kamu sudah kuusir dari rumah ini. Mengapa kamu kembali lagi?”Wajah Ayah mirip dengan Nakula, tetapi sang putra mewarisi kilau mata ibunya yang seindah gurun dan selembut sapuan mentari. Sementara tatapan ayahnya cenderung dingin, keji, bagaikan hiu yang bersembunyi di balik gunung es. Nakula membalas lirih, “Ayah, saya hanya ingin minta maaf.”“Kendati kamu minta maaf, masa