Tiga hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari bahagia Asih dan Galih. Di kamar kecil yang beralaskan tikar pandan, Asih duduk di depan cermin retak yang dipasang di dinding kayu. Bu Darmi dengan tangan gemetar merias wajah putrinya.
"Tahan ya, Nak," bisik Bu Darmi sambil mengoleskan bedak tipis di wajah Asih. Tangannya yang biasa kasar menangani rimpang-rimpang kini bergerak lembut di wajah putrinya. Asih hanya mengangguk pelan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, bukan karena riasan, melainkan karena kegugupan yang memenuhi dadanya. Ia mengenakan kebaya putih sederhana, warisan mendiang neneknya. Kain batik yang sudah mulai pudar warnanya diselipkan dengan rapi di pinggang. Rambut hitamnya diikat sanggul sederhana, dihiasi dengan bunga melati yang dipetik Bu Darmi dari pohon di halaman. "Cantik sekali putri Ibu," bisik Bu Darmi sambil menyisir anak rambut Asih yang terjuntai di pelipis. Air matanya hampir menetes melihat putrinya yang cantik itu. Sementara itu, di kamar sebelah, Galih berdiri di depan potongan cermin kecil. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang bekas mendiang ayah Asih yang masih bagus. Meskipun sedikit kebesaran di bagian bahu, namun kemeja itu membuatnya tampak rapi dan berwibawa. Galih merapikan rambutnya dengan sisir kayu. Wajahnya tampak tenang, namun di dalam dadanya, ia merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Gugup, takut, namun juga ada kebanggaan tersendiri karena akan menjadi suami sekaligus ayah dari anak Asih. Pukul sepuluh pagi, acara akad nikah dimulai. Imam desa datang dengan membawa kitab suci dan perlengkapan akad. Hanya beberapa tetangga terdekat yang hadir, duduk berjejer di lantai semen ruang tengah rumah Bu Darmi yang sempit. Prosesi akad nikah dimulai dan berjalan dengan lancar. Tidak sampai lima menit, dengan uang mahar sebesar seratus ribu rupiah, Asih sudah resmi menjadi istri Galih. Para tetangga tersenyum bahagia. Asih yang duduk di samping ibunya hanya menunduk dalam-dalam, air matanya menetes membasahi kebayanya. Apakah ini air mata bahagia? Atau air mata penyesalan? Ia sendiri tidak tahu. Setelah akad selesai, para tetangga menyalami pengantin baru. Beberapa orang memuji. "Akhirnya Asih bersuami juga," kata Bu Siti sambil memeluk Asih. "Galih tampan sekali, Asih benar-benar beruntung." "Iya, gagah pula. Asih dapat jodoh yang baik," timpal Bu Tini. Namun, tidak semua komentar menyenangkan. Di pojok ruangan, beberapa tetangga berbisik dengan nada sinis. "Katanya pria itu tidak kerja. Mau-maunya Asih sama pria kayak gitu." "Iya, pekerjaannya tidak jelas. Cuma numpang hidup di rumah Bu Darmi." "Kasihan Bu Darmi, sekarang harus nanggung hidup tiga orang." Bu Darmi yang mendengarnya hanya bisa menghela napas. Ia sibuk melayani tamu dengan sajian yang sangat sederhana, nasi putih, sayur asem, tempe goreng, dan kerupuk. Tidak ada daging atau lauk-pauk mewah. Namun, para tetangga tetap makan dengan lahap, bersyukur mendapat undangan makan gratis. Malam harinya, setelah para tamu pulang dan piring-piring kotor selesai dicuci, Bu Darmi pamit ke kamar belakang, memberikan privasi pada pengantin baru. "Selamat malam, Nak. Semoga kalian bahagia," ucap Bu Darmi sambil mengusap kepala Asih dan menepuk pundak Galih. Tinggallah Asih dan Galih di kamar yang dulunya hanya milik Asih. Suasana mendadak canggung. Asih duduk di tepi kasur dengan kepala tertunduk, tangannya meremas ujung kain kebayanya. Galih berdiri di dekat jendela, membelakangi Asih. "Asih," panggil Galih pelan. Suaranya serak, menahan gugup. "Ya?" jawab Asih tanpa mengangkat kepalanya. Galih berbalik, menatap istrinya yang masih mengenakan kebaya pengantin. "Aku ... aku tidak akan menyentuhmu." Asih mengangkat kepalanya, menatap Galih dengan ekspresi bingung. "Maksudmu?" Galih mengambil napas dalam-dalam. Ia melangkah kemudian duduk di dekat asih. "Aku tidak akan menyentuhmu sampai anakmu lahir. Aku tahu pernikahan ini bukan karena cinta. Aku tidak