Home / Romansa / Suami Pengawal Nona Muda / Bab 8. Ancaman Kematian

Share

Bab 8. Ancaman Kematian

last update Last Updated: 2024-02-25 18:47:35

Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu. 

Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. 

Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. 

“Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. 

Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”

“Saya yang pertama menemukannya,” kata seorang pelayan yang tiba-tiba menyeruak maju dari kerumunan. “Sebelumnya saya sempat mengobrol dengannya. Katanya dia harus mengantarkan kudapan ke kamar Nona Gemi. Lalu saya bilang kalau Nona Gemi tidak mau menerima kudapan. Dia bertanya apa dirinya boleh memakan kudapan yang sudah terlanjur disiapkan, lalu saya … saya membolehkannya.”

Pelayan itu menutupi wajahnya sambil menangis terisak-isak, seolah merasa menyesal. 

Gemi menatap Nakula yang sudah kembali berdiri di hadapannya. “Sepertinya dia diracun. Kulitnya membiru dan mulutnya berbusa. Kemungkinan dia tewas karena memakan kudapan yang sebetulnya hendak diberikan untuk Anda.”

Semua pelayan menatap Gemi dengan ngeri, sementara gadis itu merasakan tangannya mengepal tegang. “Maksudnya… korban sesungguhnya adalah aku?”

“Bisa jadi.” Lalu Nakula menatap seluruh pelayan yang berkumpul di sekitar. “Katakan dengan jujur, siapa yang merencanakan semua ini?”

Semua orang diam. Gemi berkata lirih, “Sudahlah, enggak ada yang namanya maling mengaku.”

Pak Janu tiba-tiba muncul sambil membawa ponsel. Rautnya pias dan gelisah. “Tuan dan Nyonya, mohon lebih bersabar atas insiden ini. Saya akan mengumpulkan semua pelayan dan menginterogasi mereka satu per satu. Kalau pelakunya ada di antara mereka, saya tidak akan membiarkannya lepas.”

“Saya menyerah Anda bagian itu,” kata Nakula, kemudian menghadap para pelayan. “Pastikan kalian mengurus jenazahnya dengan benar. Hubungi rumah sakit yayasan dan pihak keluarganya. Aku akan bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan.”

“Baik, Tuan.” Semua orang menunduk kendati masih menampakkan wajah resah. 

Nakula menunduk pada Gemi. “Ikut aku.”

Gemi tidak berkata apa-apa dan membuntuti Nakula di belakangnya. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri lorong, menaiki tangga, dan pergi ke sebuah ruangan yang tidak pernah dilihat Gemi sebelum ini. Sepertinya ini adalah ruang kerja, dilihat dari perabotannya. Nakula menutup semua jendela di ruangan setelah sebelumnya mengintip keluar untuk memastikan sesuatu. Kemudian dia berpaling pada Gemi. 

“Sudah terjadi,” katanya. 

Gemi mengerutkan kening. “Ini jebakan yang kamu maksud, kan?”

“Ya. Mereka rupanya tidak mau mengulur waktu untuk melakukan kejahatan berikutnya.” Nakula melipat kedua tangannya di dada dan menatap Gemi lurus-lurus. Sorot matanya yang biasanya kalem kini terasa waspada dan mencekam. “Nona, mulai besok semua makanan yang masuk ke meja akan diperiksa terlebih dahulu. Anda tidak usah khawatir tentang kejadian ini.”

“Enggak usah khawatir, katamu? Nyawa satu orang sudah jatuh!” Gemi tiba-tiba merasa marah dan langsung menuding wajah Nakula dengan telunjuknya. “Ini bukan soal aku aja, Nakula. Salah satu pelayanmu meninggal karena ulah kriminal itu! Kita seharusnya melaporkan hal ini ke polisi dan menyelidikinya!”

“Anda tidak tahu bagaimana lingkungan kami bekerja,” kata Nakula, datar. “Andai saja pelakunya adalah orang biasa yang bisa tertangkap bila mengandalkan penyelidikan polisi, sejak awal saya sudah menangkapnya duluan. Tapi ini bukan sesuatu yang mudah dilacak. Rumah saya memiliki jaringan pengaman dan dijaga oleh ratusan orang berpengalaman dari luar dan dari dalam sistem. Kebobolan yang seperti ini hanya bisa dilakukan oleh tim yang ahli dan prestisius.”

Gemi terdiam sebentar. “Maksudmu… pelaku yang membunuh pelayan tadi bukan hanya satu orang?”

“Ya.” Nakula mengangguk, lalu melangkah mendekati Gemi. “Mereka pasti tergabung dalam sindikat pembunuhan terencana. Bila kita menghubungkan kasus ini dengan insiden pertama dimana kita terjebak di kamar hotel, maka pelakunya pasti memiliki niat sama untuk menyingkirkanmu dari sini.”

Gemi kewalahan menahan informasi ini. Tiba-tiba saja dia merasa pening dan hendak jatuh. Nakula cepat-cepat menahan Gemi sebelum gadis itu luruh ke lantai. 

“Anda tidak apa-apa?” tanga Nakula khawatir. 

“Ini artinya nyawaku terancam setiap waktu,” Gemi menyuarakan hal itu dengan nada gemetar. Dia merasakan napasnya terpotong-potong dan air mata merebak di matanya. “Apa bahkan aku bisa tidur tenang? Gimana kalau pembunuh itu datang menyelinap ke kamarku dan membunuhku dalam tidur?”

Nakula tiba-tiba mendekap Gemi dan menenangkan gadis itu dalam pelukannya. Dia mengusap punggung sempit Gemi dengan lembut. “Nona, tidak usah khawatir. Saya akan menjaga Anda.”

“Aku enggak mau mati, Nakula.” Gemi menguburkan wajahnya pada dada Nakula dan menangis. Kepalanya penuh dengan bayang-bayang kematian sang pelayan; tubuhnya yang membiru, busa yang keluar dari mulut, dan mata yang membelalak kosong. Bagaimana bila Gemi berada di posisi itu? Bagaimana bila Gemi-lah yang tewas? “Sebenarnya apa salahku? Kenapa aku diincar sampai seperti ini?”

Nakula merapatkan pelukannya, berkata lirih, “Saya… saya masih akan terus mencari informasi.”

“Gimana aku bisa merasa tenang setiap waktunya?”

Lalu Nakula melepas pelukannya dan membujuk Gemi dengan halus. “Kita tidur bersama saja malam ini, agar Anda tenang.”

Gemi menatap Nakula dengan perasaan campur aduk. “Aku… tapi….”

“Hanya ini satu-satunya cara,” kata Nakula, lalu mata pria itu bergeser pada dada Gemi sebelum akhirnya dia memalingkan wajah seolah menahan diri. Suaranya melirih seperti memohon, “Saya berjanji akan menjaga Anda, dan tidak akan membiarkan pembunuh itu menjangkau Anda sedikit pun.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 36. Telepon Mengejutkan

    “Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 35. Kedatangan sang Abang

    Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 34. Diusir dari Rumah

    Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 33. Menyelidiki Rahasia Ayah

    “Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 32. Menenangkan Hati

    “Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l

  • Suami Pengawal Nona Muda   Bab 31. Musuh yang Terbangun

    Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status