Hellena Byorka akhirnya menikah dengan Dimitri Pyordova. Pria berusia 30 tahun yang terkenal kejam dengan masa lalu mengerikan. Pria itu membunuh tunangannya sendiri di hari pernikahan mereka. Bahkan sebelum janji pernikahan di ucapkan.
Kini pria itu telah resmi menjadi suami Ellen usai janji sumpah setia mereka ucapkan. Wanita itu pun tengah bersiap untuk foto keluarga. Bersama pria yang sudah menjadi suami tentunya.
"Selamat atas pernikahanmu dengan pembunuh berdarah dingin," bisik Erica yang berdiri tepat di samping Ellen.
Wanita dengan gaun pengantin itu bmenoleh ke arahnya. "Apakah menurutmu ini menyenangkan?" tanya Ellen berbisik dengan tatapan tajam.
"Tentu. Aku akan segera menikah dengan pria idamanku setelah kau menikahi pria kejam itu," jawab Erica tersenyum. "Suamimu itu, ku dengar dia juga gila. Selalu meminum obat anti depresan. Aku benar-benar merasa kasihan padamu."
Ellen tak bisa membalas perkataan Erica. Saat ini bahkan dia merasa takut. Tubuh Dimitri terlihat besar dan kekar. Tak terbayangkan ketika pria itu menyiksanya kelak hingga mati. Sama seperti pada tunangannya dahulu.
Usai sesi foto usai, Ellen masih memikirkan ucapan Erica. Bahkan itu sama seperti ucapan Darren tentang pamannya. Wanita malang itu berjalan perlahan ke arah ruang rias mempelai wanita untuk berganti baju. Karena setelah ini akan ada acara pesta dengan tema pesta kebun.
Seseorang berjalan di sampingnya dan membantunya membawa ekor gaun yang lumayan panjang serta sedikit berat. Dia Ella, ibu Erica. Wanita yang telah merawatnya setelah membawanya dari ibu yang telat tiada.
"Jangan terlalu membenci kakakmu. Dia juga korban di sini," ujar Ella lembut.
Ellen terkekeh. "Korban yang menikmati kejahatan," celetuk Ellen.
"Kau adalah anak haram suamiku. Dimitri juga anak haram Tuan David Pyordova. Bukankah kalian sangat serasi?" ucapnya lembut.
Ellen berhenti lalu menatap wajah Ella. Tawa kecil tak dapat ia tahan lagi. "Terima kasih, Bibi. Sepertinya kami memang sangat serasi," ujar Ellen.
"Jaga cara bicaramu, Sayang. Aku ini ibumu," kata Ella dengan nada lembut nan elegan. Senyuman manis merekah di bibirnya yang merah menyala itu. "Ibu bantu untuk berganti baju."
Ellen menepis tangan Ella dan berjalan cepat menuju ruang ganti mempelai wanita. "Kau di luar saja," katanya ketus.
Di ruang ganti mempelai wanita, sudah ada beberapa wanita yang bersiap membantunya membuka gaun lalu menggantinya dengan gaun yang lebih ringan. Tak butuh waktu lama untuknya berganti gaun karena banyak wanita dari pihak WO yang khusus untuk membantunya.
Ellen membuka pintu dan mendapati Erica berdiri di depan pintu dengan senyuman merekah di bibir sensual nya. Khas model kelas dunia. Tapi Ellen bahkan tak peduli lagi. Dulu, Erica merupakan wanita yang sangat ia idolakan. Juga sangat ia sayangi.
Tapi sekarang sudah tidak lagi. Perasaannya berubah menjadi kebencian dalam sekejap. Senyuman bahagia ketika melihat sang kakak pun telah sirna. Yang ada hanyalah tatapan kebencian.
"Apakah kau menyesal karena bukan suamimu yang menjemputmu melainkan aku?" tanya Erica.
Ellen tak mengatakan apapun. Dia hanya melirik penuh kebencian. Wanita itu berjalan melewati Erica tanpa bicara. Sementara Erica tanpa malu menggandeng tangan Ellen. Tak peduli wanita itu menolaknya.
