Share

Bab 9 : Mempermalukan Edgar dan Diana

"Sayang, bolehkah aku ikut ke tempat kerjamu hari ini?" tanya Diana dengan nada manja, sembari meringkuk dalam pelukan Edgar yang matanya masih setengah terpejam.

"Untuk apa?" gumam Edgar, suaranya masih serak oleh kantuk.

"Wanita itu, istrimu, katanya sudah mulai bekerja, bukan? Aku juga ingin merasakan pengalaman bekerja, meski aku sadar kemampuanku terbatas. Setidaknya, izinkan aku melihat seperti apa suasana kantor, bagaimana kesibukan orang-orang di dalamnya," rengek Diana, berusaha membujuk Edgar dengan suaranya yang mendayu-dayu.

Edgar menghela napas, lalu berkata dengan lembut namun tegas, "Sayang, kantor bukanlah tempat untuk bermain-main. Kau mungkin akan merasa bosan dan tidak nyaman di sana. Lagipula, hari ini agendaku sangat padat. Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis yang harus kuhadiri."

Mendengar kata 'rekan bisnis', Diana menegang. Dengan ragu, ia bertanya, "Apakah rekan bisnis yang kau maksud adalah orang yang sangat penting?"

Edgar mengangguk. "Ya, rekan bisnis kita kali ini adalah perusahaan tempat Fiona bekerja," jelasnya tanpa basa-basi.

Mata Diana membelalak, terkejut bukan kepalang. Ia tadinya mengira bahwa Fiona hanya menggertak semalam, namun kini terbukti bahwa ancamannya bukan sekadar omong kosong belaka. Kekhawatiran mulai menggerogoti hati Diana. Bagaimana jika apa yang dikatakan Fiona benar adanya? Bagaimana jika dalam pertemuan bisnis itu, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara Edgar dan Fiona?

Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Diana bertekad dalam hati. Bagaimanapun caranya, ia harus memastikan bahwa Edgar tetap menjadi miliknya seutuhnya. Ia tidak akan membiarkan Fiona merebut kembali apa yang telah menjadi haknya.

Dengan kepala berkecamuk oleh berbagai rencana dan skenario, Diana membenamkan wajahnya di dada Edgar, menyembunyikan keresahannya. Ia tahu, mulai detik ini, pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.

"Kumohon, izinkan aku ikut denganmu. Aku berjanji tidak akan menyusahkanmu. Jika aku merasa bosan, aku akan langsung pulang," rengek Diana, masih bersikeras dengan keinginannya.

Edgar akhirnya mengalah, "Baiklah, terserah kau saja. Tapi, segera bersiap-siaplah jika memang ingin ikut. Pertemuanku dijadwalkan pukul sembilan pagi ini."

Mendengar persetujuan Edgar, Diana bergegas meninggalkan ruangan untuk mempersiapkan diri, takut jika Edgar tiba-tiba berubah pikiran.

Setelah Diana pergi, Edgar menghela napas panjang. Ia tahu, mengajak Diana ke kantor bukanlah ide yang bijaksana. Kehadiran Diana dapat menimbulkan kecanggungan dan mungkin bahkan memicu konflik yang tidak perlu, terutama dengan keberadaan Fiona di sana.

Namun, Edgar juga menyadari bahwa menolak permintaan Diana hanya akan membuatnya semakin curiga dan gelisah. Setidaknya, dengan mengizinkannya ikut, Edgar berharap dapat menenangkan kekhawatiran Diana dan menjaga situasi tetap terkendali.

Sementara itu, Diana sibuk memilih pakaian yang akan dikenakannya. Ia ingin tampil sempurna, tidak hanya untuk Edgar, tetapi juga untuk menunjukkan pada Fiona bahwa dialah yang lebih pantas berada di sisi Edgar. Dalam benaknya, Diana menyusun rencana untuk mengawasi setiap gerak-gerik Fiona dan Edgar selama pertemuan nanti.

Edgar membawa Diana memasuki kantornya yang terletak di lantai teratas gedung pencakar langit. Ruangan itu didominasi oleh dinding kaca yang memberikan pemandangan panorama kota yang menakjubkan. Interiornya dirancang dengan gaya modern minimalis, dengan dominasi warna putih dan aksen kayu yang elegan.

Di tengah ruangan, terdapat meja kerja besar dari kayu mahoni yang dipoles hingga mengkilap. Di belakang meja, terdapat rak buku tinggi yang dipenuhi oleh berbagai literatur bisnis dan majalah ekonomi terkemuka. Sofa kulit berwarna hitam yang terlihat mewah diletakkan di sudut ruangan, menciptakan area duduk yang nyaman untuk tamu atau diskusi santai.

Begitu pintu kantor tertutup, Diana langsung cemberut dan mengungkapkan kekecewaannya. "Kenapa kau memperkenalkanku sebagai tamu? Bukankah aku lebih dari sekadar tamu bagimu?" tanyanya dengan nada merajuk.

Edgar menghela napas, mencoba menenangkan Diana. "Sayang, ini adalah lingkungan kerja. Aku harus menjaga profesionalitasku di sini. Memperkenalkanmu sebagai tamu adalah cara yang paling tepat untuk menghindari gosip dan spekulasi yang tidak perlu."

