Share

6. Hutang Penjelasan

Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana.

“Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului.

Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan.

“Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah.

Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter.

“Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?”

“Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus.

Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer.

Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena harus naik kendaraan ini. Apalagi saat Rainer dengan santai duduk di depan kemudi.

“Ka-kamu yang membawa helicopter ini?” Terbata Claire bertanya.

“Iya.”

Spontan, tangan Claire mencengkram pinggiran kursi. Rainer membantunya menggunakan headset untuk peredam sekaligus alat komunikasi saat mereka terbang. Mata Claire terpejam saat helicopter mulai mengudara.

“Berapa lama perjalanan ini?” Claire berteriak kencang.

“Tidak perlu berteriak. Ada mike kecil di headset yang memungkinkan kita bisa bicara santai,” tegur Rainer sambil tetap fokus pada pengendali helicopter. “Perjalanan ini hanya lima belas menit. Buka matamu dan nikmati pemandangan di bawah.”

Merasa helicopter terbang stabil, perlahan Claire membuka matanya. Rainer benar. Pemandangan di bawah sangat cantik.

Laut luas terbentang sepanjang mata Claire memandang. Ia menoleh menatap Rainer yang memberikan senyum manisnya. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana lelaki sederhana seperti Rainer dapat mengemudikan helicopter.

“Itu rumah sederhana keluargaku.” Rainer menunjuk tujuan mereka di depan.

Claire memicing. Sebuah rumah besar berlantai satu yang terlihat dikelililingi oleh pekarangan hijau yang asri. Claire melihat beberapa orang di bawah melambai ke arah mereka.

Tangan Claire kembali mencengkram kursi saat helicopter terbang rendah. Hingga akhirnya mengembuskan napas lega saat mereka telah mendarat. Rainer membantu istrinya turun dari helicopter.

Sial bagi Claire. Sepatu heels-nya kembali tertancap saat melangkah di tanah berumput. Tertatih, wanita itu berpegangan pada lengan Rainer dan menghampiri orang-orang yang menyambut mereka.

“Papa, Mama.” Rainer berdiri di depan lelaki dan wanita setengah baya serta menundukkan kepala sebelum memeluk keduanya.

“Rainer. Kamu benar-benar pulang, Nak,” sambut Maya, Mama Rainer.

Sementara lelaki setengah baya itu hanya terlihat menepuk-nepuk lengan atas Rainer dengan senyum bahagia.

Lalu, ketiganya terlihat saling bertukar sapa. Melalui perbincangan itu, Claire jadi tau bahwa Rainer sudah lama sekali tidak pulang ke kampung halamannya ini.

Merasa diacuhkan, Claire melirik Rainer yang masih berbincang dengan orang tuanya tanpa memerdulikan dirinya.

“Ehm.” Claire berdehem pelan meminta perhatian.

Ketiga orang itu berhenti berbincang. Rainer segera sadar bahwa ia membawa Claire saat melihat wanita itu tersenyum ke arahnya.

Mencoba bersikap senatural mungkin, Rainer meraih tangan Claire hingga wanita itu kini berdiri di hadapan kedua orang tuanya.

“Mama, Papa, Ini Claire, istriku.”

Tangan Claire langsung terjulur penuh percaya diri pada lelaki dan wanita di hadapannya. Tak lupa ia menampilkan senyum terbaik.

Mereka berjabatan. Tangan Claire yang berkuku panjang dan berhias kuteks mendapat tatapan takjub dari Maya. Belum lagi penampilannya yang spektakuler. Wanita itu terlihat melirik putranya yang membalas tatapan dengan senyuman manis.

“Salam kenal, Mama, Papa. Aku, Claire.”

Lagi-lagi, Claire menampakkan kepercayaan dirinya yang tinggi dengan langsung memanggil orang tua Rainer dengan sebutan mama – papa.

“Adam.”

“Maya.”

Orang tua Rainer menjawab sapaan Claire dengan singkat.

Beberapa orang yang ikut berkumpul menunduk pada Rainer. Claire melihat suaminya itu tersenyum dan balas menunduk singkat pada orang-orang yang menghormatinya.