"Aku sarankan padamu. Sebaiknya kau menuruti apapun yang paman itu ucapkan," kata Erica. "Dia sangat mengerikan."
Ellen tak peduli dan berjalan begitu saja melewati Erica. Sejujurnya bahkan saat ini dia muak dengan wanita itu. Setelah apa yang ia perbuat, semua menjadi hancur termasuk rasa hormatnya terhadap sang kakak.
Beberapa langkah kemudian, seseorang berjalan mendektinya. Dimitri dengan setelan jas utih dengan warna yang sama dengan dress Ellen. Keduanya saling menatap satu sama lain. Lalu dengan lembut Dimitri mengambil tangan Ellen untuk ia kaitkan dengan tangannya dan keduanya berjalan bersama menuju tempat pesta.
"Bisakah aku bertanya satu hal padamu?" tanya Ellen ragu. Jelas terlihat canggung di antara keduanya. Mereka tak saling mengenal sebelumnya.
"Tentu," jawab Dimitri singkat.
"Kenapa kau bersedia menikahiku?" tanya Ellen perlahan.
"Karena ayahku," jawab Dimitri singkat.
"Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Bagaimana bisa ayahmu menjadi alasan?" tanya Ellen lagi.
"Perjanjian perjodohan juga sama sakralnya," jawab Dimitri.
Benar. Perjanjian perjodohan itu nyata adanya. Yang kemudian membuatEllen harus rela menjadi istri dari seorang Dimitri yang memiliki banyak sisi gelap. Berbeda dengan Darren yang cemerlang.
Pria ini tak banyak bicara, batin Ellen. Sesekali dia melirik ke arah pria tampan yang menjadi suaminya itu. Pria yang ternyata juga anak haram yang tidak berarti di keluarganya. Kini keduanya telah sampai di tempat acara. Pesta pernikahan dengan tema pesta kebun.
Pesta pernikahan yang terlihat simpel namun di dalamnya, semua terlihat mewah. Hiasan serba putih, bunga dominan putih, juga makanan yang di siapkan langsung oleh seorang chef kelas dunia.
"Selamat atas pernikahanmu, Paman. Kau pasti tak pernah mengira akan menjalani pernikahan yang semewah ini bukan?" Darren tersenyum menjabat tangan Dimitri.
"Tentu saja. Ini sangat mewah untukku. Tapi aku juga harus sangat berterima kasih padamu," ujar Dimitri tersenyum ramah. "Akibat dari kesalahanmu, aku bisa menikmati ini semua. Pesta dengan banyak makanan enak dan terlihat sangat mewah."
"Apa maksudmu?" tanya Darren kesal. "Dasar pria gila!"
Darren pergi dengan amarah yang meluap. Sementara Ellen melirik ke arah Dimitri dan tersenyum. Rupanya pria itu masih sanggup melawan penindasan atas dirinya. Dimitri tertawa kecil ke arah Ellen.
"Nikmati saja pestanya. Ini semua untuk kita berdua. Jadi kau tak perlu sungkan," ujar Dimitri tersenyum. Dia kemudian berpamitan untuk pergi menghampiri tamu yang adalah kenalannya.
Sementara itu Ellen berjalan ke arah dessert untuk menikmati kue cantik nan mungil di sana. Namun seseorang menghentikan langkahnya. Dia adalah Eric, ayahnya.
"Kau harus menyusun rencana untuk pembatalan pernikahanmu dengan Dimitri," ucapnya.
"Sudahlah, Ayah. Aku sudah sangat lelah dengan drama ini," kata Ellen.
"Batalkan sebelum kau kembali ke rumah dalam keadaan tak bernyawa," kata Eric penuh penekanan.
Tidak. Jika memang benar rumor yang beredar, maka hari ini mungkin akan menjadi hari dimana Ellen masih bisa leluasa menghirup udara segar. Wanita itu terlihat panik sekarang. Hal itu membuat Eric sedikit lega. Akhirnya anaknya tahu apa yang ia maksud.
