Darren melepaskan pelukannya terhadap Ellen. Dia sangat terkejut dengan ucapan Ellen. Bagaikan terbang tinggi lalu terjatuh seketika. Dia salah sangka dengan ucapan Ellen. Tak hanya dirinya. Semua orang juga ikut terkejut dengan keputusan yang Ellen ambil.
"Ellen, kau sudah gila! Bagaimana mungkin kau menikahi Dimitri?" tanya Eric. "Keputusanmu terlalu gegabah dan emosional. Pikirkanlah sekali lagi."
"Keputusanku sudah bulat, Ayah." Ellen tersenyum paksa. "Bukankah harus aku yang menikahi Pyordova?"
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Ellen, maka kita semua harus menghargainya." David menghela nafas.
Darren tak tingggal diam. Dia berjalan ke arah David dan mencoba meyakinkannya. "Kakek, Erica pasti menjebakku. Aku bahkan tidak pernah tidur dengannya," ujarnya. "Ellen adalah tunanganku, kekasihku. Bagaimana mungkin dia menikah dengan monster gila itu? Dimitri samgat mengerikan, bagaimana nasib Ellen jika mebikah dengannya?"
"Semua keputusan ada di tangan Ellen. Apapun itu seharusnya kau juga menghargainya," kata David.
"Tidak. Aku hanya mencintai Ellen. Kami akan segera menikah dan hidup bahagia," kata Darren menggenggam kedua telapak tangan Ellen. "Jangan menikah dengan Dimitri. Dia bukan orang yang baik. Percayalah padaku. Kau tidak akan bahagia. Dia bukan pria baik-baik. Dimitri adalah seburuk-buruknya pria di keluarga kami. Bahkan sepertinya dia yang terburuk dari semua pria. Jadi kumohon jangan kembali ke sana."
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Ellen lirih lalu menyentakkan kedua telapak tangannya. "Apakah aku akan bahagia jika bersamamu? Kau bahkan memilih untuk tidur dengan Erica dan mengkhianatiku."
"Erica menjebakku!" bentak Darren. "Kenapa kalian masih tidak percaya padaku?"
"Ini semua memang ulahmu, Darren!" bentak Erica kesal.
"Diam kau, Erica!" bentak Darren sambil menunjuk wajah Erica. "Kau pasti melakukan hal gila yang tidak pernah terpikirkan oleh orang normal lainnya. Kau pasti menyuntikkan spermaku ke dalam rahimmu."
“Tutup mulutmu, Darren!" bentak David muak. "Kalau bukan karena kau meniduri Erica, apa semua akan jadi seperti ini? Kalau ingin menyalahkan seseorang, salahkan saja otakmu yang menghilang saat memutuskan untuk meniduri Erica!"
"Kakek," panggil Darren.
"Tinggalkan Ellen dan beri waktu untuk dia merapikan riasannya," kata David tak peduli dengan Darren. Dengan amarah yang nyaris meluap, David pergi dengan meninggalkan mereka di ikuti dengan yang lainnya. Kecuali Darren yang masih tak menyerah.
"Maafkan aku, Sayang. Sungguh aku tidak berkhianat. Dia menjebakku," ujar Darren menggenggam kedua telapak tangan Ellen.
Ellen menyentakkan kedua telapa tangannya. "Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," celetuk Ellen datar.
"Dimitri adalah pria gila. Dia sangat mengerikan.Dia bahkan tega membunuh tunangannya sendiri," kata Darren. "Dia hanyalah anak dari wanita tidak bermoral yang merebut kakek dari nenekku."
Ellen terdiam. Ada sedikit keraguan namun dia harus tetap pada pendiriannya. Ini menyangkut reputasi keluarga. Juga janji di masa lalu. Jika memang ini adalah takdirnya maka dia harus menerimanya.
Tapi Darren tak menyerah sampai disana. Pria itu terus membujuk Ellen untuk tetap menikah dengannya. Dia bahkan bersimpuh dan memohon. Namun Ellen tetap teguh pada pendiriannya.
