“Berapa kamu bayar dokter dan perawat untuk akting pura- puramu ini?” tanya Qasam ketus.Wih, masih pura- pura ketus juga. Padahal kemarin memohon- mohon minta Qizha cepat bangun.“Aku nggak bayar berapa pun. Aku Cuma ceritakan kisah cintaku ke meraka. Dan mereka iba. Lalu ya… beginilah kejadiannya,” jelas Qizha, kemudian melempar senyum lebar saat Qasam menatap ke arahnya.“Pulang sekarang!”“Tapi kan aku mash butuh perawatan. Kakiku juga masih sakit. Belum bisa jalan tanpa bantuan.”“Mama menanyakanmu terus. Aku tidak bisa terus menyembunyikan keadaan ini dari mama.”“Loh, jadi kamu nggak ngabarin mama kalau aku sekarat begini?” tanya Qizha.“Tidak. Aku akan katakan nanti saja. ketika kondisimu sudah lebih baik begini, maka aku akan lebih nyaman mengatakan semuanya ke mama. Tapi saat kau dalam keadaan sekarat, tentu mama akan terus mencemaskanmu, juga menyalahkan aku.”“Oke, aku akan pulang. Tapi kakiku masih belum bisa berjalan. Bagaimana caranya aku akan mengurus diriku
“Ingat semua pesanku tadi!” titah Qasam saat membukakan pintu mobil untuk Qizha.Ya ampun, sudah ketahuan bucin, masih saja bersikap ketus dan dingin begini? gengsi amat sih? Pikir Qizha menatap wajah lempeng suaminya.Qizha mengangguk. Ingat banyak pesan yang lumayan banyak dari Qasam di sepanjang jalan, yang bila ditulis ke dalam tulisan maka akan menjadi sebuah novel utuh. Haduh!Intinya, Qizha harus menceritakan yang baik- baik saja kepada Habiba, jnagan sampai menceritakan yang jelek. Apa lagi soal kecelakaan itu, sebisa mungkin menutupi, memberikan alasan yang baik pula.Itu sih sebenarnya tidak perlu diajarin, sebeb tanpa disuruh, Qizha sudah melakukannya sejak dulu. Kalau tidak, tentu Husein sudah mencabut kesempatan emas bagi Qasam untuk menjadi sosok yang dipercayai memimpin di banyak perusahaan.Qasam eraih pundak Qizha dan membimbingnya keluar dari mobil, lalu menuntun wanita itu.“Duh, payah mau jalan. Kruknya mana?” tanya Qizha. Kesultan melangkah jika hanya ditu
Qizha malah terbengong menatap Qasam yang sedang berusaha menyuapinya. “Ini beneran kamu mau nyuapin aku?”“Menurutmu? Apakah arah sendok ini ke mulutku? Jelas ini sendok mengarah ke mulutmu, tentu saja ini untukmu!” sahut Qasam.Qizha tersenyum dan menyantap makan dengan lahap. “Sebenarnya yang sakit itu kakiku, bukan tangan. Aku masih bisa makan sendiri, kok.”Qasam membelalak. “Maksudmu, kamu menolak disuapi olehku?”“Bukan begitu. Cuma penjelasan aja itu tadi.”“Terlanjur, makanannya juga sudah habis.” Qasam meletakkan piring yang sudah kosong ke meja. Dia mengambilkan minum dan memberikannya kepada Qizha.“Ternyata begini rasanya diperhatiin suami. Aku bahagia.” Qizha menatap Qasam haru. Sunyi. Keduanya membisu. Suasana jadi terasa kaku.“Beri aku penjelasan, kenapa kau meracuni Qansha, adikku?” tanya Qasam.“Jawaban dan penjelasanku nggak akan berubah. Percaya atau nggak percaya, kenyataannya adalah aku nggak tahu apa- apa soal itu. aku dijebak. Ayah yang memi
Qizha senyum- senyum sendiri di depan cermin, menatap wajahnya. Kelihatan lebih bersinar. Sejak semalam, Qasam memeluknya sepanjang tidur. Tak hanya itu saja, Qasam juga tadi membimbingnya saat turun ke lantai bawah untuk makan.Dan satu lagi, Qizha ingat perkataan Qasam tadi sebelum pergi ke kantor. Pria berpakaian stelan jas lengkap itu berkata, “Tidak perlu bekerja. Stay di rumah saja.”“Pekerjaanku bagaimana?” tanya Qizha tadi.“Sebelum ada kamu, perusahaanku tetap jalan. Jadi jangan cemas. Tanpa kamu, perusahaan tetap beregrak kok.”“Dih, kamu melarang aku kerja, tapi kalimatmu itu sama saja kayak bilang kalau aku tuh nggak berarti apa- apa di perusahaanmu.”Qasam balik badan hanya untuk menyembunyikan senyumnya sambil emmasang dasi. Pria itu mencari pakaian sendiri tanpa bantuan Qizha.“Aku pergi kerja. Aku tidak mau mendengar ada masalah di rumah!” pesan Qasam.“Masalah apa maksudmu?”“Entah itu kau terjatuh, kakimu patah, atau apa saja.”“Oh.” Qizha tersenyum senang.
