Share

Bab 3 : Pembalasan Pertama

Acara resepsi pernikahan yang memuakan itu akhirnya selesai. Fiona langsung masuk ke kamar, menghapus make-up, dan mengganti pakaiannya. Ia tidak peduli dengan keributan di luar.

Ia sudah terlalu capek, capek fisik dan batin. Jadi tidak butuh waktu lama, matanya pun terpejam. Ia tertidur.

“Mana wanita jalang itu!” Samar-samar ia mendengar suaranya semakin mendekat dan tubuhnya serasa di guncang dengan keras oleh tangan yang kasar.

“Bisa-bisa nya kau masih tidur di kondisi seperti ini!?” Bentaknya sambil terus mengguncang tubuh Fiona.

“A..ada apa?” Tanya Fiona tergagap karena ia masih belum sadar sepenuhnya.

“Berani-beraninya kau mempermainkan ku !!” Bentaknya lagi.

"Kau sudah gila !?" Bentak Fiona begitu kesadarannya pulih sepenuhnya akibat huru-hara di kamarnya. Ia melihat sekilas jam di dinding. Ini pukul setengah lima pagi.

"Kau sudah gila !?" Bentak Fiona begitu kesadarannya pulih sepenuhnya akibat huru-hara di kamarnya. Ia melihat sekilas jam di dinding. Ini masih pukul dua belas malam.

"Kau yang gila !" Bentak nya lagi, sementara Diana di sebelah Edgar menangis meraung-raung. Sungguh ini membuat Fiona ingin menghajar mereka berdua karena sudah sangat brisik di kamarnya.

"Bagaimana bisa kau menyebarkan video ini" ucapnya sambil melemparkan handphone nya ke sebelah Fiona. Itu adalah video yang berisi dirinya sedang berada di pelaminan seorang diri.

"Itu bukan aku yang menyebarkan. Lagi pula, dimana masalahnya ? Orang itu pasti menyebarkannya karena melihat pengantin pria justru bersenang-senang dengan pelacurnya" ucapnya dengan tubuh bergetar menahan amarah.

"Jangan memanggilnya pelacur !" Bentaknya lagi. Fiona yang kesal lalu melemparkan handphone itu tepat mengenai wajah Diana yang sejak tadi menangis meraung-raung tak jelas menangisi apa.

"Aku tak tahu kau menangisi apa. Tapi aku akan membuatkan alasan untuk mu menangis" ucapnya di tengah teriakan histeris Diana dan Edgar karena darah segar keluar dari hidung Diana.

"Wanita jalang !" Bentak Edgar.

"Kau sedang meneriaki wanita di sebelahmu ?" Tanya Fiona sambil tertawa terbahak-bahak. Rasanya emosi yang sempat membelenggunya beberapa saat lalu sudah meluap pada tempatnya.

"Sial. Awas kau" Edward menggendong Diana yang sepertinya pura-pura pingsan saat ini.

Beberapa pelayan wanita datang menghampiri Fiona dengan wajah kagum terlihat jelas dari ekspresi mereka.

"Nyonya, tindakan Anda tadi sungguh luar biasa!" ucap salah seorang pelayan sambil mengacungkan dua jempol.

Fiona tersenyum tipis. "Kukira kalian akan marah karena aku bertindak seenaknya."

"Tentu tidak, Nyonya!" sahut pelayan yang lain. "Anda berhak melakukannya setelah diperlakukan semena-mena seperti itu."

"Kami sepenuhnya mendukung Anda," imbuh pelayan yang lain.

Fiona mengangguk lega mendengar dukungan para pelayan. Ia merebahkan diri di kasur, bersiap melanjutkan istirahatnya yang tertunda.

"Jujur saja, kami sangat membenci wanita itu. Dia adalah anak dari sopir keluarga Darmawan. Mereka tumbuh bersama. Dan ayahnya ikut meninggal saat kecelakaan maut yang menimpa orang tua pak Edgar" Fiona mengangguk singkat, ini adalah sesuatu hal yang baru pertama kali ia dengar.

"Dan setelah orang tua mereka meninggal, mereka memiliki hubungan yang seperti itu. Bahkan Diana seolah-olah sudah menjadi nyonya rumah ini" ucap yang lainnya sambil membantu menyelimuti Fiona.

"Kami sangat lega setelah tahu nyonya rumah ini bukan Diana. Tapi kami jadi sangat khawatir dengan nyonya barunya. Syukurlah nyonya baru kami orang yang sangat kuat" Fiona terkekeh mendengarnya. Setidaknya dia tidak sendirian disini.

"Terimakasih karena sudah ada di pihakku" ucap Fiona tulus.

Fiona terdiam mendengar ucapan pelayan itu.

"Siapapun akan melakukan hal yang sama seperti kami."

"Tidak semuanya..." gumam Fiona lirih.

Pelayan itu tampak bingung. "Maaf Nyonya, saya tidak dengar..."

Fiona tersenyum tipis. "Tidak apa, aku hanya berterima kasih lagi."

Para pelayan mengangguk. "Kalau begitu selamat beristirahat Nyonya." Mereka mematikan lampu dan menutup pintu perlahan.

Kini sendirian dalam kegelapan, Fiona termenung. Ia tahu tidak semua orang akan berpihak dan membelanya seperti para pelayan itu.

"Sayangnya ibu ku tidak mendapatkan itu. Atau mungkin karena ibu ku tidak seberani aku" ucapnya lirih. Ia teringat di rumahnya di perlakukan seperti orang asing. Bahkan pekerja di rumahnya sangat tidak menghargai Fiona dan ibu nya.

