Share

Bab 4

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 08:47:14

Satu jam berlalu. Asih akhirnya keluar dari kamarnya dengan mata yang masih sembab. Melangkah menghampiri Bu Darmi yang tengah duduk di lantai semen, mengupas rimpang untuk jamu dagangannya.

"Ibu ...," panggil Asih lirih seraya duduk bersimpuh di hadapan ibunya. "Sekali lagi Asih minta maaf."

Wanita yang mengenakan kebaya tradisional itu mengangkat wajahnya, menatap putri semata wayangnya dengan tatapan sendu. Walau di dalam hatinya ia merasa kecewa, namun Bu Darmi tahu bahwa hanya Asih yang ia miliki saat ini. Dan walau bagaimanapun, Bu Darmi tidak ingin Asih hancur karena disalahkan.

"Ibu mengerti, Nak," ucap Bu Darmi, mengelus pipi Asih yang masih lembab oleh air mata. Asih sudah cukup terluka dan sakit karena pria itu. Bu Darmi tidak ingin menambah kepedihannya.

Bu Darmi beranjak bangkit, menutup pintu rumah yang setengah terbuka, kemudian memanggil Galih. Tak lama kemudian, pria bermata cokelat itu keluar. Ia duduk bersila di hadapan Asih dan Bu Darmi.

"Nak," Bu Darmi berkata dengan lembut. "Ibu tahu kamu masih terguncang. Tapi kita harus bicarakan ini sekarang."

Asih mengangguk lemah, matanya terpaku pada lantai di bawahnya.

"Apakah kamu benar-benar tidak bisa mengupayakan pria itu agar mau menikahimu?"

Asih menggeleng pelan. "Asih akan membesarkan anak ini sendiri," jawabnya menahan tangis.

"Tidak!" suara Galih mengejutkan kedua perempuan itu. "Aku akan menikahimu, Asih. Aku berjanji akan menganggap anak yang sedang kamu kandung sebagai anakku sendiri."

Asih menatap Galih dengan pandangan tidak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu mau melakukan itu untukku?"

Galih terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke mata Asih yang masih sembab. "Karena ...," ia menelan ludah, "... karena kalian sudah menolongku, kini saatnya aku yang menolongmu, Asih."

"Tidak, Galih. Aku tidak bisa menerimanya. Itu tidak adil untukmu. Kamu layak mendapatkan gadis yang lebih baik dariku, yang tidak membawa beban sepertiku."

"Asih benar, Nak," timpal Bu Darmi. "Kamu tidak perlu merasa terpaksa membalas budi atau kasihan pada kami."

Galih menggeleng tegas. "Saya tidak merasa terpaksa, Bu." Ia kembali menatap Asih lekat-lekat. "Aku memang belum mengenalmu lama, tapi selama dua minggu tinggal di rumah ini, aku melihatmu sebagai gadis yang kuat, mandiri, dan penuh kasih sayang. Aku kagum padamu, Asih."

Air mata Asih kembali menetes. Kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebingungan dan haru.

"Aku tidak akan memintamu untuk mencintaiku," lanjut Galih. "Aku hanya meminta kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi suami yang baik untukmu dan ayah yang baik untuk anakmu."

Bu Darmi memandang kedua anak muda di hadapannya. Ia bisa melihat ketulusan di mata Galih, dan kebimbangan di mata Asih.

"Asih ... Ibu tahu ini keputusan yang sangat berat. Dan kita ... sepertinya kita memang butuh bantuan Nak Galih."

Asih menatap ibunya, kemudian menatap Galih. Hatinya masih sakit karena kebohongan Ardy, tapi di sisi lain, tawaran Galih adalah satu-satunya jalan keluar dari situasi sulit yang sedang dihadapinya.

"Bagaimana dengan masa lalumu?" tanya Asih, teringat bahwa selama dua minggu ini Galih tidak pernah bercerita tentang dirinya. "Kamu muncul dari hutan dalam keadaan terluka. Siapa kamu sebenarnya?"

Galih menghela napas panjang. "Aku bukan orang jahat, hanya itu yang bisa kujamin."

Asih terdiam. Suasana mendadak hening.

"Baiklah," ucap Asih akhirnya setelah terdiam cukup lama. "Aku ... aku bersedia menikah dengan Galih."

©©©

Beberapa hari kemudian, Bu Darmi sibuk mempersiapkan pernikahan Asih. Wanita paruh baya itu bolak-balik ke rumah tetangga terdekat, menyampaikan kabar gembira sekaligus meminta bantuan untuk persiapan acara sederhana.

"Bu Darmi, serius Asih akan menikah?" tanya Bu Siti, tetangga yang terpaut tiga rumah darinya. Matanya melebar tak percaya. "Selama ini saya tidak pernah mendengar Asih berpacaran dengan laki-laki manapun."

Bu Darmi tersenyum tipis, jemarinya yang kasar meremas ujung kain kebayanya. "Asih memang tidak mengumbar hubungannya, Bu. Anak saya pemalu orangnya."

"Tapi bersyukur ya Bu, akhirnya Asih ada jodohnya," sahut Bu Tini sambil menghela napas panjang. "Itu loh, anak saya sampai sekarang umur 30 belum ada jodohnya. Kadang saya sampai cemas, takut jadi perawan tua."

Bu Darmi mengangguk-angguk, namun di dalam hatinya ia merasakan sesak yang tak bisa dijelaskan. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang pernah ia impikan untuk putrinya. Bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Namun, apa boleh buat. Ini adalah jalan terbaik satu-satunya dalam situasi yang sulit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 10

    Asih dan Galih langsung menoleh."Eh, Ibu sudah pulang," kata Asih sambil mengusap keringat di dahinya. "Aku sedang menyiapkan makan sore.""Mau ibu bantu?""Sudah selesai, Bu," kata Galih sambil tersenyum. Ia mengambil serokan dan memindahkan ikan yang sudah matang ke dalam piring."Ya sudah, kalau begitu Ibu mau mandi dulu.""Aku juga, Bu," kata Galih. "Tapi Ibu duluan saja, nanti saya belakangan."Bu Darmi mengangguk dan meletakkan bakul di atas lantai semen di pojok ruangan seperti biasa, kemudian melangkah ke luar rumah menuju kamar mandi tradisional yang terletak di belakang rumah.Kamar mandi itu sangat sederhana, terbuat dari dinding bambu dengan atap seng. Di dalamnya hanya ada bak air besar dari semen dan gayung plastik. Tidak ada kloset modern, hanya lubang tradisional yang sudah lazim digunakan di desa-desa terpencil.Setelah semua selesai mandi, mereka berkumpul di ruang tengah yang tidak terlalu luas untuk makan bersama. Tikar pandan tua digelar di lantai, di atasnya ter

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 9

    Satu minggu berlalu dengan tenang. Pagi itu, Bu Darmi baru saja keluar rumah untuk berjualan jamu seperti biasa. Bakul anyaman bambu sudah tertata rapi di punggungnya, berisi berbagai macam jamu tradisional yang masih hangat.Ketika melewati warung Pak Bambang yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Bu Darmi disapa oleh beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk sambil menikmati teh pagi."Pagi, Bu Darmi!" sapa Bu Ima yang sedang menyeruput teh manisnya. "Mau kemana? Tumben pagi-pagi sekali.""Pagi juga, Bu Ima. Seperti biasa, mau jualan jamu," jawab Bu Darmi sambil tersenyum ramah.Bu Wati, yang duduk di sebelah Bu Ima, ikut menyahut. "Wah, rajin sekali ya Bu. Padahal sekarang kan sudah ada menantu, masa masih kerja keras begitu?"Bu Darmi hanya tersenyum tipis. "Ah, biasa saja kok, Bu. Lagipula, hidup kan harus tetap berusaha.""Iya, sih," timpal Bu Ima sambil mengangguk-angguk. "Tapi semoga saja menantu ibu bisa bantu-bantu, ya. Kan kasihan kalau ibu terus yang kerja keras.""Amin,"

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 8

    Ardy masih terduduk di atas batu besar itu, jemarinya menelusuri permukaan kasar yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka. Matanya menatap kosong ke arah semak-semak tempat mereka pernah berbagi kehangatan, sementara pikirannya berputar-putar seperti pusaran air.Tidak sedikitpun ia memikirkan anak dan istrinya yang ada di Jakarta. Wajah mereka seakan terhapus dari ingatan, digantikan oleh bayangan Asih yang terus menghantui. Rahangnya mengeras ketika mengingat pernikahan Asih dengan pria yang entah siapa."Aku harus menemui Asih," gumamnya, tangannya mengepal erat. "Pokoknya Asih harus mencabut pernikahannya dengan pria itu. Aku tidak rela anakku mempunyai ayah pengganti."Ardy bangkit dengan gerakan tiba-tiba, namun langkahnya terhenti ketika ingatannya kembali pada ancaman Bu Darmi yang mengatakan akan membongkar semuanya pada ayahnya. Dadanya naik turun, nafasnya tersengal-sengal karena pergolakan batin yang hebat.Sejenak ia goyah, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Nam

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 7

    Sesampainya di rumah, Bu Darmi belum sempat meletakkan bakul jamunya ketika Galih yang baru saja keluar dari kamar, bersiap hendak pergi, langsung menghampiri mereka dengan wajah heran."Loh, mengapa sudah pulang, Bu?" tanya Galih sambil memperhatikan bakul jamu Bu Darmi yang masih penuh. Matanya kemudian beralih pada Asih yang berdiri di samping ibunya dengan wajah pucat dan mata sembab bekas menangis.Bu Darmi melirik Asih sekilas, lalu dengan cepat mencari alasan. "Ah, ini ... katanya Asih mual-mual," ucapnya sambil menurunkan bakul dari punggungnya dengan gerakan sedikit terburu-buru."Mual?" Galih langsung panik, alisnya berkerut dalam. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia segera menghampiri Asih dan dengan lembut menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk dulu, jangan berdiri terus."Dengan gerakan cekatan, Galih mengambil air hangat dari termos dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia duduk di samping Asih yang terduduk lemah di atas tikar, kemudian menyodorkan gelas tersebut

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 6

    Dua hari berlalu, saatnya Bu Darmi kembali ke rutinitas, yaitu berkeliling desa untuk berjualan jamu. Kali ini, ia tidak sendirian. Asih bersikeras ingin menemani."Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja di rumah. Kondisimu kan sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Darmi sambil menyiapkan bakul jamu.Asih menggeleng keras. "Tidak, Bu. Asih tidak betah terus-terusan di rumah. Asih bosan. Lagipula, jalan-jalan sedikit tidak apa-apa untuk ibu hamil muda.""Tapi nanti kamu capek, Nak.""Asih janji tidak akan memaksakan diri. Kalau capek, nanti Asih langsung bilang. Asih rindu sekali berkeliling desa seperti dulu," rayu Asih sambil menggenggam tangan ibunya.Bu Darmi menghela napas. "Baiklah, tapi jangan sampai memaksakan diri."Sebelumnya, keseharian Asih adalah memetik kopi di perkebunan milik keluarga Wijaya. Namun, sudah dua minggu ini Asih tidak pernah kembali ke perkebunan kopi karena tidak ingin bertemu lagi dengan Ardy."Jamu ... jamu ...." Asih dan Bu Darmi berjalan sambil menawarka

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 5

    Tiga hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari bahagia Asih dan Galih. Di kamar kecil yang beralaskan tikar pandan, Asih duduk di depan cermin retak yang dipasang di dinding kayu. Bu Darmi dengan tangan gemetar merias wajah putrinya."Tahan ya, Nak," bisik Bu Darmi sambil mengoleskan bedak tipis di wajah Asih. Tangannya yang biasa kasar menangani rimpang-rimpang kini bergerak lembut di wajah putrinya. Asih hanya mengangguk pelan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, bukan karena riasan, melainkan karena kegugupan yang memenuhi dadanya. Ia mengenakan kebaya putih sederhana, warisan mendiang neneknya. Kain batik yang sudah mulai pudar warnanya diselipkan dengan rapi di pinggang. Rambut hitamnya diikat sanggul sederhana, dihiasi dengan bunga melati yang dipetik Bu Darmi dari pohon di halaman."Cantik sekali putri Ibu," bisik Bu Darmi sambil menyisir anak rambut Asih yang terjuntai di pelipis. Air matanya hampir menetes melihat putrinya yang cantik itu.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status