Qizha meninggalkan pintu kamar Sina saat melihat Sina menyudahi telepon. Qizha melangkah menuju ke dapur dengan hati- hati supaya tidak menimbulkan suara. Kruk ditekan ke lantai dengan pelan, lalu cepat memasuki area dapur yang luas sekali. Ya ampun, hanya untuk menuju dapur saja, ia sampai harus melewati banyak ruangan. "Loh loh loh... Non Qizha kok kemari? Ada apa?" tanya Fara sembari menghampiri Qizha. "Dapur ini tuh jauh banget dari ruangan lainnya. Kalau ada apa- apa, Non kan bisa telepon bibi."Qizha tersenyum. "Nggak apa- apa. Ini kakiku mesti banyak gerak kata dokter, nggak boleh dibiarin nggak gerak, soalnya takut kaku dan malah nggak bisa digerakkan. Jadi aku jalan ke sana sini biar urat- uratnya pada lemas," sahut Qizha."Oh, sekarang Non Qizha mau dibuatin apa? Minum atau makan? Biar saya buatin." Fara menawarkan."Aku pingin makan pasta sama jus tomat. Boleh?""Walaaah... Ya boleh dong. Bentar biar bibi buatkan pastanya ya. Non cantik duduk manis aja dulu di situ." Fara
"Iya. Cicipi pakai sendok. Rasa jus nya bagaimana? Apakah kemanisan atau malah kurang manis.” Qizha tersenyum. Nah, kalau Sina berani mencicipi, artinya jus aman. Bebas dari racun. Tapi kalau tidak berani, artinya jus bermasalah. Cerdas Qizha!Sina mengambil sesendok jus. Lalu meminumnya. “Sedang. Ini pas rasanya,” jelas Sina.Beberapa menit berlalu, tak ada reaksi apa pun pada Sina. Baiklah, berarti minuman itu aman. Toh Sina tidak kejang- kejang. “Oke. Makasih.” Qizha pun meneguk jus tersebut. Tak lama kemudian Fara menyajikan pasta panas. Aromanya sedap sekali, menggugah selera. Pasta dicampur udang dan toping sosis serta daging. Qizha pun menyantap pasta dengan lahap. Melihat Qizha makan enak, Sina menelan saliva. Ingin sekali mencicipi makanan itu."Sina, kenapa kamu menunggui Non Qizha makan?" tanya Fara."Mm... Nggak apa- apa. Siapa tahu Non Qizha butuh lainnya biar aku bisa ambilkan," jawab Sina.Fara pun mengangguk dan berlalu kembali ke dapur."Kamu nggak bilang ke sia
"Bi Fara, panggil Sina kemari! Suruh dia menemuiku!" titah Qasam yang bertemu dengan Fara di anak tangga. Pria itu mengenakan piyama tidur, tampak santai sekali."Oh, baik, Tuan. Akan saya panggil." Fara balik menuruni anak tangga. Qasam menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian sosok yang ditunggu muncul juga, Sina menunduk menghadap Qasam. "Selamat pagi, Tuan! Ada yang bisa saya bantu?" Qasam menatap Sina yang menunduk. Dia menatap dari ujung kaki ke ujung rambut. Tatapannya sinis pada Sina. Modelan begini bagaimana bisa menjadi pembantu di rumah itu? Sungguh tidak memenuhi kriteria sama sekali. Qasam menyungging senyum."Mumpung kau belum lama bekerja di sini, aku akan berikan mandat kepadamu," ucap Qasam sambil mengangkat kaleng minuman dan meneguknya.Sina mengangkat wajah. Lalu tersenyum. "Tuan muda, saya tahu kalau kita ini ipar bukan? Pastilah Tuan mau memberikan keistimewaan buatku. Aku ini adiknya Kak Qizha."Wah, pintar sekali dia mengakui persaudaraan di saat begini. "
Tak lama kemudian, Qizha muncul. Wanita itu menuruni anak tangga dengan bantuan kruk. "Qizha, mama ingin menanyakan kepadamu satu hal, tapi sebelumnya, mama ingin tahu, kenapa kamu pakai kruk begini?" tanya Habiba yang baru tahu kalau menantunya itu dalam kondisi tidak baik- baik saja."Ini kemarin kecelakaan dikit pas naik mobil sama teman. Tapi nggak apa- apa kok," sahut Qizha dengan tenang."Sungguh? Itu kamu sampai harus pakai kruk loh, berarti parah ya? Ada yang patah?""Enggak, Ma. Cuma kaki agak sakit jadi butuh bantuan kruk."Qasam mengawasi wajah mamanya dengan serius, takut mamanya akan curiga. Habiba mengangguk. Akhirnya Qasam lega melihat mamanya mengangguk."Baiklah, sekarang mama mau tanya, ini Sina adalah adik tirimu, kenapa kamu biarkan dia menjadi pembantu di sini?" tanya Habiba.Qizha menatap Qasam, takut salah menjawab. Pria itu bisa saja kecewa padanya jika ia sampai salah bicara. Namun Qasam hanya diam, tak memberikan kode apa pun. Sepertinya dia memasrahkan ja