ingin memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan." Air mata Asih tiba-tiba menetes. Kali ini, air mata lega. Selama ini ia takut dengan malam pertama, takut dengan kewajiban yang harus dijalaninya sebagai istri. Namun, Galih justru memberikan ia ruang untuk bernapas. "Terima kasih, Galih," bisiknya. "Kamu ... kamu sangat baik." Galih tersenyum tipis. Malam itu, mereka tidur di kasur yang sama, saling berhadapan tanpa bersentuhan. Asih memeluk guling, sementara Galih berbaring dengan tangan di bawah kepala, menatap wajah istrinya yang tertidur. Meskipun tidak ada sentuhan fisik, namun ada kehangatan yang aneh di antara mereka. ©©© Keesokan harinya, di tempat lain, mata Ardy membelalak saat mendengar jawaban wanita paruh baya yang tengah memetik kopi di kebunnya. "Apa? Kemarin Asih menikah?" tanyanya dengan suara yang hampir memekik. "Iya, Juragan. Setahu saya pernikahannya memang sangat mendadak," jawab Bu Lastri, pekerja kebun yang sudah lama kenal dengan Asih. "Semua tetangga kaget juga. Soalnya Asih kan selama ini tidak pernah kelihatan pacaran." Ardy merasa dadanya sesak. Jantungnya berdebar kencang. "Siapa ... siapa pria yang menikahi Asih?" Bu Lastri berpikir sejenak sambil terus memetik biji kopi yang sudah merah. "Kalau tidak salah ... namanya Galih. Ya, Galih, Juragan." "Galih?" Ardy mengerutkan dahi. "Apa dia pemuda dari desa sini?" "Saya tidak begitu mengenalnya, Juragan. Tapi dari rumor yang beredar, pria itu tampan tapi tidak mempunyai pekerjaan dan tinggal di rumah Asih. Kata orang-orang, dia datang dari entah mana dan tinggal di rumah Bu Darmi." Ardy mengepalkan tinjunya. Siapa dia? Bagaimana bisa Asih menikah dengan pria lain? Bukankah Asih mengandung anaknya? "Bodoh!" bentaknya pada diri sendiri. Ia meninju batang pohon yang ada di dekatnya dengan keras hingga buku jarinya memerah. "Seharusnya aku tidak membiarkan ini terjadi!"Asih dan Galih langsung menoleh."Eh, Ibu sudah pulang," kata Asih sambil mengusap keringat di dahinya. "Aku sedang menyiapkan makan sore.""Mau ibu bantu?""Sudah selesai, Bu," kata Galih sambil tersenyum. Ia mengambil serokan dan memindahkan ikan yang sudah matang ke dalam piring."Ya sudah, kalau begitu Ibu mau mandi dulu.""Aku juga, Bu," kata Galih. "Tapi Ibu duluan saja, nanti saya belakangan."Bu Darmi mengangguk dan meletakkan bakul di atas lantai semen di pojok ruangan seperti biasa, kemudian melangkah ke luar rumah menuju kamar mandi tradisional yang terletak di belakang rumah.Kamar mandi itu sangat sederhana, terbuat dari dinding bambu dengan atap seng. Di dalamnya hanya ada bak air besar dari semen dan gayung plastik. Tidak ada kloset modern, hanya lubang tradisional yang sudah lazim digunakan di desa-desa terpencil.Setelah semua selesai mandi, mereka berkumpul di ruang tengah yang tidak terlalu luas untuk makan bersama. Tikar pandan tua digelar di lantai, di atasnya ter
Satu minggu berlalu dengan tenang. Pagi itu, Bu Darmi baru saja keluar rumah untuk berjualan jamu seperti biasa. Bakul anyaman bambu sudah tertata rapi di punggungnya, berisi berbagai macam jamu tradisional yang masih hangat.Ketika melewati warung Pak Bambang yang terletak tidak jauh dari rumahnya, Bu Darmi disapa oleh beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk sambil menikmati teh pagi."Pagi, Bu Darmi!" sapa Bu Ima yang sedang menyeruput teh manisnya. "Mau kemana? Tumben pagi-pagi sekali.""Pagi juga, Bu Ima. Seperti biasa, mau jualan jamu," jawab Bu Darmi sambil tersenyum ramah.Bu Wati, yang duduk di sebelah Bu Ima, ikut menyahut. "Wah, rajin sekali ya Bu. Padahal sekarang kan sudah ada menantu, masa masih kerja keras begitu?"Bu Darmi hanya tersenyum tipis. "Ah, biasa saja kok, Bu. Lagipula, hidup kan harus tetap berusaha.""Iya, sih," timpal Bu Ima sambil mengangguk-angguk. "Tapi semoga saja menantu ibu bisa bantu-bantu, ya. Kan kasihan kalau ibu terus yang kerja keras.""Amin,"
