MasukTok Tok Tok Kali ini Alingga langsung terjaga. Merasa pening sejenak sebelum menyadari sesuatu. Lelaki yang habis subuh tadi memeluknya, kini tidak ada lagi di sebelahnya. Apa sudah keluar kamar diam-diam? Pukul berapa sekarang? Alingga menyambar ponsel dan mendapati angka 07.50 di ponselnya. Oh, hari sudah siang rupanya! Tok Tok Tok Merasa tidak ada masalah pada baju, pintu kamar segera dihampiri dan dia buka. Wanita yang sempat membuatnya sedih, kesal, dan marah, tetapi kini mulai diterima kembali apa adanya, sedang berdiri di depan kamar. “Ada apa, Buk?” sapa Alingga dan lebih melebarkan lagi pintu kamar. Memasang wajah cerahya pada sang ibunda. Bu Riana tidak langsung menjawab. Tatapannya lama, ragu, seolah mencari kata yang tepat. Alingga ikut gelisah, dadanya menghangat oleh firasat. Keheningan menggantung, sebelum Bu Riana akhirnya sedikit maju dan membuka mulut. "Hanan sudah datang. Dia menunggu di meja makan. Temani makan pagi ya, sekalian kamu juga sarapan.
Meski sudah tahu siapa yang mengetuk pintu, rasanya tetap berdebar-debar. Bibir Alingga mengatup rapat, enggan terbuka untuk bersuara. Ada beban yang menggayut di dadanya. Lelaki di depan pintu pun sama, hanya diam menatapnya. Lampu ruang tengah hanya temaram sebab sorot lampu dari dapur saja. Wajah Zoe terlihat samar dengan mata tajam berkilatnya saja yang terukir dalam pandangan Alingga. Tatapan mereka saling mengunci dalam keremangan. “Ini pukul berapa, memangnya ada apa malam-malam mencariku?” tanya Alingga setelah berpikir jika mereka tidak bisa diam terus. . Zoe mengangkat alisnya. “Sekarang... pukul dua belas malam. Ada apa … tidak ada apa-apa tetapi aku hanya ingin menagih janji padamu, Alingga.” Zoe membuka mulutnya dengan mengeluarkan jawaban lirih. Kakinya maju satu langkah. Alingga tidak merespon apapun saat tiba-tiba Zoe mendorongnya ke dalam kamar dan menutup pintu kembali rapat-rapat. Mengikuti setiap gerak geriknya tanpa mampu melayangkan protes. "Apa yan
“Kapan dia akan menikahi Alingga?” tanya Zoe dengan nada datar, tetapi matanya tajam mengamati setiap reaksi di wajah Alingga dan Bu Riana. “Katanya sesegera mungkin, Mas. Setelah Lingga resmi dikenalkan pada keluarganya,” jawab Bu Riana sambil melirik putrinya penuh tanya. Alingga menunduk, sepeti sangat berat untuk tersenyum. Alingga memang diam saja, seolah kabar yang dibawa ibunya hal biasa. Padahal itu perkara kejutan yang harusnya direspon dengan ekspresi yang lebih cerah. Perempuan mana tidak bahagia … lelaki yang konon dicintai, sudah lama tidak bertemu, sekali kembali berjumpa langsung izin menikahi pada orang tua. Tetapi anak gadisnya justru terlihat hambar saja. “Ling, kamu tidak gembira?” tanya Bu Riana dengan nada hati-hati. Alingga menggigit bibirnya, menatap wajah ibunya lama. Seolah sedang mencari dan memilih kata yang paling aman untuk diucapkan. “Aku… lega, akhirnya dia menemuimu untuk benar-benar melamarku. Terima kasih restumu, Buk.” Alingga berbicara d
Zoe kembali berjalan sambil menunggu jawaban Alingga. Tetapi hingga puluhan meter, tidak terdengar juga suaranya. Langkah kaki panjangnya kembali dihentikan. “Jadi, tidak masalah aku katakan pada Hanan apa hubungan kita sebenarnya?” tanya Zoe. Alingga tidak kunjung mengabulkan pintanya. “Kumohon jangan. Aku tidak ingin dia tahu pernikahanku denganmu, Pak Zoe. Dia pasti akan sangat kecewa dan merasa sakit hati saat menganggapku berkhianat. Apapun alasanku melakukannya!” Alingga menegaskan dengan suara cukup keras. “Jadi, jika itu inginmu, malam ini aku akan tidur denganmu ...?” Zoe telah kembali berjalan. Lagi-lagi harus menunggu jawaban dari pertanyaan yang sama. Telah dikatakan terus terang syarat untuk tutup mulut dari Hanan tetapi Alingga terus menolak. “Apakah penting bilang pada Hanan sampai saratnya sangat berat?” tanya Alingga yang tidak lagi rebah di punggung sebab kesal dan perasaan yang gelisah. Ketidakpatuhan Zoe pada sepakat pernikahan semakin menjadi. Niat membong
Alingga mematung. Pertanyaan Zoe membuatnya sakit kepala. Tanpa berpikir pun, mengakui betapa baik lelaki itu. Tetapi Hanan adalah lelaki pertama di hatinya hingga kini dan tidak ingin mengkhianati. “Maafkan aku, Pak Zoe.” Alingga tegas menyahut. Menatap lebar-lebar Zoerendra seolah hatinya seteguh batu karang di lautan. Lelaki itu memicingkan mata sebelum berpaling jauh ke arah lain. Zoe kembali menatapnya dengan dalam. “Mana ada seorang suami ketika hasrat sudah di ujung tanduk, rela menahannya demi lelaki lain. Aku adalah suami yang terpaksa menjaga darah perawan istri untuk lelaki lain. Sudah berapa kali aku mampu melakukannya? Itu semata sebab aku begitu baik padamu. Bukan karena aku lelaki lemah, Alingga.” Tiba-tiba Zoe beringsut mendekati Alingga dan merengkuhnya. Alingga tidak kuasa menolak saat tangan kekar itu memendam tubuh langsingnya serta kepala mungilnya ke dalam pelukan. “Terima kasih, maafkan aku, Pak Zoe,” ucap Alingga dengan rasa sesak di dadanya. Tiba-t
Sebab jarang berolahraga, 1 km bukanlah jarak yang sangat mudah ditempuh oleh Alingga. Merasa cukup lelah dan sedikit terengah. Maklum, keduanya berjalan sangat cepat demi mengejar sunset agar lebih jelas lagi dilihat dari dekat di area pantai. “Cukup di sini saja, Pak Zoe. Aku sungguh lelah.” Alingga berhenti, tidak sanggup lagi mengimbangi langkah cepat dan panjang lelaki itu. "Mau kugendong lebih dekat ke sana?" tanya Zoe dengan ekspresi sungguh-sungguh. Pandangan nya ke arah garis pantai. Banyak orang bermain air sambil diguyur ombak yang menerjang lembut sebatas mata kaki hingga betis. "Ah, aku bukan anak-anak. Memalukan!" respon Alingga, terlihat salah tingkah. Zoe tersenyum lebar dengan reaksinya. Mereka sepakat duduk berselonjor di hamparan pasir putih yang jauh dari bibir pantai. Menghadap sisi barat searah posisi lautan yang sebentar lagi benar-benar akan menenggelamkan matahari. Warna orange, jingga, kuning emas, dan merah telah berpadu membentuk warna khas s







