Pagi itu, Venus terbangun oleh sentuhan dingin di pipinya. Matanya perlahan terbuka, menyambut sinar mentari yang menyelinap lewat celah tirai jendela. Di depan tempat tidurnya, Eric, atau pria yang wajahnya sangat mirip dengan Eric—berdiri dengan handuk melilit pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air. Bau sabun mandi pria yang familiar itu memenuhi udara.
"Sayang, maaf aku bangunin kamu," ujarnya, suaranya lembut seperti melodi yang sudah lama tak terdengar. Venus mengubah posisinya menjadi bersandar di sisi ranjang. Ia menatap wajah yang mirip Eric di hadapannya. “Aku habis mandi. Kamu mau sarapan apa? Aku bikinin, ya?" suaranya terlalu lembut di telinga Venus. Venus mengerutkan kening. Suara itu, senyum itu, terlalu sempurna baginya. Terlalu … sama seperti Eric di masa lalu. "Aku ... nasi goreng aja," jawabnya perlahan, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Pria itu mengangguk antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. Sambil mengenakan pakaiannya, ia menyahut, "Aku tunggu di dapur ya, nanti kita sarapan bareng." Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi, senyumnya melebar. "Inget, sekarang aku adalah Eric, suami kamu." Pintu kamar tertutup dengan lembut, meninggalkan Venus sendirian dengan denyut jantung yang berdegup kencang. Perlahan, ia tersadar dengan ingatannya. Ia sudah mendaftarkan Eric untuk menggantinya dengan lelaki yang mengaku sebagai Ian. Bukan Eric yang baru saja berdiri di sana. Namun, sesuatu mengganjal di benaknya. Jika itu Ian, apa yang sebenarnya terjadi pada Eric, suaminya? Jika yang bersamanya adalah lelaki yang berbeda dengan Eric, mengapa wajah mereka tak bisa dibedakan? Dari balik pintu, terdengar suara siulan riang. Nada yang sama persis seperti yang selalu Eric lantunkan saat mereka masih menjadi pengantin baru. Venus beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Namun, saat ia hendak membuka pintu kamar mandi, ponselnya yang berada di atas meja samping tempat tidur, menyala dengan notifikasi pesan baru dari nomor tak dikenal. “JANGAN MAKAN NASI GORENGNYA ATAU KAMU AKAN MENYEBABKAN HAL YANG MEMBAHAYAKAN BAGI ERIC." Venus mengernyit, “apa maksudnya? Ada orang yang bisa mantau aku dari suatu tempat, ya? Kok tahu kalau aku mau makan nasi goreng?” Tiba-tiba saja sesuatu tak terduga melintas di benak Venus. “Jangan-jangan ….” Venus menggeleng kuat, mencoba mengusir bayangan-bayangan gelap yang menggerayangi pikirannya. Air hangat di bathtub seharusnya menenangkan, tetapi hari itu justru terasa seperti kubangan keraguan. Tangannya menggosok kulit dengan spons berbusa, terlalu keras sampai menimbulkan bekas kemerahan. "Ini bukan simulasi, Venus," bisiknya pada diri sendiri. “Ian kayaknya emang beda orang sama Eric, tapi ..." Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. "Sayang, kamu masih di sini?" tanya lelaki itu. Venus terlalu terkejut hingga spons mandi terlepas dari genggamannya dan jatuh ke air dengan cipratan kecil. Ian berdiri di ambang pintu, hanya mengenakan celana dan kaus pendek, senyumnya terlalu cerah untuk waktu sepagi itu. “Aku belum selesai mandi," kata Venus, menarik lutut ke dadanya. "Kamu tunggu aja di luar aja, Eric.” Venus merasa ragu untuk memanggil Ian dengan nama itu. Namun Ian sudah melangkah masuk, matanya berbinar seperti anak kecil yang diajak bermain. “Gimana kalau aku bantuin?" Sebelum Venus bisa protes, jari-jarinya sudah menurunkan celana pendek dan dengan cepat menanggalkan kaus dari tubuhnya. Satu gerakan cepat, dan kain penutup tubuh itu terlepas. Cahaya dari jendela kamar mandi menyorot tubuh Ian yang terlalu sempurna di mata Venus. Tidak ada bekas luka operasi usus buntu di perut kanan seperti yang dimiliki Eric. Tidak ada tahi lalat mirip bentuk hati di paha kiri yang selalu dicium Venus setiap kali mereka bercinta. Ian melangkah ke bathtub, air meluap ke lantai marmer saat tubuhnya masuk. "Aku janji nggak lama," bisiknya, tangan kanannya sudah meraih spons yang tenggelam. Namun saat dia mengangkatnya, Venus melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Spons itu mengeluarkan cairan merah pekat, seperti darah yang tercampur busa sabun. Venus memekik, “astaga! Kayaknya … aku datang bulan.” Sementara Ian hanya tersenyum polos dan mulai menggosok punggung Venus dengan spons itu. “Tenang aja, Sayang. Aku nggak apa-apa.” Venus mendorong Ian, lalu ke luar dari bathtub dan meraih handuk untuk menutupi tubuhnya segera. “Maaf. Aku … harus cepet pakai pembalut,” kata Venus. Ian tersenyum sambil memiringkan kepalanya. “Sayang banget kamu udah dapet, Sayang. Padahal malam ini aku mau kita ….” Venus refleks menutup bibir Ian dengan tangannya. “Jangan diterusin! Aku malu, Eric! Kamu ….” Lelaki itu meraih tangan Venus, mengecupnya dengan lembut. “Kamu bisa panggil aku dengan nama itu kalau itu bikin kamu nyaman. Karena aku adalah suami pengganti yang lebih baik dari Eric.” Venus meneguk ludah. “Apa kamu tahu, di mana Eric, suamiku yang asli?” ***Sebelum Venus sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ia meminta maaf pada Ian untuk melepaskan tangannya dan beranjak meraih ponselnya. Venus membuka pesan masuk dari Felicia. "Aku butuh bantuanmu. Arjuna menghilang.”Venus terbelalak.“Ada apa, Sayang?” tanya Ian.Venus menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab. “Itu … Felicia bilang, Arjuna menghilang.”Ian mendekat ke arahnya. “Kamu nggak perlu takut. Ceritakan semua sama aku, Sayang. Aku suami kamu,” katanya.Venus mengangguk. “Jadi gimana? Aku harus ketemu Felicia.”Ian menggeleng. “Ada kalanya kita perlu menunggu, Sayang. Aku yakin suami sahabatmu itu baik-baik saja. Seperti yang kita tahu, Arjuna adalah orang sibuk. Bisa saja dia ada urusan bisnis mendadak. Atau sesuatu yang—”“Tunggu!” Venus menepuk lengan Ian. “Kamu kenal sama Arjuna?”Ian mengangguk. “Semuanya ada di catatan.”Venus mu
Cahaya sore mulai menyoroti teras belakang rumah Felicia, menciptakan bayangan panjang di wajah Ian yang duduk tenang di samping Venus. Felicia mengamatinya dengan tatapan penuh selidik, bibirnya menyungging senyum nakal yang terlalu familiar bagi Venus.“Pantesan dia diem aja pas ada aku," ujar Felicia tiba-tiba, suaranya bernada menggoda. "Eric 'kan biasanya heboh, dia pasti nanya, 'semalem kamu berapa ronde sama Arjuna?' kayak gitu."Venus mengatupkan bibir. Setiap kata dari mulut Felicia terasa seperti jarum kecil yang menusuk-nusuk kesabarannya. Namun ia hanya mengangguk, berusaha menahan gejolak di dadanya.Felicia mengetuk-ngetuk jarinya ke dagu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. "Tapi ... Aku masih nggak percaya deh. Jangan-jangan Eric cuma pura-pura buat ngetes kamu? Makanya dia ngaku jadi orang lain. Jadi suami pengganti, pake nama ….” Felicia melirik lelaki berwajah persis Eric itu. “Siapa tadi namany