"Hentikan semua ini, Darren!" bentak Ellen frustasi. "Aku sudah muak mendengarnya. Jika kau memang benar-benar mencintaiku maka seharusnya kau jaga komitmen kita. Seharusnya kau tidak meniduri kakakku. Bahkan jika kau ingin menghancurkan komitmen kita seharusnya gunakan orang lainbdan bukan diriku!"
Wanita itu pergi meninggalkan Darren sendirian. Dia harus bersiap untuk pernikahannya. David ingin hari ini tetap menjadi hari pernikahan Ellen.
Ellen membuka pintu dan mendapati Erica berdiri di depan pintu. Rupanya dia tengah mendengarkan pembicaraannya dengan Darren.
"Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kakek ingin kau segera bersiap," kata Erica tergagap. "Kakek Jeremy maksudku."
Ellen tak peduli dan segera pergi dari tempat itu. Dia sudah merasa muak dengan sang kakak. Wanita yang pernah sangat ia hormati itu telah dengan tega merebut kekasihnya. Sementara di dalam sana, Darren tak henti-hentinya mengganggunya.
Erica mengepalkan tangannya kesal. Saat ini mungkin Ellen bisa berjalan dengan kepala terangkat. 'Mulai sekarang, akan aku rebut semuanya darimu. Dimulai dari pernikahanmu yang batal dan berganti pasangan dengan Dimitri yang akan menjadi nerakamu,' batin Erica.
Dua jam kemudian.
Ellen sudah tampil cantik dengan gaun pernikahannya setelah tadi berantakan usai kekacauan yang mengejutkan banyak orang. Wanita itu berhasil di rias lagi.
"Ellen, pikirkan lagi. Bukankah lebih baik kau menikahi Darren? Dimitri bahkan tak mendapatkan sepeserpun dari ayahnya. Dia juga sudah sangat tua. Selisih usia kalian saja 10 tahun. Jadi pikirkanlah sekali lagi," bujuk Eric.
Ellen tak peduli. Dia diam saja sambil merapikan riasannya dengan di bantu cermin kecil di tangannya. Sampai seseorang dari pihak WO datang dan mengatakan bahwa semua sudah siap.
"Tunggu sebentar," ujar Eric menghentikan wanita dari pihak WO. Pria itu menatap putrinya lekat-lekat. "Tidak ada yang lebih pantas menjadi suamimu selain Darren. Tidak juga Dimitri. Dia pria payah di keluarga itu. Bahkan Dimitri tidak di akui keluarga besar Pyordova. Dia dianggap aib oleh mereka. Pria itu terkenal kasar dan kejam. Bagaimana nasibmu nanti jika kau tetap menikah dengannya?"
Ellen terdiam sejenak. Diantara Darren dan Dimitri memang jauh lebih baik Darren. Namun hal itu sebelum pekhianatan terjadi. Sekarang semuanya sBagaikan keluar dari kandang singa lalu masuk ke kandang macan.
"Ayah, aku melakukannya demi keluarga kita. Demi Byorka," ujar Ellen lirih. "Jadi kumohon, hargailah keputusanku."
Eric tak bisa mengubah keputusan Ellen. Dia menyerah meski sejujurnya tetap tidak rela. Menjadi istri Dimitri maka hanya akan merugikan banyak hal. Pria itu tak punya apapun dan hanya memiliki satu mata pencaharian."
"Apakah calon suamiku sudah siap?" tanya Ellen pada wanita berpenampilan rapi itu.
Wanita itu tampak kebingungan. Calon suami yang dimaksud bahkan ada 2. Yang mana? Darren yang saat ini sedang meratap atau kah pria yang baru saja datang?
"Dimitri Pyordova. Dia yang baru saja datang," ujar Ellen.
"Oh, sudah. Tuan Dimitri sudah siap. Mungkin sudah berada di altar," ujar wanita itu.
Ellen pun berdiri dengan dibantu Eric. Keduanya keluar dari ruang rias. Berjalan beriringan menuju ruangan besar, altar pernikahan. Pintu besar di buka, Ellen berjalan dengan veil menutupi wajahnya yang tertunduk lesu. Wanita malang itu bahkan bisa merasakan tatapan iba para tamu yang melihatnya.