“Ayo, kita masuk,” ajak Maya. “Granny pasti senang melihatmu pulang, King.”

Dahi Claire berkerut sedikit mendengar nama panggilan Rainer. Mereka beriringan berjalan menuju rumah besar.

Netra Claire berotasi. Rumah ini berada di dataran tinggi. Mereka harus menaiki banyak anak tangga sebelum mencapai pintu utama.

Sampai di ujung anak tangga, Claire mengambil napas panjang penuh kelegaan. Kaki-kakinya sakit karena harus berjalan di tanah berumput. Kini, ia harus naik tangga yang tidak sedikit.

Mereka melewati taman yang lagi-lagi berumput lebat. Untungnya, ada jalan setapak dengan batu-batu hingga Claire tidak perlu lagi menginjak rumput. Namun, sayang, tetap saja heels Claire tersangkut di sela batu.

“Akh,” pekik Claire pelan yang langsung memegangi kakinya.

Dengan cepat Rainer menghampiri. Ia menyediakan bahunya agar Claire dapat berpegangan sementara lelaki itu menarik heels sang istri keluar dari sela-sela batu.

“Terima kasih,” ucap Claire tulus pada Rainer.

“Hati-hati, My Lady.”

Maya dan Adam terlihat menggeleng samar. Kedua orang tua Rainer mendahului mereka masuk ke dalam rumah. Claire dan Rainer berjalan pelan menuju pintu masuk.

“Kamu berhutang penjelasan,” bisik Claire pada Rainer.

“Penjelasan bagaimana?”

“Tentang siapa dirimu.”

Rainer mengembuskan napas berat. “Itu sebabnya kamu ada di sini, Claire.”

Lelaki itu membuka pintu. Hampir seluruh rumah bernuansa kayu. Juga perabotannya. Klasik. Begitu kesan pertama Claire.

Mereka masuk di ruang keluarga. Seorang wanita yang duduk di depan televisi memperhatikan Rainer.

“Granny.”

Sosok yang dipanggil Rainer adalah seorang wanita tua yang duduk di kursi goyang. Tatapannya terlihat kosong saat Rainer berbicara dengannya. Walaupun sesekali, wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

Namun begitu, Rainer terlihat sangat santun dan menyayangi wanita tua itu. Rainer memanggil Claire untuk mendekat. Wanita itu datang menghampiri.

“Granny, ini Claire. Istriku.”

Sungguh, Claire takut pada tatapan yang diberikan Granny. Walaupun terlihat kosong, tetapi seakan dapat menusuk sanubarinya.

Claire menjabat tangan keriput tersebut. Tiba-tiba, Granny menatap cincin emerald di jari manisnya. Setelahnya, ia menatap Claire dalam-dalam.

“Granny terserang penyakit Alzheimer sejak tiga tahun yang lalu,” lirih Maya, yang menghampiri dan kini berdiri di samping Granny.

Senyum penuh pengertian diberikan Claire. “Aku turut prihatin.”

Mereka lalu berkumpul di meja makan. Claire takjub melihat isi meja makan. Pie apel, buah-buahan, puding, salad, daging asap, ayam panggang utuh, sup daging dan entah apa lagi nama makanan lainnya.

Maya menyiapkan makan untuk Adam, suaminya. Berbanding terbalik dengan Claire yang hanya diam sementara Rainer melayaninya.

“Mmm … Rainer, kamu tau aku tidak makan daging di malam hari.” Claire memprotes isi piringnya.

Sontak, kedua orang tua Rainer menatap Claire. Mereka juga melirik isi piring wanita itu. Baru tersadar bahwa putra mereka yang menyiapkan makanan untuk istrinya.

“Makanlah apa pun yang sudah dihidangkan di meja, My Lady.” Rainer membalas dengan senyum penuh sayang pada Claire.

Tentu saja senyum itu adalah senyum penuh kepura-puraan. Claire sadar Rainer tak suka mendengar kalimat yang meluncur dari bibirnya barusan. Namun, lelaki itu berusaha santun di depan Maya dan Adam.

“Tidak sopan menolak makanan yang disiapkan Mamaku. Makan semuanya.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
uvuvwevwevwe osas
wow Rainer bs nyetir heli
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status