Perjalanan membutuhkan waktu dua belas jam untuk Qizha sampai ke kampung halamannya.
Lima belas menit sebelum sampai ke rumah, tepatnya saat ia berjalan kaki sesaat turun dari angkot, ia mendapat telepon dari kepala OB.“Qizha, besok kamu harus masuk kerja ya! Kamu sedang training tapi sudah minta ijin. Untungnya aku menutupi kepergianmu dari yang lain supaya tidak terjadi masalah.” Suara kepala OB memperingatkan.“Baik, aku akan masuk kerja besok.”“Oh ya, kamu sudah tahu belum kabar berkabung?”“Apa, Bu?” Qizha menegang.“Staf cantik bernama Qansha meninggal dunia, keracunan.”Qizha membelalak kaget. Keracunan? Apakah serbuk yang dia berikan itu adalah racun? Ya Tuhan, apakah ini artinya dia menjadi pelaku pembunuhan itu?Belum selesai satu masalah, masalah lain menerpanya. Ia sampai mangap lebar akibat kaget, untungnya lalat sialan yang lewat itu tidak tertelan.Tangannya semakin gemetaran saat mencari pemberitaan di media sosial mengenai kematian staf di perusahaan raksasa itu.Benar saja, ia menemukan kabar tersebut. Qansha, staf di perusahaan multinasional meninggal dunia karena keracunan. Kasus masih dalam tahap pengembangan, apakah merupakan kasus bunuh diri, ataukah dibunuh?Tubuh Qizha mendadak lemas sekali. Ketakutan menyergapnya. Merinding disko."Ayah!" Qizha masuk rumah. Tidak ada pemandangan menakutkan. Ayahnya baik- baik saja. Duduk di kursi kayu yang lusuh, bersisian dengan Agata, ibu tirinya."Pulang juga ternyata kau!" ketus Agata menatap Qizha tajam.Tentu saja Qizha pulang. Itu rumahnya. Ibu tiri yang satu ini sekali- kali memang perlu diolesi cabe biar bibirnya jendor. Kesehariannya selalu mencela Qizha.Qizha tidak menjawab. Ia mendekati ayahnya, satu- satunya orang yang dia patuhi dan dia sayangi."Ayah udah baikan?" Qizha mengawasi wajah ayahnya, kelihatan normal. Tidak ada tanda- tanda sakit."Ayahmu cuma mau kau pulang. Aku yang suruh kau pulang," sahut Agata sebelum Bily menyahutinya.Ternyata Bily hanya bersandiwara saja, pura- pura sakit hanya untuk memerintah Qizha supaya pulang ke rumah.Dan mengenai pembunuhan itu… Qizha harus memastikan apakah serbuk itu racun ataukah obat seperti yang disebutkan ayahnya.“Ayah, serbuk apa yang ayah kasih ke aku?” Qizha menanyakan dengan suara gemetaran.“Usahamu sudah berhasil untuk menyingkirkan gadis yang ayah maksud. Maka kau tidak perlu lagi bekerja di perusahaan itu," sahut Bily.“Hah?” Qizha terkejut. Ketakutannya benar terjadi.Betapa bodohnya dia yang terlalu mempercayai ayahnya. Satu- satunya orang yang dia percayai hanyalah ayahnya, itu pun ternyata membohonginya.“Ayah memperalat aku untuk membunuh orang lain? Kenapa ayah lakukan ini? Ada masalah apa ayah dengan gadis itu?” Suara Qizha bergetar hebat. Dia telah menjadi seorang pembunuh.Bily menunduk seperti terong lemas. Ia tampak bingung.Inilah ekspresi wajah yang membuat Qizha geram. Ayahnya selalu memasang wajah memelas disaat timbul masalah. Dan selalu Qizha yang menjadi korban.Disudutkan ibu tiri, dicibir saudara tiri. Dan pada akhirnya Qizha selalu memeluk rasa trauma dan kepedihan yang berlebihan.Sekarang, ia bahkan harus menghadapi kenyataan menakutkan. Menjadi seorang pembunuh. Padahal ia sama sekali tidak memiliki niat untuk hal itu.“Jadi sebenarnya serbuk itu adalah racun? Jadi kisah Qansha yang ditabrak oleh ayah itu adalah cerita palsu?” tanya Qizha memastikan. “Ayah sakit pun hanya berpura- pura? Ayah sengaja mengirim aku ke perusahaan itu hanya dijadikan alat sebagai pembunuh aja? Jawab, ayah! Jawab!”Bily hanya diam menunduk. “Ini dosa besar, ayah. Ini kejahatan luar biasa. Ya Tuhan, ampuni aku.” Qizha menangis sesenggukan.“Itulah sebabnya ayah memintamu supaya tidak usah kembali lagi ke perusahaan itu. Jangan ke sana karena akan berbahaya untukmu. Kau bisa dicurigai,” ucap Bily.“Ya Tuhan!” Qizha menatap telapak tangannya sendiri, menyesal sudah memenuhi permintaan sang ayah. Tangannya itu sudah berbau darah. Ia lalu bersimpuh, memegang kaki ayahnya. “Apa salahku sampai ayah lakukan ini ke aku? Kenapa ayah memperalat aku?”