'Entah semengerikan apa dia sampai-sampai semua orang menatapku dengan tatapan iba,' batin Ellen merasa sedikit takut dan waspada.
Ellen berhenti dan mengangkat wajahnya. Seutas tangan terulur ke arahnya. Wanita itu menatap dari balik veil. Pria yang sangat tampan, pikirnya. Bahkan jantungnya secara tiba-tiba berdetak dengan cepat seperti sedang lari maraton. Tatapannya tak lepas dari pria itu.
***
Momen dramatis terjadi ketika Ellen pertama kali bertemu dengan Arthur Byorka. Dia adalah ayah kandung Ellen. Keduanya larut dalam haru dan rasa bahagia. Mereka bahkan tak henti-hentinya saling menatap satu sama lain. "Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa aku memiliki seorang putri," ujar Arthur ketika sedang berjalan beriringan dengan Ellen di sekitar kebun bunga mawar milik Dimitri."Aku juga tak pernah mengira bahwa aku bukanlah putri dari istri kedua melainkan anak orang lain yang dengan sengaja Eric perdaya untuk kepentingan pribadi," kata Ellen sambil mengusapi perutnya. Senyumnya merekah di tengah hangatnya sinar mentari pagi."Kau sangat di nantikan. Andai aku tahu bahwa Celine, ibumu tengah mengandung, sudah pasti aku akan menikahinya segera. Dan kita akan menjadi sebuah keluarga harmonis. Kau tak perlu berkecil hati atau semacamnya," kata Arthur dengan raut wajah penuh penyesalan. "Sudahlah, Ayah. Semua sudah berakhir. Kita hanya harus bahagia saja," kata Ellen tersenyum
"Aku tidak peduli dengan harta Byorka. Yang ku inginkan hanyalah dia," celetuk Eric menatap tajam ke arah Arthur dengan suara bergetar dan degub jantung tak terkendali.Arthur tak pernah menyangka sang kakak akan dengan mudahnya mengatakan itu semua. Dia menginginkan wanitanya. Itu sungguh diluar nalar. Bagaimana mungkin seorang Eric yang menyayanginya sanggup melakukan itu?"Cinta telah membutakan segalanya. Aku sadar akan hal itu. Tapi perasaanku padanya tak pernah semu. Itu nyata," tambah Eric tertunduk sedih mengingat wanita yang mereka bicarakan bahkan sudah tiada."Bagaimana dengan istrimu, Ella? Bukankah kau sangat mencintainya?" tanya Arthur bingung. "Aku tidak lagi mencintainya ketika aku mulai melihat Celine. Bagiku dia adalah segalanya dan Ella bukanlah siapa-siapa. Meski sampai sekarang aku masih bersamanya. Kami hanya menjalani kehidupan sebagai partner saja," ujar Eric santai. Pria itu seolah telah berdamai dengan dosanya. "Kau sudah gila!" bentak Arthur marah."Cinta
Ellen menatap wajah Dimitri dalam. Pria di hadapannya terlihat sangat serius dengan ucapannya. "Jangan menatapku seolah surat kaleng itu benar adanya," kata Dimitri frustrasi. "Kau membuatku berpikir bahwa kau memang akan menyekapku dan bayi ini," kata Ellen kesal."Apakah sekarang kita harus berdebat lagi mengenai surat sialan itu?" tanya Dimitri mulai naik pitam. "Kau memang orang yang sangat mungkin melakukan hal itu. Terlebih kau itu pria obsesif yang entah bagaimana memiliki kepribadian ganda," omel Ellen membuang muka. "Apa kau bilang? Berkepribadian ganda?" tanya Dimitri tak habis pikir. Dia tak pernah mendapat julukan itu dari siapa pun sebelumnya. "Sebaiknya kau periksakan dirimu dulu. Mungkin saja kau memiliko kepribadian lain selain sebagai pria lemah lembut lalu pria obsesif dan entah apa lagi," kata Ellen dengan nada kesal. "Ellen, cukup! Kau mengatakannya dengan sadar bukan? Kau tahu aku ini orang seperti apa. Aku hanya bertingkah lembut padamu," kata Dimitri."Kau
