Share

Bab 3

Author: Merisa storia
last update Last Updated: 2025-05-31 20:22:43

"Saya akan menikahi Asih."

Asih dan Bu Darmi tersentak kaget. Mereka sontak menoleh ke arah sumber suara. Di ambang tirai kamar yang tersingkap, berdiri seorang lelaki berparas tampan dengan bekas luka samar di pelipis kanannya. Matanya menatap lurus ke arah Asih yang masih berlutut di samping ibunya dengan wajah basah oleh air mata.

Mata Asih membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin pria yang baru dua minggu tinggal di rumah mereka itu bisa dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu?

Bu Darmi segera bangkit dan menarik lengan pria itu. "Sssst ...," desisnya pelan sambil menempelkan jari di bibir. "Tolong pelankan suaramu, Nak. Jangan sampai ada yang mendengar."

Galih menunduk, raut wajahnya menunjukkan penyesalan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya tidak sengaja mendengarkan."

Galih mengalihkan pandangannya dari Bu Darmi ke Asih. "Aku bersedia menikahimu," ucapnya dengan suara pelan.

Asih menggelengkan kepalanya kuat-kuat, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. "Tapi ... aku ...," suaranya tercekat oleh isak tangis yang masih tersisa.

"Aku akan menganggap anak itu seperti anakku!"

Bu Darmi menatap Galih dengan sorot mata yang sulit ditafsirkan. "Lebih baik kamu kembali ke kamarmu dulu, Nak Galih," ucap Bu Darmi sembari menepuk pundak Galih dengan lembut. "Biarkan Asih menenangkan diri. Kita bicarakan ini nanti, ya?"

Galih mengangguk patuh, kemudian melemparkan satu pandangan terakhir ke arah Asih sebelum melangkah pergi meninggalkan kamar.

Bu Darmi kembali duduk di samping Asih, tangannya membelai rambut hitam putrinya yang tergerai berantakan. "Istirahat saja dulu, Nak. Tenangkan dirimu. Setelah itu, mari kita bicara," bisiknya penuh kasih sayang.

©©©

Dua Minggu sebelumnya ....

Matahari hampir tenggelam di balik puncak Gunung Gede ketika Bu Darmi menyusuri jalan setapak menuju hutan di kaki gunung. Keranjang rotan tersampir di lengannya, setengah terisi oleh berbagai jenis rimpang dan tanaman herbal yang baru saja dipetiknya.

"Sudah cukup untuk hari ini," gumamnya pada diri sendiri sambil merapikan isi keranjangnya.

Namun, ketika hendak berbalik pulang, matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Di balik semak-semak lebat, tampak sepasang kaki terjulur tidak bergerak. Penasaran bercampur was-was, Bu Darmi mendekat dengan hati-hati.

"Ya Allah!" pekiknya, ketika melihat sosok pria yang terbaring di tanah. Tubuhnya berlumuran darah, wajahnya lebam kebiruan seperti habis dihajar, dan pakaiannya robek di beberapa bagian.

Bu Darmi berlutut di samping tubuh pria itu, jemarinya yang kapalan menyentuh leher sang pria untuk memeriksa denyut nadinya. Masih ada! Lemah, tapi masih ada.

"Nak, Nak, bangun," panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi pria itu pelan.

Kelopak mata pria itu bergerak-gerak, kemudian perlahan terbuka. Matanya yang kuyu menatap Bu Darmi dengan sorot bingung.

"Si ... siapa?" bisiknya dengan suara serak.

"Saya Bu Darmi," jawab wanita paruh baya itu. "Kamu terluka parah. Bisa berdiri? Rumah saya tidak jauh dari sini."

Dengan susah payah, Bu Darmi memapah pria asing itu menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Berkali-kali langkah mereka terhenti ketika pria itu merintih kesakitan atau hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan.

Setibanya di rumah, Bu Darmi langsung membaringkan pria itu di lantai yang beralaskan tikar di ruang tengah. Asih yang baru saja pulang dari memetik kopi tercengang melihat ibunya membawa seorang pria asing yang terluka.

"Ambilkan air hangat dan kain bersih, Nak," perintah Bu Darmi cepat. Tanpa banyak bertanya, Asih bergegas melaksanakan perintah ibunya.

Dengan cekatan, Bu Darmi membersihkan luka-luka pria itu, kemudian mengobatinya dengan ramuan herbal dari tanaman yang baru saja dipetiknya. Selama pengobatan, beberapa kali pria itu meringis menahan sakit, namun tidak sekalipun ia mengeluh.

"Siapa namamu, Nak?" tanya Bu Darmi ketika selesai membalut luka di lengan pria itu.

"Nama saya Galih, Bu," jawabnya lemah.

"Kenapa kamu ada di hutan dalam keadaan terluka begini?" cecar Bu Darmi penasaran.

Galih hanya diam, matanya menerawang jauh, seolah pertanyaan Bu Darmi membangkitkan ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam.