Venus menatap Ian yang sedang asyik menggosok tangannya dengan spons itu. Spons yang sebelumnya berwarna merah tetapi kini kembali putih bersih karena Ian membersihkannya dengan cepat.“Kamu yakin nggak tahu di mana Eric?” tanya Venus lagi, mencoba menyembunyikan getar di suaranya.Ian mengangkat bahu, senyumnya tetap santai. “Aku nggak tahu. Aku di sini untuk menggantikan Eric. Aku Eric, suamimu sekarang." Jawabannya seperti sebuah rekaman yang sudah diprogram terlalu sempurna. Venus mengangguk pelan, menelan ludah yang terasa pahit. "Kalau begitu, kita harus menemui Felicia.""Oh. Felicia yang itu. Sahabatmu." Ian tiba-tiba berkata, jari-jarinya berhenti menggosok. "Aku nggak masalah, Sayang."Dalam hati, Venus membatin, ‘dia memang manusia. Seperti Eric.' Tapi sesuatu terasa salah. Terlalu salah.’“Aku bakalan ganti baju dulu. Kamu tunggu di luar aja, ya.” Venus mendorong Eric ke luar kamar mandi.Venus ke luar kamar usai memakai pakaian lengkap. Ian sudah menunggunya di meja mak
Pagi itu, Venus terbangun oleh sentuhan dingin di pipinya. Matanya perlahan terbuka, menyambut sinar mentari yang menyelinap lewat celah tirai jendela. Di depan tempat tidurnya, Eric, atau pria yang wajahnya sangat mirip dengan Eric—berdiri dengan handuk melilit pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air. Bau sabun mandi pria yang familiar itu memenuhi udara. "Sayang, maaf aku bangunin kamu," ujarnya, suaranya lembut seperti melodi yang sudah lama tak terdengar. Venus mengubah posisinya menjadi bersandar di sisi ranjang. Ia menatap wajah yang mirip Eric di hadapannya. “Aku habis mandi. Kamu mau sarapan apa? Aku bikinin, ya?" suaranya terlalu lembut di telinga Venus. Venus mengerutkan kening. Suara itu, senyum itu, terlalu sempurna baginya. Terlalu … sama seperti Eric di masa lalu. "Aku ... nasi goreng aja," jawabnya perlahan, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Pria itu mengangguk antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah. Sambil
Ian terjatuh seperti boneka yang talinya terputus. Tubuhnya yang biasanya begitu gagah kini tergeletak kaku di trotoar, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu jalan berwarna kuning keemasan. Venus menjatuhkan diri di sampingnya, tangannya gemetar menekan nomor medis darurat. "Tolong, suami saya pingsan!" teriaknya pada operator, suaranya pecah. Di kejauhan, sirene ambulans mulai terdengar.Ambulans berhenti dengan ban berdecit. Pintu terbuka, dan seorang dokter berjas putih melompat keluar. Wajah yang sama yang memeriksa Venus setelah ia pingsan di garasi. “Dokter?” gumam Venus saat mereka bertatapan.Nama di kalung identitasnya tertulis Dr. Argus Watson.“Kita bertemu lagi, Nyonya Eleanor," katanya sambil berlutut di sebelah Ian.Venus mengangguk. Tangan dokter Argus dengan cepat memeriksa denyut nadi lalu pupil mata Ian."Kondisinya stabil. Tapi saya perlu membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” katanya.Dia mengangkat pandangannya, menatap Venus dengan tatapan t
Tali kimono sutra itu terasa dingin di antara jari-jari Venus saat ia mengikatnya perlahan. Eric atau pria yang mengaku sebagai Ian, terus menatapnya dengan senyum yang terlalu sempurna. Matanya berbinar dengan kehangatan yang tidak pernah ia lihat pada suaminya selama enam bulan terakhir. "Kamu ... Kamu jadi aneh. Kemarin lusa kita sempet bertengkar lho pas aku nyiapin makan malam romantis," Venus mencoba protes, suaranya bergetar. Namun, pria itu hanya tertawa lembut sebelum tiba-tiba meraih tangannya. Bibirnya yang hangat menyentuh buku-buku jari Venus dengan kelembutan yang membuat lututnya melemah."Aku Ian, suami pengganti," bisiknya, napasnya hangat di kulit Venus."Aku bakalan jadi Eric, suami kamu. Tapi, dalam versi yang lebih sempurna."Sebelum Venus sempat bereaksi, dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar. Ian dengan mudah mengangkat tubuhnya dalam gendongan. Satu tangan Ian menopang punggungnya, yang lain di bawah lututnya, seperti mempelajari setiap lekuk tubuh Venus