"Marc! Mana ayam panggangku!""Marc! Bawa kemari semua mainanku!""Marc! Kau bisa cepat datang kemari atau tidak!""Marc!""Marc!""Mana pesawat terbangku!"Pagi ini rumah serasa sangat ramai oleh ocehan Dimitri yang seperti anak kecil memanggil Marc. Ellen hanya bisa diam dengan makanannya yang ia nikmati sebisa mungkin. "Mar, kau bisa pergi."Perintah itu keluar dari bibir seorang Ellen yang dengan anggun menatap Marc iba. Dia tahu saat ini Marc sangat tertekan karena ulah Dimitri. "Tapi ..."Seolah takut dengan langkahnya Marc mencoba menolak. Namun tatapan mata Ellen tak bisa di pungkiri. Wanita itu terlihat bahkan lebih menakutkan daripada sang tuan. Marc pun membungkukkan badan dan pergi. Sementara itu Dimitri berlarian kecil ke arah Ellen dan menatapnya mengiba. "Kenapa kau biarkan dia pergi?" tanya Dimitri. "Itu karena kau sangat berisik!" bentak Ellen."Ellen, sungguh aku tak pernah mengira kau akan membentakku seperti itu," kata Dimitri menangis. Ellen menghela napas pa
Ellen mulai menerima Dimitri kembali. Wanita itu bahkan membiatkan pria itu tidur di sampingnya sambil terus memeluknya. Dia tersenyum sesaat. Namun kemudian Ellen terkejut ketika Dimitri tiba-tiba terbangun dan berlari kekamar kecil. Dengan panik Ellen mengikutinya. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya Ellen cemas. "Aku baik-baik saja," jawab Dimitri lalu segera membuka pintu. Wanita itu menatapnya cemas. Jelas pria di hadapannya itu muntah di washtafel. Entah apa yang terjadi. "Kau tidak perlu khawatirkan aku. Sungguh aku baik-baik saja," kata Dimitri tersenyum dengan napas tersengal-sengal. "Tapi kau terlihat pucat dan tadi kau muntah," kata Ellen. "Sungguh aku menginginkannya," kata Dimitri tersenyum lembut. "Apa maksudmu?" tanya Ellen bingung."Ketika kau menyangkal kehamilanmu, aku tahu itu sebuah penyangkalan. Kau berbohong padaku," kata Dimitri."Itu. Maafkan aku. Tapi bagaimana kau yakin dengan itu?" tanya Ellen. "Aku menderita sindrom couvade," jawab Dimitri.Ellen ber
Giana membawa Ellen ke sebuah ruangan. Di sana sudah ada beberapa meja dan beberapa alat jahit serta keperluan para desainer baju pada umumnya. Wanita itu merasa bosan dan memulai dari sana. Ellen mendesain baju bahkan menjahitnya sendiri di kala senggang. "Giana, apakah ini perintah dari Dimitri?" tanya Ellen. "Sungguh dia berusaha membuatku tetap tinggal dengan nyaman di tempat ini.""Tuan sangat memperhatikan Nyonya. Dia memilih sendiri semua yang ada di tempat ini," ujar Giana. Ellen tersenyum. "Pria tua itu berusaha membuatku luluh," gumam Ellen. "Sangat menyebalkan.""Apakah tak ada sedikit saja celah untuk memaafkan tuan?" tanya Giana. "Yang aku mau hanya kembali ke Paris. Hanya dengan begitu aku bisa memaafkannya," kata Ellen menatap Giana serius. "Tuan ingin Nyonya berada di tempat yang aman. Sampai semua yang membahayakan Nyonya tiada," kata Giana.Deg!Tidak. Apa maksud Giana? Mungkinkah Dimitri berniat menghabisi seseorang?"Tolong jangan salah paham. Tuan Dimitri menc