"Dimana rumahmu?" Bu Darmi tidak menyerah.

Galih menggeleng pelan. "Saya sudah tidak punya rumah, Bu."

"Apa kamu tidak punya keluarga?" tanya Bu Darmi lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

"Saya sudah tidak punya keluarga," jawab Galih. Ada kepedihan yang mendalam dalam suaranya, membuat Bu Darmi tidak tega untuk bertanya lebih jauh.

"Kalau begitu, kamu tinggal di sini dulu sampai lukamu sembuh," putus Bu Darmi akhirnya. Ada sesuatu dalam sorot mata Galih yang membuat Bu Darmi yakin bahwa ia adalah orang baik yang sedang dirundung kesusahan. "Kamu bisa pakai kamar kosong di samping dapur."

Hari berganti hari. Bu Darmi merawat Galih layaknya anak sendiri. Setiap pagi, ia membuatkan ramuan herbal untuk mempercepat penyembuhan luka Galih.

©©©

Sore itu, Bu Darmi baru saja membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih ke kamar Galih yang sudah mulai pulih. Wajah pria itu sudah tidak memar lagi, dan luka-lukanya hampir sembuh sepenuhnya.

"Terima kasih, Bu. Padahal tidak usah repot-repot, saya bisa ambil sendiri ke dapur," ucap Galih saat menerima makanan dari Bu Darmi.

Bu Darmi tersenyum hangat. "Sama sekali tidak merepotkan. Habiskan ya, biar cepat—"

Ucapannya terputus oleh suara pintu terbuka dengan kasar dan isak tangis yang terdengar dari arah kamar Asih. Bu Darmi dan Galih saling pandang, sama-sama terheran-heran.

"Kamu makan dulu, Nak. Ibu mau lihat Asih kenapa," kata Bu Darmi seraya bergegas keluar dari kamar Galih.

Galih mengangguk, namun begitu Bu Darmi keluar, ia meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidurnya dan mengikuti Bu Darmi. Ia berdiri di depan kamar Asih, mendengarkan percakapan ibu dan anak itu dengan seksama. Jantungnya berdebar ketika mendengar Asih mengaku hamil dan ayah dari bayinya sudah beristri.

Tanpa pikir panjang, Galih menyingkap tirai yang menutupi pintu kamar Asih. Hatinya mencelos melihat gadis cantik yang selama dua minggu ini mencuri perhatiannya itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya.

"Saya akan menikahi Asih," ucapnya lantang, didorong oleh naluri untuk melindungi yang entah datang dari mana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 29

    "Gimana, Asih? Jangan malu-malu, kan sudah menikah," Bu Wati tersenyum, tapi senyumnya terkesan mencurigakan."Iya, berapa bulan hamilnya? Kok baru sebulan nikah udah hamil? Cepat banget ya," Bu Siti menambahkan dengan nada yang terdengar menyindir.Asih semakin pucat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika mengaku hamil, pasti akan ada pertanyaan lanjutan yang sulit dijawab. Jika menyangkal, nanti jika kehamilannya terlihat jelas, ia akan dianggap pembohong."Saya ...," Asih mulai berucap, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan."Kenapa diam? Jangan-jangan ...," Bu Wati dan Bu Siti saling pandang dengan tatapan penuh makna.Pak Bambang yang melihat Asih terlihat tidak nyaman, segera menyela. "Sudah, sudah. Ini berasnya sudah selesai ditimbang."Tapi Bu Siti belum puas. "Asih, jujur saja. Kamu hamil, kan? Coba lihat, perutmu agak buncit, wajahmu bulat, dan kulitmu glowing. Tanda-tanda hamil muda banget itu.""Iya, terus kalau hamil, berarti kamu hamil sebelum nikah, dong? Soa

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 28

    Suasana di ruang tengah menjadi hening setelah Ardy pergi. Galih duduk di samping Asih, matanya sesekali melirik ke arah pintu tempat motor Ardy tadi menghilang."Asih," Galih berkata pelan, "siapa pria tadi?"Asih terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Haruskah dia jujur? Atau lebih baik berbohong saja? Pikirannya berkecamuk mencari jawaban yang tepat."Kenapa diam?" tanya Galih lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin menjawabnya."Asih semakin bingung. Sikap pengertian Galih justru membuatnya merasa lebih bersalah."Yasudah, sebaiknya kamu masuk ke dalam kamar, istirahat saja," kata Galih sambil mengulurkan tangannya hendak membantu Asih bangkit."Dia adalah Ardy," Asih tiba-tiba berkata, menghentikan gerakan Galih. "Pria tidak bertanggung jawab yang mencampakkan aku begitu saja."Galih terdiam sejenak, kemudian duduk berhadapan dengan Asih. Wajahnya tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan."Aku minta maaf, Galih.

