Share

Hadiah Bulan Madu

"Swiss??"

Bola mata indah Rhein membulat ketika usai acara pesta pernikahan, maminya memberi kado paket bulan madu ke Swiss untuknya dan Sean.

"Iya, Mami sudah pesankan paket honeymoon untuk kalian berdua selama 5 hari di sana!" Veronica menyerahkan sebuah amplop berisi tiket pesawat lengkap dengan voucher hotel dan tempat pariwisata selama berada di sana.

Dengan tangan gemetaran, Rhein menerima amplop berwarna putih itu. Sesekali ia melirik Sean yang bergeming tak jauh darinya.

"Tiket pesawatnya untuk besok lusa! Jadi segera siapkan koper kalian berdua besok," sambung wanita paruh baya yang masih mengenakan gaun pestanya itu.

"I-iya, Mi."

Sungguh di luar dugaan, Rhein tak menyangka bila kejutan dari sang mami berhasil membuatnya terkejut setengah mati. Ia pikir setelah resmi menikah, ia akan terbebas dari intervensi maminya. Namun, kenyataan justru berkata sebaliknya.

Sepanjang perjalanan pulang dari gedung, Sean dan Rhein tak saling bersuara. Sean fokus menyetir sementara Rhein sibuk mencari alasan untuk tak pergi ke Swiss. Namun, alasan apapun akan terasa janggal di telinga karena Rhein sudah terlanjur mengatakan bila ia akan cuti selama seminggu pada maminya.

Hingga mereka berdua tiba di gedung apartemen dan memasuki lift, keheningan dan kebekuan tak luput mengikuti keduanya. Amplop putih yang berada di tas Rhein membuatnya menghela napas panjang.

"Kamu mau berangkat?" tanya Rhein canggung.

Sean mengernyit bingung. "Berangkat ke mana?" Pria itu malah balik bertanya.

Dengan sangat hati-hati, Rhein menarik amplop itu dari tas dan menyerahkannya pada Sean. Untuk beberapa detik, Sean memeriksa isi amplop itu dengan teliti sebelum kemudian ia mengembalikannya pada Rhein.

"Besok lusa?" gumamnya lirih.

Rhein mengangguk cepat. "Aku sebenarnya tidak ingin berangkat. Tapi mami pasti akan kecewa kalo tahu aku menolak hadiah darinya."

"Baiklah. Kalau begitu mari kita berangkat!"

Rhein terbelalak. "Kamu serius?"

"Bukankah tujuanmu menikah untuk membahagiakan mamimu? Jadi mari kita bahagiakan beliau sekali lagi dengan menghargai hadiah darinya," putus Sean lugas.

Cara Sean berbicara seolah-olah dia adalah pria yang peduli pada keluarga Rhein. Dia sendiri kaget dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

Hingga keduanya tiba di lantai tujuan, suasana kembali hening dan kaku. Sean langsung masuk ke dalam kamarnya yang berada di belakang, sementara Rhein masih terpaku di depan pintu kamarnya sendiri.

**

“Wangi sekali. Apa yang kamu masak?”

Aroma sedap yang sangat nikmat di pagi hari terendus oleh indra penciuman Rhein yang baru saja bangun. Netranya menangkap sosok Sean yang sedang sibuk memasak sesuatu.

Pria itu menoleh ketika ekor matanya menangkap seseorang sedang melangkah menuju ke dapur. "Sudah bangun?" sapa Sean ramah dengan senyumannya yang khas. "Aku hanya menemukan bahan-bahan ini di kulkasmu. Jadi, aku memasaknya untuk kita berdua."

"Aku tidak sarapan, Sean. Kamu makanlah sendiri," tolak Rhein sembari menghampiri lemari kabinet dan meraih sebuah gelas dari sana.

Gerakan tangan Sean yang tadi sangat bersemangat, perlahan mengendur setelah mendengar penolakan Rhein. Ia menoleh pada wanita yang kini sudah berstatus menjadi istrinya itu dan menghembuskan napas singkat.

"Kamu mau makan apa? Biar aku–”

"Tidak perlu repot-repot mengurusiku. Bukankah kita sudah sepakat untuk hidup masing-masing?" potong Rhein dengan ketus.

