POV ZAVIERHari-hari kami sebagai mahasiswa telah dimulai. Untungnya, jam masuknya tidak kepagian seperti jam masuk saat sekolah. Hari Senin di kampus juga tidak ada upacara seperti saat sekolah, jadi kesannya lebih santai.Matahari belum sepenuhnya tinggi saat mobil Jeep milikku melaju pelan menuju Fakultas Teknik untuk mengantar Aluna lebih dulu. Ya, meskipun fakultas kami berbeda, aku selalu menyempatkan diri mengantar jemputnya.“Jangan lupa nanti makan siang, walau sibuk dengan tugas,” kataku sambil mencium keningnya pelan.Dia mengangguk sambil tersenyum, lalu membalas dengan mencium tanganku seperti para istri pada umumnya. Aku suka itu. Maksudku, aku suka apa pun tentangnya. Terkadang, meski aku yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tugas-tugasku tak lepas dari campur tangan Aluna. Tangannya cekatan, otaknya cukup pintar, dan ... aku yakin Tuhan memberi keindahan yang lengkap dalam dirinya. Keindahan yang patut untuk aku sy
Hari ini, tibalah akhirnya kami pada penghujung status sebagai anak SMA.Tiga tahun penuh drama, tangis, tawa, tugas dadakan di sela-sela masih ingin bermain, telah resmi berakhir. Rasanya absurd kalau mengingat bahwa 2 tahun lalu aku masih berada di sekolah Melbourne. Lalu, pindah ke SMA Pelita Nusantara Indonesia ketika kelas 3 karena diam-diam sibuk menyusun strategi balas dendam.Aku memaksa pulang dan meminta pindah sekolah ke Indonesia karena ingin mencari keadilan, untuk membongkar tabir rahasia di balik kematian saudara kembarku.Namun, siapa sangka ... di tengah luka dan dendam yang memenuhi ruang dalam dada, aku justru menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam.Aku bertemu Zavier, pria yang membuat hari pertamaku sekolah di Indonesia sangat menyebalkan, tetapi sekarang justru dengan tidak terduga, dia menjadi suamiku.Meski aku hanya sekolah di sini selama kurang lebih setahun, rasanya seperti seumur hidup. Terlalu
Aku melotot, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulut Zavier.“Bentar-bentar? Lo—lo pacaran sama Mira … biar dia gak gangguin Kak Alina?” tanyaku pelan, masih setengah syok, seperti melihat film yang penuh dengan plot twist.Zavier mengangguk pelan. “Hm. Gue hanya enggak tega liat dia diperlakukan semena-mena terus. Ya, walaupun gue terbilang ditakuti di sekolah, tetapi gue juga punya hati tidak tegaan, Lun. Gue ngerasa perlu bertanggung jawab melindungi Alina karena dia diperlakukan buruk oleh Mira gara-gara Kakak gue. Gue pikir, kalau gue deketin Mira, dia bakal sibuk ngatur hubungan kami dan lupa buat nyakitin Alina.”Aku terdiam. Mulutku terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Terlalu syok mendengar fakta itu. Belum sempat berbicara, Zavier kembali melanjutkan, “Lo mungkin berpikir itu rada tidak masuk akal, tetapi begitulah faktanya, Lun. Gue enggak punya kuasa buat nasihatin Kakak gue yang jatuh cinta sama
Aku langsung melongo. Tiba-tiba pikiranku isinya kotor semua mendengar pertanyaan Maya yang agak gimana gitu? Untungnya, aku bisa menguasai diri dengan cepat. “Panjang apaan?” “Itu, masa depannya Zavier. Dia bilang panjang, tapi yang bisa memastikan kebenaran omongan dia cuma lo, Lun. Toh, cuma lo yang tau.”“Ih, Maya! Pembahasan lo udah ke mana-mana. Itu rahasia rumah tangga tau, tidak boleh diumbar-umbar,” celetuk Larissa. Pesona Mamah Dedeh-nya sudah keluar.“Tuh, dengerin Bu Ustazah ngomong, May,” cicit Lila sambil terkikik geli.“Jadi, waktu kalian mengaku pacaran, itu sudah nikah?” tanya Maya lagi.“Sudah. Kami ngaku pacaran biar bisa deket-deket tanpa ada yang curiga.” Zavier menjawab apa adanya.Namun, belum sempat ia berbicara lagi, aku meralat dengan tegas. “Dia doang yang mau dekat-dekat, gue tidak.”“Dih, gitu banget.” Zavier menjawil pipiku membuat teman-teman kami berteriak heboh. Astaga! Baru be
Tiba di rumah, Bunda yang duduk di sofa sambil menangis ditenangkan oleh Ibu mertua beranjak begitu melihatku dan Zavier memasuki rumah. Berlari, memelukku membuatku nyaris ambruk karena terdorong ke belakang. Aku bisa rasakan, pelukannya adalah pelukan takut kehilangan. “Kamu selamat, Nak. Bunda syok banget lihat berita pesawatmu kecelakaan,” ucap Bunda di tengah isakannya. “Aku terlambat kena macet ada kecelakaan waktu ke bandara. Jadi, tidak bisa ikut penerbangan itu, Bunda,” jelasku. Bunda melepas pelukannya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, menangkup wajahku. “Ke depannya, kalau orang tua melarang pergi, kamu harus dengerin, ya. Biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untung baik, Tuhan masih berpihak padamu sehingga terhindar dari marabahaya.” “Iya, Bunda. Maafkan Aluna.” “Bunda itu sangat takut kehilangan kamu, Nak. Bunda sudah pernah merasakan kehilangan anak, dan sekarang
Aku sempat tertegun dengan perbuatan Zavier. Namun, detik kemudian, aku sontak mendorong wajahnya dengan telapak tangan.“Ih, jangan genit di sini. Banyak orang,” bisikku cepat.Akan tetapi, bukannya menjauh, dia malah tetap melingkarkan kedua tangan di pinggangku, seolah dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak.“Ayolah, satu icip aja, Sayang,” bisiknya memohon dengan gaya manjanya yang nyebelin itu. “Kan, gue suami lo. Dosa tau nolak suami.”Aku mendecak pelan. “Enggak bisa, Zav-Zav. Ini tempat umum. Lo mau kita dihakimi massa karena dikira pasangan mesum?”Zavier cemberut, tapi tidak melepas pelukannya. “Hm, baiklah! Ke depannya, jangan main pergi lagi, ya,” katanya, kali ini menatapku serius. “Gue enggak suka lo main pergi gitu aja, mana enggak bilang-bilang dulu. Bikin panik. Itu namanya istri enggak sopan sama suami.”Aku menunduk, menyembunyikan senyum melihat raut wajahnya yang tampak sedikit kesal. Meski begitu, aku j