Ardy masih terduduk di atas batu besar itu, jemarinya menelusuri permukaan kasar yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka. Matanya menatap kosong ke arah semak-semak tempat mereka pernah berbagi kehangatan, sementara pikirannya berputar-putar seperti pusaran air.Tidak sedikitpun ia memikirkan anak dan istrinya yang ada di Jakarta. Wajah mereka seakan terhapus dari ingatan, digantikan oleh bayangan Asih yang terus menghantui. Rahangnya mengeras ketika mengingat pernikahan Asih dengan pria yang entah siapa."Aku harus menemui Asih," gumamnya, tangannya mengepal erat. "Pokoknya Asih harus mencabut pernikahannya dengan pria itu. Aku tidak rela anakku mempunyai ayah pengganti."Ardy bangkit dengan gerakan tiba-tiba, namun langkahnya terhenti ketika ingatannya kembali pada ancaman Bu Darmi yang mengatakan akan membongkar semuanya pada ayahnya. Dadanya naik turun, nafasnya tersengal-sengal karena pergolakan batin yang hebat.Sejenak ia goyah, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Nam
Sesampainya di rumah, Bu Darmi belum sempat meletakkan bakul jamunya ketika Galih yang baru saja keluar dari kamar, bersiap hendak pergi, langsung menghampiri mereka dengan wajah heran."Loh, mengapa sudah pulang, Bu?" tanya Galih sambil memperhatikan bakul jamu Bu Darmi yang masih penuh. Matanya kemudian beralih pada Asih yang berdiri di samping ibunya dengan wajah pucat dan mata sembab bekas menangis.Bu Darmi melirik Asih sekilas, lalu dengan cepat mencari alasan. "Ah, ini ... katanya Asih mual-mual," ucapnya sambil menurunkan bakul dari punggungnya dengan gerakan sedikit terburu-buru."Mual?" Galih langsung panik, alisnya berkerut dalam. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia segera menghampiri Asih dan dengan lembut menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk dulu, jangan berdiri terus."Dengan gerakan cekatan, Galih mengambil air hangat dari termos dan menuangkannya ke dalam gelas. Ia duduk di samping Asih yang terduduk lemah di atas tikar, kemudian menyodorkan gelas tersebut
Dua hari berlalu, saatnya Bu Darmi kembali ke rutinitas, yaitu berkeliling desa untuk berjualan jamu. Kali ini, ia tidak sendirian. Asih bersikeras ingin menemani."Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja di rumah. Kondisimu kan sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Darmi sambil menyiapkan bakul jamu.Asih menggeleng keras. "Tidak, Bu. Asih tidak betah terus-terusan di rumah. Asih bosan. Lagipula, jalan-jalan sedikit tidak apa-apa untuk ibu hamil muda.""Tapi nanti kamu capek, Nak.""Asih janji tidak akan memaksakan diri. Kalau capek, nanti Asih langsung bilang. Asih rindu sekali berkeliling desa seperti dulu," rayu Asih sambil menggenggam tangan ibunya.Bu Darmi menghela napas. "Baiklah, tapi jangan sampai memaksakan diri."Sebelumnya, keseharian Asih adalah memetik kopi di perkebunan milik keluarga Wijaya. Namun, sudah dua minggu ini Asih tidak pernah kembali ke perkebunan kopi karena tidak ingin bertemu lagi dengan Ardy."Jamu ... jamu ...." Asih dan Bu Darmi berjalan sambil menawarka
Tiga hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari bahagia Asih dan Galih. Di kamar kecil yang beralaskan tikar pandan, Asih duduk di depan cermin retak yang dipasang di dinding kayu. Bu Darmi dengan tangan gemetar merias wajah putrinya."Tahan ya, Nak," bisik Bu Darmi sambil mengoleskan bedak tipis di wajah Asih. Tangannya yang biasa kasar menangani rimpang-rimpang kini bergerak lembut di wajah putrinya. Asih hanya mengangguk pelan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat, bukan karena riasan, melainkan karena kegugupan yang memenuhi dadanya. Ia mengenakan kebaya putih sederhana, warisan mendiang neneknya. Kain batik yang sudah mulai pudar warnanya diselipkan dengan rapi di pinggang. Rambut hitamnya diikat sanggul sederhana, dihiasi dengan bunga melati yang dipetik Bu Darmi dari pohon di halaman."Cantik sekali putri Ibu," bisik Bu Darmi sambil menyisir anak rambut Asih yang terjuntai di pelipis. Air matanya hampir menetes melihat putrinya yang cantik itu.