Tangannya yang masih memegang gelas berisi air, perlahan semakin mengeratkan genggaman itu dan menatap Sean dengan tajam.

"Aku hanya menyewamu, Sean. Aku tidak butuh apapun darimu selain status sebagai suami!" lanjut Rhein tanpa ampun.

Melihat suasana hati wanita di hadapannya ini sedang tak baik, Sean memilih untuk mengalah. Ia berpaling dan kembali sibuk mengaduk nasi goreng mentega yang sudah matang itu.

"Baiklah. Maaf jika aku sudah berbuat lancang padamu.”

Bukannya merasa senang, Rhein justru merasa semakin kesal mendengar Sean meminta maaf. Kenapa malah terkesan dia yang jahat? Padahal Rhein hanya ingin memperjelas status mereka berdua agar Sean tak salah paham!

Sambil berdecak dan sesekali menghentakkan kakinya dengan kesal, Rhein pun memilih untuk kembali ke kamar. Melihat wajah polos Sean semakin membuat emosinya menggelora. Padahal, seharusnya pria itu paham mengapa Rhein menolak kebaikannya.

Melihat lembaran kertas di meja kerja membuat sebersit ide tiba-tiba muncul di kepala wanita itu. Dengan gesit, Rhein menarik selembar kertas dan menuliskan beberapa poin penting yang harus diperjelas antara dirinya dan Sean.

Perjanjian kontrak di Perusahaan Rental Suami sepertinya kurang gamblang membahas batasan-batasan yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Mereka hanya mencantumkan pasal kewajiban membayar sewa setiap bulan dan pasal-pasal lumrah lainnya. Tak ada pembahasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang selama masa kontrak berlangsung.

“Baiklah, biar aku perjelas,” gumam Rhein seorang diri.

Masih dengan semangat yang menggebu-gebu didalam hati, Rhein menuliskan semua hal yang terlarang untuk dilakukan oleh Sean. Setelah beberapa poin ia tulis dengan jelas, Rhein pun lantas memutuskan untuk mandi sebentar sebelum kemudian nanti menemui Sean di meja makan.

“Ini.” Rhein mengangsurkan secarik kertas ke arah Sean yang tengah menikmati sarapannya.

"Apa ini?"

Rhein menarik kursi dan menghempaskan pantatnya dengan kasar. "Bacalah! Jika ada yang kurang jelas, nanti aku bisa jelaskan dengan detail!"

"Bolehkah aku habiskan sarapanku dulu sebelum kita membahas ini?" pinta Sean seakan paham bila isi di kertas itu adalah hal penting yang akan menyita pikiran dan emosinya.

Rhein mengangguk, ia mempersilakan Sean melanjutkan sarapannya sementara ia sendiri mulai sibuk mengecek beberapa email pekerjaan yang masuk ke mailbox-nya.

Setelah beberapa menit berlalu, Sean kembali ke meja makan setelah mencuci piringnya. Ia meraih kertas yang tadi disodorkan oleh 'istrinya' itu lantas membacanya sekilas. Tatapan tajamnya mencermati setiap kalimat yang ditulis oleh Rhein.

Rhein meletakkan ponselnya setelah Sean selesai membaca kertas berisi perjanjian itu. "Bagaimana, Sean? Kamu setuju atau ada yang mau ditambahkan?"

Sean menggeleng. Ia lantas meraih bolpoin yang sudah disiapkan oleh Rhein dan menandatangani kertas bermaterai itu tanpa berkata apa-apa lagi.

"Bagus! Terima kasih banyak atas kerjasamamu." Dengan penuh percaya diri, Rhein mengulurkan tangan untuk bersalaman sebagai tanda kesepakatan.

Meskipun saat ini di hatinya terasa campur aduk, Sean tetap membalas uluran tangan itu dengan senyuman.

Untuk beberapa saat, waktu terasa menghentikan segalanya ketika senyuman itu terasa seperti menusuk di ulu hati Rhein. Ia segera melepas jabatan tangan mereka dan merampas kertas perjanjian mereka berdua. Sambil mengomel tak jelas, tubuh proporsional itupun berbalik lantas beringsut kembali ke dalam kamarnya.

"Aku akan meruntuhkan tembok itu, Rhein. Suatu saat kamu pasti akan mencintaiku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status