"Bukankah lebih baik aku mati di tangan suami ku sendiri daripada menjalani pernikahan penuh pengkhianatan?" tanya Ellen tersenyum.
Eric terkejut mendengar ucapan Ellen. Bagaimana bisa dengan entengnya Ellen mengatakan hal itu? Hal mengerikan yang bahkan tak mampu Eric bayangkan. Namun Ellen seperti sudah tidak takut lagi akan hal buruk yang akan menimpanya di kemudian hari.
"Ayah, memaafkan sebuah pengkhianatan itu tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Itu akan terus berlanjut hingga menjadi akhir yang sangat buruk. Seperti dirimu," ucap Ellen dengan kedua mata sudah mulai berair. "Aku tidak ingin ini semua terulang lagi."
***
Ellen tertawa lepas mendengar cerita Erica. Wanita itu kehilangan bayinya. Dimitri bertanggung jawab atas itu. "Bukankah seharusnya kau senang karena sekarang anak yang bukan milik Darren telah lenyap?" tanya Ellen. "Kebusukanmu tidak akan ketahuan.""Wanita yang tidak bisa memiliki anak akan berkata seperti itu," kata Erica dengan nada menghina. "Aku termasuk wanita yang tak peduli apakah bisa memiliki anak atau tidak. Bagiku itu hal kecil dalam pernikahan. Karena aku tidak mengincar posisi Nyonya Pewaris," kata Elken."Dasar kurang ajar!" bentak Erica lalu menampar Ellen. Wanita yang sudah memiliki banyak luka dan justru tertawa lepas menghina Erica."Kau juga sudah tahu siapa Dimitri sebenarnya. Kau pasti sangat terkejut," kata Ellen dengan sisa tenaga yang ada. "Bagaimana bisa kau menikahi lelaki hebat seperti Seravin?" tanyanya pelan. "Ketika kau bahkan adalah Ellen yang sangat biasa saja.""Dimitri mengetahui identitasku sejak awal. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana dan se
Erica mengguyur wajah Ellen dengan air es. Lalu menghujaninya dengan es batu. Wanita malang itu membuka mata dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di tatapnya wajah Erica yang tertawa lepas. "Lihatlah dirimu sekarang, Nona Madelaine. Apakah kau masih sanggup bertahan?" tanya Erica terkekeh."Kau hanya ingin melihatku menangis, bukan?" tanya Ellen. "Tapi, maafkan aku. Sepertinya akan sangat sulit. Karena hidupku penuh warna. Sangat membahagiakan.""Dengan pria yang bahkan tak bisa memberikan keturunan. Lalu dengan perasaan dengki berusaha mencelakaiku dan membunuh anakku," kata Erica penuh amarah. "Akibat dari ulahnya aku kehilangan anakku. Juga nyaris tak bisa memiliki anak lagi."Ellen tertawa lepas dengan sisa tenaga yang ada. "Rupanya hidupmu benar-benar hancur berantakan. Sesuai keinginanku. Syukurlah kalau begitu. Aku bisa bernapas lega sekarang," ujar Ellen."Aku sudah muak denganmu. Kini saatnya kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan," ucap Erica.Wanita itu kemudian kembal
Chatrine sampai di sebuah perbukitan. Malam sudah larut, si penculik Ellen membawanya sampai ke tempat ini. Dengan segera ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah sebuah gedung terbengkalai. Sudah ada Dimitri di sana. Pria itu terlihat sangat panik. Rupanya dia datang dengan menggunakan helikopter. Pria itu memiliki lisensi untuk menerbangkan helikopter dan pesawat terbang. "Ibu, Ellen tidak ada di dalam sana. Aku hanya menemukan ini," ujar Dimitri panik sambil memberikan satu anting pada Chatrine. "Anting itu pemberian Ibu untuk istrimu," kata Chatrine. "Sebaiknya kita cari tempat lain. Semua GPS berlari ke arah yang berbeda. Salah satu nya pasti yang membawa Ellen pergi."Dimitri mengangguk panik. Dia segera masuk ke mobil ibunya. Lalu ia mengemudikan mobil itu sesuai arahan sang ibu. Dia juga mengerahkan beberapa anak buahnya untuk berpencar mencari wanita itu."Orang ini sangat berhati-hati. Bisa saja ini adalah jebakan," tebak Chatrine."Entah jebakan atau bikan, aku tidak
