Sukma menatap kosong ke arah meja makan. Tangannya mencengkeram erat surat cerai yang tadi siang ditemukannya di dalam mobil. Langkah kaki terdengar dari arah pintu depan, disusul suara khas Dimitri yang memanggilnya. “Sukma? Kamu sudah pulang?” Sukma mengangkat wajahnya, menatap suaminya yang masih mengenakan jas kerja dengan dasi yang sedikit longgar. Rambutnya sedikit berantakan, entah karena kelelahan atau… karena sesuatu yang lain. Senyum Dimitri muncul saat melihatnya, lalu seperti biasa, dia melangkah ke arahnya, menangkup wajahnya, dan mencium dahinya lembut. Sukma hanya diam. Biasanya, sentuhan ini akan membuatnya luluh. Tapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya terasa mati rasa. "Aku lapar," ucap Dimitri santai. "Kamu sudah masak?" Sukma mengangguk pelan, lalu mengambil piring dan mulai menyiapkan makanan. Tangannya bekerja otomatis, tapi pikirannya berantakan. Dimitri duduk di kursi makan, memperhatikannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu kenapa?"
Sukma sudah tahu. Sejak awal, dia bukan wanita bodoh yang mudah dibohongi. Dia tahu gerak-gerik Dimitri berubah. Dia tahu suaminya sering menghabiskan waktu di luar lebih lama dari biasanya. Dia tahu setiap kali Dimitri pulang dari dinas luar kota, aroma parfumnya bercampur dengan sesuatu yang bukan miliknya. Aroma perempuan lain. Dia tahu, tapi dia diam. Bukan karena dia lemah, tapi karena dia tidak ingin kehilangan Dimitri. Malam itu, Sukma duduk di tepi tempat tidur mereka, memeluk lututnya sendiri. Dimitri sedang mandi, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Tangannya yang kurus meraba laci kecil di nakas. Dengan cepat, dia menarik keluar botol kecil berisi pil-pil yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Obat depresi. Tidak ada yang tahu tentang ini. Bahkan Dimitri. Dia menatap botol itu dengan tatapan kosong, lalu membuka tutupnya dan menumpahkan beberapa butir pil ke telapak tangannya. Tangannya bergetar. Dia menel
Hujan turun pelan di luar jendela rumah sakit, seperti bisikan langit yang menyentuh bumi dengan lembut. Di dalam ruangan bersalin VIP Rumah Sakit St. Rosalie, aroma antiseptik bercampur dengan ketegangan yang nyaris menggantung di udara. Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mencengkeram sprei, tubuh mungilnya gemetar dalam kontraksi yang datang makin sering dan menyakitkan. Rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi. Perutnya besar—cukup besar untuk ukuran tubuh sekecil itu. Anak kembar. Dua laki-laki. Beratnya ditanggung sendiri, bukan hanya fisik… tapi juga batin. Dimitri berdiri di sisi ranjang, mengenakan pakaian khusus steril yang disiapkan tim medis. Wajahnya yang biasanya tegas dan dingin, kini terlihat panik. Matanya merah, tangannya berkeringat meski suhu ruangan dingin. “Sayang… aku di sini. Aku nggak ke mana-mana.” Suaranya parau, tapi tenang. Tangan besarnya menggenggam tangan Luna yang jauh lebih kecil. Luna mengangguk pelan. Air matanya jatuh tanpa
Sukma duduk membisu di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap. Jalanan ibu kota malam itu sunyi, lampu-lampu kota melintas bagai bintang jatuh yang tak sempat diminta harapan. Di sebelahnya, Zack—bodyguard setianya—mengemudi tanpa banyak bicara. Pria itu tegap, kalem, dan sudah lama menjaga Sukma sejak ia menikah dengan Dimitri. Tapi malam ini, Zack tahu ada sesuatu yang tak biasa dari tuannya. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ekspresi lelah. “Zack,” suara Sukma akhirnya pecah, pelan dan parau. Zack menoleh singkat. “Ya, nyonya?” “Kita langsung ke tempat dokter itu ya. Aku gak yakin bisa tidur malam ini.” “Sudah saya hubungi, nyonya. Dokter Farida siap terima konsultasi malam ini, meski mendadak.” Sukma mengangguk pelan. Tangannya meremas sisi blazer putih yang dikenakannya. Wajahnya cantik, tapi lusuh. Lipstik memudar. Foundation retak di bawah mata. Matanya sembab. Ia belum tidur nyenyak selama hampir seminggu. Semenjak tahu Luna hamil. Bukan dari mulut Dimit
Senja perlahan turun di atas kota. Langit berubah jingga kemerahan, membentang seperti lukisan yang disapukan oleh tangan Tuhan. Di dalam kafe hotel berbintang itu, cahaya temaram dari lampu gantung memantul di meja kaca bundar tempat dua perempuan duduk berhadapan. Sukma, dengan balutan blouse krem dan scarf tipis di leher, tampak anggun seperti biasa. Tapi sorot matanya sayu. Ada lelah yang tak bisa ditutupi bedak, ada hening yang tak bisa disembunyikan dengan senyum. Di depannya, Keira mengaduk teh hangat pelan-pelan. keira dikenal tenang, elegan, dan selalu punya cara halus untuk menyampaikan kebenaran, meskipun kadang pahit. "Maaf ya ngajak mendadak," kata Sukma akhirnya membuka suara. "Aku... cuma butuh ngobrol sama seseorang yang bisa aku percaya." Keira menatapnya penuh perhatian. “Kamu tahu aku selalu di sini, Suk.” Sukma tersenyum hambar. Ia menatap cangkir tehnya, seperti sedang mencari kata-kata yang tercecer di dasar minuman itu. “Akhir-akhir ini Dimitri...
Di rumah pinggiran kota, beberapa jam setelahnya— Dimitri berdiri di dapur Luna. Kaus kaki sebelah masih belum ia pakai, dan rambutnya belum sempat disisir. Di hadapannya: sepiring nasi goreng yang... bisa dibilang, lebih mirip nasi sisa kemarin dicampur garam dan saus cabai seadanya. Bentuknya tak karuan. Bau gosong samar menyeruak. “Maaf ya,” Luna menggaruk kepalanya. “Aku tadi pikir udah mateng... eh pas dibalik malah gosong,trus karena nasinya agak keras jadi aku tambah air dikit. Kamu masih mau makan?” Dimitri menatap piring itu. Ia bisa saja menolak. Ia bisa kembali ke penthouse dan menikmati makan siang lezat buatan Sukma. Tapi... entah kenapa, ia duduk. Dan makan. “Rasanya...”katanya sambil mengunyah pelan. Luna menatap penuh harap. “...kayak muntahan kucing.” “Hah?!” “Tapi... aku suka. Ia tersenyum kecil. “Kamu masak sendiri buat aku. Itu cukup.” Luna terkekeh. “Kamu gila. Kamu ini beneran suka aku atau cuma kasihan?” Dimitri menatapnya lama. Ada sesua