--- Langit sore menggelap perlahan saat mobil hitam mewah berhenti di depan rumah modern dua lantai itu. Mesin dimatikan. Tapi Dimitri masih duduk di kursi kemudi, kedua tangannya mencengkeram setir dengan kaku. Wajahnya tegang. Ada bayang-bayang penyesalan di matanya. Ia menghela napas panjang, lalu keluar dari mobil dan melangkah cepat ke pintu depan. Pintu tidak dikunci. Begitu masuk, suara tangis bayi langsung menyambutnya. Luna sedang duduk di sofa dengan mata bengkak, satu bayi digendong di dada, satu lagi di boks bayi yang terayun pelan. Dimitri berdiri di ambang ruang tamu. Ia tampak lelah. Rambutnya berantakan, dasinya dilepas begitu saja, kemeja bagian atas terbuka. Tapi bukan itu yang membuat Luna mematung saat melihatnya. Wajah Luna mengeras. "Kamu datang juga akhirnya,"katanya pelan, tapi nadanya dingin. Dimitri menelan ludah. Ia melangkah perlahan, lalu duduk di ujung sofa berseberangan. Menatap Luna dengan tatapan hati-hati, seperti sedang menghadapi
Pagi hari di penthouse mengalir lembut dari celah jendela yang sedikit terbuka. Tirai tipis berkibar perlahan, seolah menyapu bayang-bayang yang tak ingin pergi. Lampu kamar diredam, menyisakan cahaya kekuningan yang lembut jatuh ke dinding-dinding marmer dan kasur raksasa berbalut seprai putih Tak ada pertengkaran. Tak ada teriakan. Tak ada drama air mata seperti yang dulu biasa terjadi saat Sukma mencium aroma pengkhianatan. “Dulu kamu pernah bilang,” ujarnya datar, “kalau aku marah, aku cantik dalam amarah. Sekarang aku tidak cantik lagi, ya?” Dimitri berjalan mendekat, duduk di sebelahnya. Ia mengangkat tangan, hendak menyentuh pipi istrinya, namun Sukma hanya tersenyum samar dan menghindar sedikit. Bukan menjauh, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ada jarak yang tak kasat mata—menganga, meski mereka masih berbagi tempat tidur yang sama. “Aku hanya…” Dimitri menarik napas. “Aku hanya takut melihat kamu berubah.” Sukma memejamkan mata. “Aku tidak berubah. Aku hanya keh
Sukma menatap kosong ke arah meja makan. Tangannya mencengkeram erat surat cerai yang tadi siang ditemukannya di dalam mobil. Langkah kaki terdengar dari arah pintu depan, disusul suara khas Dimitri yang memanggilnya. “Sukma? Kamu sudah pulang?” Sukma mengangkat wajahnya, menatap suaminya yang masih mengenakan jas kerja dengan dasi yang sedikit longgar. Rambutnya sedikit berantakan, entah karena kelelahan atau… karena sesuatu yang lain. Senyum Dimitri muncul saat melihatnya, lalu seperti biasa, dia melangkah ke arahnya, menangkup wajahnya, dan mencium dahinya lembut. Sukma hanya diam. Biasanya, sentuhan ini akan membuatnya luluh. Tapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya terasa mati rasa. "Aku lapar," ucap Dimitri santai. "Kamu sudah masak?" Sukma mengangguk pelan, lalu mengambil piring dan mulai menyiapkan makanan. Tangannya bekerja otomatis, tapi pikirannya berantakan. Dimitri duduk di kursi makan, memperhatikannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu kenapa?"
Sukma sudah tahu. Sejak awal, dia bukan wanita bodoh yang mudah dibohongi. Dia tahu gerak-gerik Dimitri berubah. Dia tahu suaminya sering menghabiskan waktu di luar lebih lama dari biasanya. Dia tahu setiap kali Dimitri pulang dari dinas luar kota, aroma parfumnya bercampur dengan sesuatu yang bukan miliknya. Aroma perempuan lain. Dia tahu, tapi dia diam. Bukan karena dia lemah, tapi karena dia tidak ingin kehilangan Dimitri. Malam itu, Sukma duduk di tepi tempat tidur mereka, memeluk lututnya sendiri. Dimitri sedang mandi, suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Tangannya yang kurus meraba laci kecil di nakas. Dengan cepat, dia menarik keluar botol kecil berisi pil-pil yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Obat depresi. Tidak ada yang tahu tentang ini. Bahkan Dimitri. Dia menatap botol itu dengan tatapan kosong, lalu membuka tutupnya dan menumpahkan beberapa butir pil ke telapak tangannya. Tangannya bergetar. Dia menel
Hujan turun pelan di luar jendela rumah sakit, seperti bisikan langit yang menyentuh bumi dengan lembut. Di dalam ruangan bersalin VIP Rumah Sakit St. Rosalie, aroma antiseptik bercampur dengan ketegangan yang nyaris menggantung di udara. Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mencengkeram sprei, tubuh mungilnya gemetar dalam kontraksi yang datang makin sering dan menyakitkan. Rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi. Perutnya besar—cukup besar untuk ukuran tubuh sekecil itu. Anak kembar. Dua laki-laki. Beratnya ditanggung sendiri, bukan hanya fisik… tapi juga batin. Dimitri berdiri di sisi ranjang, mengenakan pakaian khusus steril yang disiapkan tim medis. Wajahnya yang biasanya tegas dan dingin, kini terlihat panik. Matanya merah, tangannya berkeringat meski suhu ruangan dingin. “Sayang… aku di sini. Aku nggak ke mana-mana.” Suaranya parau, tapi tenang. Tangan besarnya menggenggam tangan Luna yang jauh lebih kecil. Luna mengangguk pelan. Air matanya jatuh tanpa
Sukma duduk membisu di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap. Jalanan ibu kota malam itu sunyi, lampu-lampu kota melintas bagai bintang jatuh yang tak sempat diminta harapan. Di sebelahnya, Zack—bodyguard setianya—mengemudi tanpa banyak bicara. Pria itu tegap, kalem, dan sudah lama menjaga Sukma sejak ia menikah dengan Dimitri. Tapi malam ini, Zack tahu ada sesuatu yang tak biasa dari tuannya. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ekspresi lelah. “Zack,” suara Sukma akhirnya pecah, pelan dan parau. Zack menoleh singkat. “Ya, nyonya?” “Kita langsung ke tempat dokter itu ya. Aku gak yakin bisa tidur malam ini.” “Sudah saya hubungi, nyonya. Dokter Farida siap terima konsultasi malam ini, meski mendadak.” Sukma mengangguk pelan. Tangannya meremas sisi blazer putih yang dikenakannya. Wajahnya cantik, tapi lusuh. Lipstik memudar. Foundation retak di bawah mata. Matanya sembab. Ia belum tidur nyenyak selama hampir seminggu. Semenjak tahu Luna hamil. Bukan dari mulut Dimit