Eleanor bergeming sesaat setelah menginjakkan kaki di dalam bangunan. Kedua matanya menelisik setiap detail yang ada di sana hingga tanpa sadar seulas senyum tipis tersemat di bibirnya. Kakinya mulai melangkah lebih jauh ke dalam sambil tak henti menjelajahi benda-benda yang ada. Meja dan kursi dari kayu dengan sudut tumpul dan warna pastel menghiasi area depan jendela kaca hingga sampai di meja kasir. Lalu, dua etalase kaca dengan ukuran besar tampak berdiri tepat di depannya. Tak ketinggalan sebuah rak kayu berdiri di antara etalase tadi. Belum berhenti dibuat terkesan dengan isi dalam bangunan itu, Eleanor makin terkesan saat melihat area dapur. Beberapa meja dan rak yang terbuat dari stainles tampak berjajar rapi dan masih terbungkus plastik. Lalu, beberapa mixer serta alat pembuat kue lainnya tersusun rapi dan siap membantu sang empunya untuk menciptakan berbagai kue dengan rasa yang lezat. Eleanor menghela napas panjang saat berdiri di depan oven dengan ukuran sangat bes
Eleanor masih membeku di tempat selama beberapa detik sebelum akhirnya tersadar. Dia mencoba untuk memutar kembali ingatannya di masa lalu, tetapi tak ada yang berhasil ditemukannya. Semua buntu sehingga membuatnya hanya bisa menghela napas panjang. Perlahan, wanita itu mengambil kembali tumpukan foto di depannya dan menatap lekat. Dia amati sambil mengingat sesuatu, tetapi tak ada satu pun yang tersimpan. “Benarkah ini aku? Tapi kenapa aku sama sekali tidak ingat, ya?” Eleanor menyerah setelah mencoba beberapa kali, tetapi hasilnya nihil. Dia menutup kotak dan mengembalikan ke tempat semula. Namun, tatapannya kini terpaku pada satu kotak lagi yang belum dibukanya. Dengan ragu, wanita itu mengambil benda itu dan memegangnya beberapa saat sebelum membukanya. Ternyata dalam kotak itu terdapat beberapa foto yang menunjukkan dua orang berlainan jenis. Kali ini seorang remaja pria dengan remaja wanita saling duduk berdekatan sambil tersenyum menatap kamera. “Gadis ini sama denga
Eleanor bergeming di kursi tunggu sambil menatap hampa ke depan. Jantungnya mulai berdetak normal setelah sempat memburu saat dokter terlihat menggompresi dada suaminya. Dia menghela napas panjang sebelum mengusap air mata dan menoleh kepada Hana.“Dia masih bersamaku, Hana. Darren masih bersamaku.”Hana mengangguk dan mengusap lengan Elanor sambil tersenyum. Kedua wanita itu pun menatap ke pintu kaca di mana Darren terbaring lemah. Tepat saat itulah ponsel milik Hana berdering nyaring.“Aku angkat telepon dulu, Elea.”Eleanor mengangguk dan menatap Hana yang menjauh beberapa meter untuk menjawab panggilan sebelum kembali mengalihkan tatapan kepada suaminya.“Maafkan aku, Elea. Aku harus pergi sekarang. Anak-anak dan restoran sedang membutuhkanku.” Hana berkata sambil memasukkan ponsel ke saku celana, kemudian menatap Eleanor yang masih duduk di tempatnya. “Telepon saja aku kalau kamu mau pulang, ya?”“Pergilah, Hana. Nanti aku bisa pulang sendiri. Tenang saja, aku baik-baik saj
Eleanor mengernyit heran dengan kalimat awal yang disebutkan suaminya. Namun, dia memilih untuk tetap melanjutkan video yang telah dibuat oleh suaminya.“Entah bagaimana keadaanku saat kamu membuka video ini, Sayang. Aku hanya berharap masih di dunia ini agar bisa selalu menemanimu.”Eleanor menatap nanar layar laptop di depannya sebelum bulir bening kembali luruh membasahi pipi.“Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku beri tahu padamu, Sayang. Tapi, mungkin akan aku mulai dari yang paling penting dulu.”Dalam video, tampak Darren berdiri dan menuju ke sudut ruangan di mana beberapa buku tersimpan rapi di rak. Dia mengambil satu buku dan merogoh ke dalam sebelum kembali menghadap laptop sambil membawa satu kotak kecil.“Ini adalah amanah yang diberikan Kakek William sebelum tiada.” Darren membuka kotak itu dan menunjukkan sebuah kunci dengan kepala berbentuk kotak. “Ini adalah kunci rahasia di mana semua yang disimpan Kakek untukku ada di dalamnya.”Darren kembali memasukkan k
Eleanor beringsut bangkit dengan berpegangan pada tembok saat melihat sang dokter berlari ke dalam. Hatinya diperam kelesah saat mendengar kalimat yang diucapkan sang perawat. Dengan tertatih, wanita itu kembali membawa tubuhnya ke kursi.Eleanor menatap nanar lantai di bawah kakinya sambil menggeleng berulang kali. “Ini tidak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi, kan? Ini bukan nyata, kan?”Eleanor menoleh ke arah Pak Surya yang menatapnya terenyuh. Wanita itu terisak sambil kembali mengulang kalimatnya. “Katakan kalau ini hanya mimpi, kan, Pak? Ini tidak mungkin terjadi, kan, Pak? Darren masih hidup, kan, Pak?”Merasa tak mendapat respon, Eleanor tertawa dengan air mata yang terus luruh membasahi wajah. Lalu, seketika wajahnya berubah penuh amarah.“Jangan diam saja, Pak Surya! Jawab aku! Ini hanya mimpi, kan? Darren masih hidup, kan? Jawab, Pak! Jawaaab!”Eleanor memejamkan mata karena mendadak kepalanya berdenyut nyeri. Raga yang lelah ditambah jiwa yang sakit membuat wanita itu
Satu jam berlalu, Eleanor mencoba untuk bangkit dan menyeret langkah menuju sofa yang ada di ruang keluarga. Meskipun raganya lelah, wanita itu tak mampu untuk memejamkan mata walaupun sekejap. Dia menatap halaman belakang lewat jendela kaca yang ada di belakang televisi.Eleanor memeluk sepi dengan bertemankan kegelapan. Berulang kali dia menggeleng dan menolak untuk percaya bahwa semua yang dilaluinya hari itu adalah kenyataan. Wanita itu masih percaya bahwa Darren masih hidup dan akan segera kembali. Untuk itulah dia sengaja menggenggam erat ponsel sejak tadi.Berulang kali terdengar embusan napas panjang dari mulut Eleanor. Dia menatap nanar taman di depannya dengan perasaan campur aduk. Tanpa sadar air matanya luruh membasahi pipi. Dia pun membawa tubuhnya meringkuk di sofa sambil menikmati isak tangis yang tak kunjung reda.Tiga jam menjelang subuh, Eleanor yang baru saja terpejam mendadak terjaga saat merasakan ponselnya bergetar. Dia segera menjawab panggilan tanpa melihat
Eleanor terguguk setelah panggilan terputus. Tubuhnya bergetar hebat bersamaan dengan suara tangis yang terdengar memilukan. Bahkan beberapa kali dia memukul dada sebelah kiri karena sesak yang terasa membebat. Melihat itu, Hana mendekat dan langsung merengkuh Eleanor dalam dekapan. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Eleanor bermaksud untuk menyalurkan kekuatan.“Ini hanya mimpi, kan, Hana? Darren tidak mungkin meninggalkanku. Alden pasti hanya bercanda, kan?”Hana tak sanggup membalas ucapan yang dilontarkan Eleanor. Dia hanya mengusap punggung wanita itu sambil berusaha menenangkan. “Sabar, Elea. Bisa jadi itu hanya akal-akalan sepupunya Darren saja. Sebaiknya kita cari tahu yang sebenarnya.”Eleanor melerai pelukan dan menghapus jejak kesedihan di wajahnya. Lalu, mengatur napas sambil memejamkan mata dan berharap apa yang diucapkan Alden tak pernah menjadi nyata. Setelah tenang, dia dan Hana kembali menyusuri jalanan hingga berhenti di lampu merah.“Antarkan aku ke ru
“Aku akan merebut semua yang kamu miliki hari ini.” Darren tersengal karena tubuhnya mulai melemah. Pandangannya mulai mengabur, tetapi sekuat tenaga berusaha untuk tetap sadar.Suara gelak tawa terdengar samar dibtelinga Darren. Pria itu sudah benar-benar tak sanggup lagi bertahan. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berusaha untuk bangkit. Namun, pria berkacamata hitam tadi mendekat dan menendang bahu kanan Darren, kemudian menginjak bahu kirinya.“Matilah kamu, Darren!” sentak pria berkacamata hitam itu sambil mengacungkan pistol ke wajah Darren.“Bos, ada yang datang!” seru salah satu orang dari empat pria yang menghajar Darren sambil mendekat.“Bawa dia!” titah pria berkacamata hitam itu lagi. Lalu, beranjak ke mobilnya sebelum melajukan keluar area.Sementara, keempat pria yang masih tinggal segera menggotong Darren dan memasukkannya ke bagasi mobil. Lalu, membawanya menuruni bukit hingga sampai di sebuah sungai beraliran deras.Keempat orang tadi menurunkan Darren dan membaw
Darren bergegas menutup pintu ruang olah raga setelah mendengar bunyi bel. Sedikit tergesa-gesa, dia berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Lalu, senyumnya tersumir di bibir saat mengetahui orang-orang dari perusahaan pembersihan rumah sudah tiba. Pria itu menginstruksikan bagian mana saja yang harus dibersihkan sebelum beranjak ke kamar. Dalam ruangan yang dominan dengan warna putih itu, Darren meletakkan tas kertas yang tadi sempat dibawanya dari butik. Dia menatapnya sekilas sebelum merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. “Aku butuh bantuanmu. Bisa kita ketemu?” Darren mendengarkan sesaat sebelum mengangguk sekali dan menutup panggilan. Lalu, bergegas membersihkan diri dan memakai kemeja hitam yang dipadu dengan celana kain hitam. Tak lupa jam tangan di mana tali pengikatnya dibuat khusus oleh sang istri. Setelah mematut diri di depan cermin sesaat, dia beranjak keluar kamar. Pria itu pun menemui salah satu orang dari jasa pembersih rumah