“Maaf. Ini rencana ibumu.”Jantung Qizha rasanya seperti disengat keras. Lagi- lagi ia harus mendengar nama yang sama untuk alasan Bily menyakiti Qizha. Semua permintaan Agata selalu dipenuhi oleh Bily, termasuk mengorbankan Qizha seperti yang baru saja terjadi.Bahkan satu- satunya orang tempat Qizha mengadu pun malah menerkamnya begini.Hati Qizha sakit sekali. Dan ia hanya bisa berbisik dalam hati, ‘Wahai sang Maha Membolak- balikkan hati, kuatkan aku di atas takdir yang sedang Engkau titipkan kepadaku!’Oh ya satu lagi, 'Semoga wanita tua yang memperalatnya ini cepat stroke.' Ah, berdosakah meminta hal itu pada Tuhan?“Ayah tidak pernah bekerja di perusahaan itu. Ayah bahkan tidak mengenal Qansha,” ucap Bily.Fix, cerita bohong yang disampaikan Bily tentang Qansha hanyalah dalih supaya Qizha menuruti permintaan sang ayah tanpa kecurigaan. Jika Qizha tahu bahwa serbuk itu adalah racun, tentu Qizha tak akan menuruti kemauan ayahnya.“Siapa yang akan melindungi aku jika orang terdekatku pun menjerumuskan aku begini? Bagaimana kalau aku ditangkap dan dipenjara, ayah? Aku nggak mau dipenjara.” Qizha menunduk.“Nggak akan ada yang memenjarakanmu. Tetaplah di sini. Bersembunyi di sini. Identitasmu di lamaran kerja juga palsu," sahut Bily.“Jadi ayah memalsukan semua identitasku?”“Ya.”“Sadarlah ayah, jangan turuti semua kemauan ibu, dia ini jahat.” Qizha sebenarnya tak ingin menasihati ayahnya, sebab ayahnya pasti tidak akan mendengarnya. Hanya suara Agata lah yang didengarkan oleh Bily.“Hei, beraninya kamu bilang aku jahat!” gertak Agata.Qizha keceplosan, tapi kenyataannya memang begitu. Lidahnya tidak bisa ditahan.Mata Agata yang melotot itu seperti jengkol hendak melompat.“Kenapa ibu harus menginginkan kematian gadis bernama Qansha itu?” Qizha menatap Agata sayu.“Karena Qansha itu adalah anaknya Husein Brata Raksa.” Agata menyahuti. Seperti biasa, wajahnya judes dan menyebalkan.“Husein Brata Raksa dulu adalah mantan kekasihku, tapi dia lebih memilih menikahi wanita lain. Dia mencampakkan aku. Bahkan dia pernah menganiaya aku.” Agata tersenyum miring.Lihatlah, sudah sesadis ini wanita yang menyandang sebagai istri, namun Bily sama sekali tak membantahnya.“Puluhan tahun aku tidak bertemu dengan Husein, tapi dendam ini masih membara,” sambung Agata. “Aku menyuruh orang untuk mencari tahu kehidupan Husein. Kabarnya dia memiliki tiga anak. Anak pertama laki- laki, dua anak lainnya perempuan. Sebenarnya sasaran awalnya adalah anak laki- laki, supaya Husein tidak mendapatkan keturunan dari anak laki- laki. Tapi agak sulit menemukan identitas anak itu karena dia tinggal di luar negeri. Dan pada akhirnya aku menemukan identitas anak perempuannya, namanya Qansha.”Wanita ini seperti iblis. Hatinya hitam. Qizha terpuruk menghadapinya.“Sekarang aku puas karena dendamku terbalas.” Agata terkekeh. “Jangan meratapi nasibmu, Qizha. Nikmati aja hidupmu itu! Seenggaknya tuh hidupmu bermanfaat. Sekarang persiapkan dirimu! Sebentar lagi Sofian, lelaki kaya itu akan datang ke rumah. Dia akan menikahimu. Jangan menangis terus kerjaanmu!” Agata keluar dan membanting pintu.Sofian adalah lelaki yang selama ini dijodohkan dengan Qizha. Selain usianya yang jauh di atas Qizha, lelaki itu terkenal gila wanita. Tapi kekayaannya membuat mata Agata silau hingga memilih untuk menjodohkan Qizha kepadanya.“Ayah!” Tatapan Qizha tertuju pada ayahnya, meminta bantuan. “Jangan nikahkan aku dengan lelaki itu!”Bily hanya menunduk, kemudian mengusap kerudung putrinya tanpa mengatakan apa pun dan berlalu pergi.Qizha tak bisa protes pada ayahnya yang selalu menuruti permintaan Agata. Sejak ibunya meninggal, Agata muncul dan menggantikan posisi ibu di rumah itu. Dia menguasai segalanya.Dan setelah Bily diberhentikan dari pekerjaannya, keuangannya pun menurun. Harga dirinya diinjak- injak oleh Agata. Dia bahkan menuruti semua kemauan Agata dengan alasan rasa cinta.Tak heran jika Bily tak bisa berkutik saat anak kandungnya diperlakukan dengan buruk oleh Agata.Qizha benar- benar merasa sendirian di rumah itu. Ketakutannya akan ditangkap polisi masih menghantui, sekarang ia sudah dihadapkan dengan masalah baru. Dijodohkan dengan Sofian.Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti