Malam itu rumah Steve sunyi. Dari luar, orang-orang selalu melihat pernikahan Steve dan Sasa sebagai gambaran ideal: pasangan mapan, tampan dan cantik, hidup berkecukupan. Tapi di dalam, kenyataan jauh berbeda. Steve duduk di ruang tamu dengan tatapan dingin. Ia baru saja pulang bersama Siska, yang melenggang masuk begitu saja tanpa rasa bersalah. Rambut panjangnya tergerai, gaun mini ketat menempel di tubuh, hak tinggi berderap di lantai marmer. Sasa muncul dari dapur, wajahnya kaku. “Steve… apa maksudmu membawa dia ke sini lagi?” Steve menoleh, tatapannya tajam. “Sasa, aku sudah bilang. Rumah ini bukan milikmu seorang. Aku pemiliknya juga. Dan aku bebas membawa siapa pun yang aku mau.” Siska tersenyum sinis, duduk manja di sebelah Steve, lalu merangkul lengannya. “Malam, Mbak Sasa…” sapanya dengan nada mengejek. Wajah Sasa memucat. Hatinya bergetar hebat melihat Steve sama sekali tidak menolak pelukan Siska. Justru sebaliknya, Steve membiarkannya, bahkan menepuk paha Siska de
Malam itu, di kamar apartemen sewaan yang remang, Siska masih terbaring di pelukan Steve. Nafasnya belum teratur, tubuhnya hangat dan basah keringat. Tapi justru di tengah keintiman itu, pikirannya melayang jauh ke masa lalu.“Steve…” bisiknya pelan.“Hm?” pria itu menoleh, jemarinya masih membelai rambut Siska.“Aku heran sama kita. Aku heran sama diriku.” Siska menatap langit-langit, matanya kosong. “Kau ingat malam itu? Malam di pesta Carlos?”Sorot mata Steve langsung berubah. Ingatan itu seperti racun yang kembali merayap dalam darahnya. Malam di mana segalanya berawal. Malam yang seharusnya tidak pernah ada.“Aku ingat,” jawabnya pendek, suaranya berat.Siska menarik napas gemetar. “Aku masih perawan waktu itu. Baru direkrut Carlos. Mereka bilang aku akan dilatih jadi ‘bintang baru’. Mereka suruh kau… meniduriku.”Steve terdiam, rahangnya mengeras. Kenangan itu menghantam dengan begitu jelas. .“Kau menolak” lanjut Siska, suaranya getir. “Kau marah, kau bilang tidak mau. Padahal
Beberapa minggu setelah hubungan mereka mulai terjalin, Steve dan Siska duduk di sebuah lounge hotel, tempat yang cukup sepi agar mereka bisa bicara tanpa khawatir dikenali orang. Siska memandang Steve lama. Ia tahu ada sesuatu yang masih Steve sembunyikan, luka yang lebih dalam dari sekadar bayangan masa lalu. “Aku bisa lihat, Steve,” kata Siska pelan. “Ada sesuatu yang terus membebanimu. Kau tersenyum, tapi matamu… selalu menyimpan duka. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi.” Steve terdiam. Tangannya meremas gelas whisky di hadapannya. Hatinya berdebar keras. Selama ini, ia selalu menutup rapat kisah kelam itu—bahkan hanya Sukma yang benar-benar tahu. Tapi malam itu, entah kenapa, ia merasa ingin berbagi. Ia menarik napas panjang. “Aku tidak pernah benar-benar memilih pernikahanku, Siska. Semua ini jebakan.” Siska terbelalak. “Jebakan?” “Ya,” suara Steve serak. “Malam itu… aku dipaksa minum obat perangsang. Aku tidak sadar. Tiba-tiba aku sudah berada di kamar bers
Steve memilih untuk melanjutkan hidup. Bayangan wanita yang dulu pernah ia cintai, masih membelenggu. Hari itu, Steve menghadiri sebuah seminar kewirausahaan di sebuah universitas ternama. Ia diminta menjadi pembicara tamu, berbagi pengalaman sebagai profesional muda yang sukses. Dengan jas rapi dan senyum karismatik, Steve berdiri di podium, memaparkan strategi bisnisnya. Di antara ratusan mahasiswa yang hadir, seorang perempuan muda duduk di barisan tengah. Wajahnya menarik, lebih dewasa dibandingkan dulu. Rambut panjang hitamnya terurai, matanya fokus menatap Steve dengan sorot yang berbeda—bukan lagi tatapan penuh godaan seperti beberapa tahun lalu, melainkan tatapan kagum bercampur penyesalan. Dialah Siska. --- Setelah seminar berakhir, mahasiswa berkerumun, berebut ingin berfoto dengan Steve. Siska menunggu di belakang, menahan degup jantungnya. Ia tahu, cepat atau lambat, Steve pasti melihatnya. Dan benar saja. Saat kerumunan mulai bubar, Steve menoleh, matanya terpaku
---Beberapa hari setelah malam penuh air mata itu, Steve benar-benar menepati janjinya. Ia berkeliling mencari kebenaran, bahkan menyewa seorang kenalan lama—seorang lelaki yang pernah berutang budi padanya—untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dari satu orang ke orang lain, dari bisik-bisik penjaga rumah hingga desas-desus tentang minuman yang disajikan, Steve mencoba merangkai potongan puzzle yang berserakan.Namun setiap kali ia merasa menemukan secercah jawaban, ada tembok lain yang menghadang. Bukti minuman yang sudah tercampur lenyap begitu saja. Pelayan yang melihat sesuatu tiba-tiba bungkam, entah karena uang atau ancaman. Bahkan percakapan samar antara ibunya dan Sasa yang sempat hampir didengar seorang pegawai, seketika dibantah habis-habisan ketika kabar itu sampai ke telinga mereka.Steve pulang ke rumah Sukma dengan wajah letih, matanya merah, tubuhnya gemetar karena marah dan lelah. “Aku sudah coba, Sukma. Aku sudah lakukan segalanya. Mereka menutup s
---Malam itu udara terasa berat, seolah seluruh langit ikut menekan dada Steve. Ia berjalan dengan langkah gontai menuju rumah Sukma. Setiap langkahnya seperti dihantam bisikan orang-orang yang sepanjang hari menudingnya sebagai laki-laki hina. “Steve menodai Sasa… Steve merusak gadis baik-baik…” Kalimat-kalimat itu terus berputar di kepalanya, menusuk lebih tajam dari pisau.Namun yang paling membuatnya nyaris runtuh adalah kabar bahwa Sukma pun telah mendengarnya. Sukma—satu-satunya alasan ia masih berdiri, satu-satunya perempuan yang mengisi seluruh ruang hatinya—sekarang mungkin percaya ia telah mengkhianatinya.Tangannya gemetar ketika ia mengetuk pintu rumah Sukma. Suara ketukan terdengar ragu, seperti hatinya yang goyah. Tidak lama, pintu terbuka. Sukma berdiri di ambang, wajahnya pucat. Matanya bengkak, jelas habis menangis. Steve tercekat melihatnya, perih di dadanya semakin menjadi.“Sukma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar.Sukma menatapnya dalam diam. Tidak ada kata,