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 27

    Motor milik Ardy melaju pelan di jalan desa yang berlubang. Asih duduk di belakang, kedua tangannya memegang pinggiran jok motor, berusaha menjaga jarak dengan Ardy."Asih, pegang bahuku. Nanti kamu bisa jatuh kalau hanya pegang jok," kata Ardy tanpa menoleh."Tidak apa-apa, aku bisa—"Tiba-tiba motor sedikit oleng karena lubang di jalan. Asih hampir terjatuh ke samping, refleks langsung memeluk pinggang Ardy dari belakang."Maaf," bisik Asih sambil segera melepas pelukannya."Tidak apa-apa. Kalau perlu pegang yang erat," jawab Ardy, hatinya berbunga merasakan sentuhan Asih sedetik tadi.Angin sore menerpa wajah mereka. Motor terus melaju pelan, Ardy sengaja tidak mempercepat laju motornya."Asih," Ardy berkata pelan. "Kamu harus menjaga diri dengan baik. Terutama ... anak yang ada dalam kandunganmu."Asih memilih tidak merespons kata-kata Ardy. Ia hanya menatap hamparan perkebunan kopi yang mereka lewati, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk.©©©Motor Ardy memasuki halaman r

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 26

    "Juragan Ardy ...," Bu Darmi menganga. Mengapa pemuda ini datang di saat yang tidak tepat.Ardy melihat kondisi Asih yang hampir tidak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mendekati mereka."Kenapa Asih?" tanya Ardy."Dari malam demam," jawab Bu Darmi singkat."Ayo naik motor, saya antar ke mantri," tawar Ardy."Tidak usah. Kami bisa jalan sendiri," Bu Darmi menolak."Bu Darmi, ini emergency. Asih bisa kenapa-napa kalau terlambat ditangani," Ardy bersikukuh."Tidak apa-apa, kami bisa—"Belum selesai Bu Darmi bicara, tubuh Asih mendadak lemas dan pingsan. Bu Darmi panik dan hampir tidak sanggup menahan berat tubuh Asih."Asih! Asih!" panggil Bu Darmi sambil menepuk-nepuk pipi Asih.Ardy langsung bereaksi. Tanpa permisi, ia menggendong Asih dengan gaya bridal carry. Tubuh Asih terasa ringan di lengannya yang kekar."Juragan Ardy, turunkan Asih!" protes Bu Darmi."Maaf, Bu. Ini demi keselamatan Asih. Kita harus cepat ke mantri."Bu Darmi tidak bisa berbuat apa-apa. Keselama

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 25

    Menjelang siang, Bu Darmi memutuskan pergi ke warung untuk membeli sayuran. Ia berharap Asih sudah tidur nyenyak dan demamnya mulai turun.Di warung Pak Bambang, Bu Darmi memilih-milih kangkung yang masih segar. Daunnya hijau mengkilap, batangnya masih renyah. Ia juga mengambil sekotak tempe yang baru datang dari pabrik tahu tempe di ujung desa."Bu Darmi!" seru Bu Wati yang baru datang ke warung. "Kok jarang kelihatan? Biasanya pagi-pagi sudah jualan jamu.""Kaki saya baru sembuh dari terkilir, Bu. Belum bisa jalan jauh," jawab Bu Darmi sambil membawa belanjaan ke konter pembayaran."Oh, iya, kemarin Asih yang datang ke sini ya. Katanya Galih sudah bekerja di kebun karet," Bu Wati mendekat dengan mata berbinar-binar. "Betul ya Galih bekerja di sana?""Iya, kami sangat bersyukur akhirnya Galih mendapat pekerjaan," Bu Darmi menjawab singkat.Tidak lama kemudian, Bu Ima datang dengan langkah tergesa-gesa, seperti biasa penuh dengan energi untuk bergosip."Bu Darmi! Wah, lama tidakk bert

  • Suami Pengganti Untuk Gadis Desa   Bab 24

    Jalanan desa masih gelap gulita. Tidak ada lampu penerangan sama sekali. Hanya cahaya bulan separuh yang sesekali muncul dari balik awan yang menjadi penuntun jalan.Galih menyalakan senter kecil yang selalu dibawanya. Pancaran cahaya putih itu menerangi jalan tanah berbatu di depannya. Suara jangkrik dan katak sawah bersahut-sahutan di kegelapan.Tapi Galih sama sekali tidak merasa takut dengan kegelapan. Yang membuatnya was-was adalah bayangan Rio yang kemarin ia lihat melintasi kebun karet tempatnya bekerja. Apakah Rio masih ada di desa ini?Jika Rio memang diperintah kakaknya untuk mencarinya, berarti keberadaannya di desa ini sudah tidak aman lagi. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.Tapi bagaimana dengan Asih? Bagaimana dengan Bu Darmi? Ia tidak mungkin meninggalkan keluarga barunya begitu saja. Belum lagi Asih sedang mengandung.Galih menggeleng, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Mungkin Rio memang hanya berlibur biasa. Mungkin ia terlalu paranoid.Suara langkah ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status