Sampai ibunya menghembuskan nafas terakhirpun mereka masih saja membuatnya menderita. Memberi makanan yang tidak layak bahkan memandikan ibunya yang sakit dengan air es ketika Fiona tidak ada. Itu semua atas perintah salah satu wanita ayahnya. Saat itu ia masih kecil, tapi saat ini ia sudah bisa membalaskan dendam ibu nya.

“Aku akan menghancurkan keluarga Gunawan” ucapnya penuh dendam.

Fiona diam-diam membangun sebuah bisnis raksasa dalam bidang platform belanja online. Ia melakukannya untuk membalaskan dendamnya karena keluarga Gunawan memiliki usaha Departemen Store yang sangat besar.

Ia berpengharapan bahwa semua penjualnya nanti tidak perlu menyewa ruko di departemen store itu dan bisa menjualnya secara online.

Pembelipun akan lebih nyaman belanja secara online. Usaha Fiona ternyata sukses besar, platform belanjanya menjadi yang terdepan di negeri ini.

Bahkan dengan uang sebanyak itu ia mulai menanamkan sahamnya ke banyak perusahaan ternama, termasuk perusahaan ekspedisi milik Edgar.

Selama ini Fiona memilih berada di balik layar, menunjuk Putra Bagaskara yang tak sengaja ditemuinya di masa lalu sebagai pimpinan perusahaan. Ia adalah rekan bisnis yang sangat kompeten dan dipercaya Fiona.

***

***

Sinar matahari pagi masuk melalui celah tirai jendela, menerpa wajah Fiona yang masih terlelap. Kicauan riang burung gereja terdengar dari luar, menandakan hari baru telah tiba.

Fiona menggeliat pelan, silau oleh sinar yang menerpa wajahnya. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatan.

Suara detak jam dinding terdengar , dan ia melihat sekilas jam dinding itu, ternyata sudah pukul tujuh pagi.

Sambil menguap lebar, Fiona meregangkan tubuhnya yang masih kaku. Ia duduk sejenak di tepi ranjang, mengamati dedaunan pohon tebubuya di luar yang bergoyang ditiup angin. Udara pagi terasa begitu segar di paru-parunya.

Fiona melangkah menuju jendela dan menyibak tirai lebar-lebar, membiarkan sinar matahari pagi memenuhi kamar tidurnya. Ia memejamkan mata, menikmati kehangatan sang surya di wajahnya. Hari yang baru telah dimulai.

“Aku sebaiknya sarapan dulu” ia merasakan perutnya sudah meminta untuk di isi, dari kemarin ia belum makan. Mana bisa makan daam situasi yang kacau seperti itu bukan ?

Ia pergi ke untuk mandi kemudian mempersiapkan diri untuk turun mengambil sarapan pagi.

“Apakah aku menjadi jelek karena ini” Fiona mendengar suara manja yang khas terdengar dari arah ruang makan.

“Kamu masih tetap cantik dan menggemaskan. Justru plester di hidung mu membuatmu semakin imut” ini adalah suara bariton milik Edgar. Mendengar nya benar-benar membuat Fiona begidik jijik.

“Kalau begitu aku akan lebih sering membuat hidungnya patah” ucap Fiona santai sambil mengambil piring nya dan mulai menyendokkan nasi ke dalam piringnya.

“Abaikan wanita gila itu sayang. Dia hanya cemburu saja karena suami nya belum menyentuhnya sama sekali dan lebih memilih selingkuhannya yang sangat menggemaskan ini” desis nya sambil mendelik ke arah Fiona yang hanya tersenyum mencela.

“Aku pun tidak peduli dengan hewan-hewan menjijikkan di hadapanku.” Ucapnya sambil terus mengisi piringnya dengan lauk-pauk yang ada.

“Ah ! Bagaiamana bisa aku mengerti bahasa hewan ? Sepertinya aku akan bekerja di kebun binatang saja deh” ucapnya sambil tertawa dan mulai memasukkan suapan demi suapan makanan ke dalam mulutnya.

“Kamu ! Setelah makan kita akan mendiskusikan kontrak pernikahan kita” desisnya.

“Ya, pernikahan kita. Berarti tidak dengan pelacur itu. Karena aku hanya menikah denganmu . Tidak menikah dengannya” Diana tiba-tiba meneteskan air mata secara dramatis di depannya yang membuat Edgar menjadi panik.

“Berhentilah berkata kasar !” Hardik Edgar sembari menenangkan wanita yang kini berada di pelukannya.

“Aku tidak tahu kenapa ia menangis. Apakah sebaiknya aku membuatkan alasan untuk nya menangis ?”

Fiona mengambil gelasnya yang berisi air dan kemudiannya menyiramkan nya ke wajah wanita itu yang membuatnya glagapan karena tak menyangka Fiona menyiramkan air di wajahnya.

Plaakkk !!!

Suara tamparan yang sangat keras terdengar cukup nyaring di ruang makan, diikuti dengan suara dentingan sendok dan garpu yang berjatuhan berkelontangan di lantai.

Edgar mendaratkan tamparan keras itu di pipi Fiona, meninggalkan bekas kemerahan yang menyala di kulit putihnya. Fiona meringis kesakitan, rasa perih itu menjalar di wajahnya.

Kedua tangan Fiona terkepal erat di sisi tubuhnya, buku-buku jarinya memutih seperti menahan luapan emosi yang siap meledak.

-TBC-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status