Diana melipat tangannya di dada, masih belum puas dengan penjelasan Edgar. "Tapi, bukankah kau seharusnya bangga memiliki aku di sisimu? Kenapa harus menyembunyikan hubungan kita?"

Edgar berjalan menghampiri Diana dan memeluknya lembut. "Dengar, aku sangat menghargai kehadiranmu di sini. Tapi, kita harus bersikap bijaksana. Kantor bukanlah tempat yang tepat untuk mengumumkan hubungan pribadi kita. Ada saatnya dan tempatnya untuk setiap hal."

Diana menyandarkan kepalanya di dada Edgar, mencoba memahami situasinya. Ia tahu Edgar benar, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman menggerogoti hatinya. "Aku mengerti. Tapi, tetap saja rasanya tidak menyenangkan menjadi 'tamu' di tempat kerjamu sendiri."

Edgar mengusap punggung Diana dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Aku tahu, sayang. Tapi, ini hanya sementara. Nanti, setelah semuanya selesai, aku janji akan memberikan penjelasan yang lebih baik kepada semua orang. Yang terpenting sekarang adalah, kita harus fokus pada tujuan kita dan menjaga hubungan kita tetap kuat."

Diana mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu, ini hanyalah salah satu dari sekian banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Tapi, demi cintanya kepada Edgar, Diana bertekad untuk bertahan dan menghadapi apapun yang akan terjadi.

Diana melirik jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit lagi, jarum pendek akan menunjuk ke angka sembilan. Sebuah ide yang terdengar menggiurkan tiba-tiba terlintas di benaknya.

Dengan langkah sensual, Diana menghampiri Edgar yang tengah sibuk memeriksa dokumen di meja kerjanya. Ia membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telinga Edgar, dan berbisik dengan nada seduktif, "Sayang, aku penasaran... Bagaimana rasanya jika kita 'bermain' di sini, hm?"

Edgar tersentak, matanya melebar mendengar proposisi Diana yang tak terduga. Ia sangat memahami makna tersembunyi di balik kata 'bermain' yang dilontarkan Diana.

"Tapi, ini ruang kerjaku, Diana. Kita tidak bisa..." Edgar mencoba membantah, namun kata-katanya terhenti ketika jemari Diana menelusuri rahangnya dengan gerakan menggoda.

"Biar aku yang mengurus semuanya. Aku akan mengunci pintunya," ucap Diana sembari berjalan ke arah pintu. Namun, alih-alih menguncinya, Diana justru memastikan bahwa pintu itu tidak terkunci sama sekali.

Dalam benaknya, Diana membayangkan ekspresi terkejut dan terhina di wajah Fiona jika ia memergoki suaminya sedang bercinta dengan kekasihnya tepat di kantor. Membayangkannya saja sudah membuat Diana merasa puas dan bersemangat.

Dengan langkah yang sengaja dilambatkan, Diana kembali menghampiri Edgar. Ia melingkarkan lengannya di leher pria itu, tubuhnya menempel rapat tanpa jarak. "Kita lakukan saja dengan cepat, sayang. Aku hanya ingin merasakan sensasi mendebarkan bercinta denganmu di kantor, sekali ini saja," bujuknya dengan suara yang sengaja dibuat serak oleh gairah.

Diana mulai menciumi leher Edgar, tangannya perlahan membuka kancing kemeja pria itu satu per satu. Edgar, yang sudah terbawa suasana, mengerang pelan. Tangannya merengkuh pinggang Diana, menariknya semakin dekat.

Di sela-sela cumbuannya, Edgar berbisik, "Inilah mengapa aku sangat mencintaimu, Diana. Fiona terlalu angkuh dengan harga dirinya yang tinggi. Ia tidak akan pernah bisa memuaskanku dengan fantasi liar seperti yang kau tawarkan."

Diana tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, ini adalah saat yang tepat untuk membuktikan pada Fiona bahwa dirinyalah yang lebih unggul, bahwa ia mampu memberikan kepuasan yang tidak akan pernah bisa diberikan oleh sang istri.

Dengan gerakan cepat dan tak sabaran, mereka berdua menanggalkan pakaian masing-masing. Desahan dan erangan memenuhi ruang kerja Edgar, bercampur dengan suara gesekan kulit dan derit meja yang bergoyang.

Di luar sana, jarum jam bergerak perlahan menuju angka sembilan. Dalam hati, Diana berharap Fiona akan segera muncul, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa intim dan liarnya hubungan antara dirinya dengan Edgar.

Ini adalah pembalasan yang sempurna, pikir Diana. Sebuah bukti nyata bahwa cinta Edgar hanya untuknya, dan tidak ada seorang pun, bahkan Fiona sekalipun, yang dapat menggantikan posisinya di hati dan ranjang Edgar.

Pintu ruang kerja Edgar tiba-tiba terbuka, mengejutkan Diana dan Edgar yang masih terengah-engah dalam pusaran gairah. Namun, alih-alih sosok Fiona yang muncul sendirian seperti yang diharapkan Diana, mereka justru disambut oleh sekelompok orang yang terdiri dari beberapa petinggi perusahaan.

-TBC-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status