Ellen berjalan dari parkiran menuju pintu lift ketika seorang pria berpenampilan serba hitam dengan terburu-buru masuk ke dalam lift mendahuluinya. Dia membekap Ellen ketika wanita itu hendak menekan tombol lift. Wanita itu tak sadarkan diri dan di bawa keluar oleh pria tersebut. Sementara itu di apartemen, Chatrine sedang melakukan vidio call dengan putranya. Dia menanyakan keberadaan Ellen. "Dia pulang agak terlambat karena di perusahaan, seniornya membutuhkan dia untuk melakukan pekerjaan lain. Tapi seharusnya dia sudah sampai," kata Chatrine."Perasaanku agak tidak enak," kata Dimitri."Kau tenang saja. Istrimu tidak akan kabur kemana-mana," kata Chatrine terkekeh."Kenapa dia harus kabur?" tanya Dimitri tak terima.Chatrine tertawa melihat ekspresi putranya yang merasa tidak senang dengan ucapannya. "Apakah Ibu benar-benar memasang GPS pada cincin istriku?" tanya Dimitri ragu."Kau pasti tidak percaya," kata Chatrine. "Ibu tidak pernah sampai se peduli itu pada orang lain," k
Ellen terbangun tanpa Dimitri di sampingnya. Entah sejak kapn pria itu pergi. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa saat ini Dimitri sedang dalam perjalanan menuju Hongkong. Wanita itu berjalan keluar sebelum membasuh mukanya yang masih berantakan. Dia terkejut mendapati ibu mertuanya sudah berada di ruang makan dengan kesibukan menata makanan di atas meja. "Ellen, kau cuci muka dulu lalu sarapan. Ibu tunggu," kata wanita itu tanpa menoleh sedikit pun. "Maafkan aku, Ibu." Ellen berlari masuk ke kamar.Sesaat kemudian dia keluar dari kamar dan berjalan ke arah ibu mertuanya. Dia duduk di depan ibu mertuanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Ellen yang merasa canggung dan bersalah. Seharusnya yang mempersiapkan sarapan adalah dirinya. Dan bukannya ibu mertua. "Kau tidak perlu berpikiran macam-macam. Sudah ku katakan bahwa aku ini sangat berpikiran terbuka," ujar Chatrine tersenyum. Ellen tersenyum bahagia. "Terima kasih, Ibu."Chatrine memberi isyarat untuknya segera makan. Ellen pun m
"Madelaine," panggil Dimitri tersenyum lembut. Ellen terkejut mengetahui bahwa Dimitri tahu tentang Madelaine. "Aku tahu kau adalah Madelaine. Nenek itu memberikan namanya untukmu agar kau bisa melanjutkan cita-citamu sebagai desainer terkenal tanpa seorang pun tahu jati dirimu yang sesungguhnya," ujar Dimitri. "Darimana kau tahu semua itu?" tanya Ellen bingung."Aku adalah Seravin. Apapun bisa aku cari tahu. Semua hal tentangmu," jawab Dimitri. "Sejak kapan?" tanya Ellen mulai waspada. "Sejak awal pertemuan kita 10 tahun yang lalu. Aku terus mengikutimu," jawab Dimitri. "Aku selalu ada untukmu. Karena kau adalah Ellen. Bukan karena kau adalah Madelaine.""Bahkan ketika aku datang ke kediaman Pyordova kah?" tanya Ellen.Dimitri mengangangguk. "Maafkan aku," ujar Dimitri. "Kau sangat menakutkan," celetuk Ellen dengan tatapan waspada."Ellen, aku mencintaimu hingga aku merasa gila. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan leluasa. Aku hanya bisa menggunakan identitas Seravin untuk