Share

Pengkhianatan di Depan Mata

Mobil telah memasuki halaman rumah. Ganendra merapikan baju yang ia pakai dengan sedikit kesal. Alleta melihatnya sambil tersenyum nakal kemudian tertawa kecil karena ia sengaja tidak menuntaskan semua hasrat Ganendra yang telah ia bangkitkan. Setelah yakin  semua pakaiannya rapi, Ganendra turun dari mobil. 

 

Tamu masih banyak yang berdatangan. Bukan hanya kerabat dan teman-teman bisnis saja, utusan pejabat bahkan pejabat itu sendiri pun banyak yang hadir. 

 

Koneksi yang dimiliki Darma bukan main-main. Ganendra pun menemui mereka satu per satu. Memberi salam serta berbagi sedikit kenangan tentang Darma dengan orang yang ia temui. Tak lupa juga kalau ia harus terus menerus memberi jawaban atas keberadaan Sassi saat ini. 

Batinnya berucap, sungguh hari yang membosankan.

 

Ganendra melirik ke arah Alleta, gadis itu pun sama sibuknya dengan dirinya. Sesekali pandangan mereka bertemu. Menyiratkan hasrat terlarang dan mendesak untuk disalurkan. 

 

Dalam keadaan seperti ini, entah mengapa adrenalin Ganendra melonjak berkali-kali lipat. Alleta memang memberi sensasi yang berbeda jauh dengan Sassi.

 

Bagi Ganendra, Alleta mampu memenuhi semua imajinasinya sebagai seorang laki-laki. Berbanding terbalik dengan Sassi yang cenderung monoton.

"Ganendra," panggil seorang laki-laki berkacamata yang kini sudah berada di depannya.

 

"Jika kau perlu istirahat, biar aku yang menggantikan menerima tamu," ucap Gie, Kakak laki-laki Alleta.

 

"Ya? Hmm ..." Ganendra agak tidak siap mendapat pertanyaan yang membuyarkan lamunannya.

"Kau juga pasti lelah. Hari sudah menjelang malam. Istirahatlah sebentar. Oya, Sassi belum juga pulang?" lanjut Gie lagi.

 

"Iya, belum pulang dia," jawab Ganendra.

Mereka berdua berjalan menuju ruang keluarga, di mana tidak ada tamu yang masuk ke sana. Ganendra menuju sofa, duduk dan menyandarkan kepalanya. Benar sekali, ia sangat lelah.

 

"Kau sudah menelfonnya? Apa dia baik-baik saja?" tanya Gie yang duduk di sofa lainnya.

 

"Ada Abdi bersamanya, Gie. Jadi aku yakin, Sassi akan baik-baik saja," jawab Ganendra.

 

Gie terdiam saat mendengar jawaban Ganendra. Sudah lama ia merasa keganjilan di antara Sassi dan Abdi.

 

"Apa kau nggak merasa, bahwa kau begitu santai dengan keberadaan Abdi di samping Sassi?" tanya Gie. 

 

"Eh, sorry mungkin gak sepantasnya aku bertanya hal seperti ini sekarang," lanjut Gie sambil membenarkan letak kacamatanya.

 

Ganendra menegakkan kepalanya kemudian memandang serius ke arah Gie.

 

"Lho? Memangnya menurutmu, aku harus bagaimana, Gie?"

 

"Entah. Aku melihat mereka terlalu dekat. Apa nggak papa seperti itu?"

 

"Sebelum aku datang ke keluarga ini, mereka memang sudah dekat. Jadi agak sulit memisahkan mereka."

 

"Terus, kau nggak terganggu dengan kedekatan mereka, Gan?"

 

"Aku bingung harus menjawab apa untuk pertanyaan itu," jawab Ganendra sambil mengangkat bahunya.

 

Percakapan mereka terhenti saat melihat Alleta datang ke arah mereka. 

 

"Astaga ... gak ada habisnya tamu yang datang," ucap Alleta sambil membanting ringan tubuhnya ke atas sofa.

"Kau juga sebaiknya istirahat, Al," ucap Gie.

"Lalu siapa yang akan menyambut tamu, Gie. Kau mau?" tanya Alleta yang hanya berbeda satu tahun dari usia kakak laki-lakinya itu.

"Di depan ada Mama dan Papa. Juga ada Kianu," ucap Gie menyebut adik bungsunya juga.

"Iya, tadi juga sudah ketemu mereka," jawab Alleta.

"Semakin malam, akan semakin banyak tamunya. Ruangan ini juga nanti akan penuh dengan keluarga yang berkumpul. Jadi menurutku, lebih baik kalian istrahat saja di paviliun," ujar Gie.

"Usul yang bagus. Aku duluan ya, Mas Ganendra," ucap Alleta berpamitan seraya mengangkat tubuhnya dengan enggan.

"Lho, mau ke mana, Kak Al?" tanya Kianu yang baru saja muncul di ruang keluarga.

"Paviliun. Istirahat, ah. Capek," jawab Alleta sambil melangkah gontai.

Kianu menghampiri Ganendra dan juga Gie.

"Kak Al kayaknya capek banget. Mas Ganendra juga. Mau Ki ambilin minum atau makan, Mas?" tanya Kianu yang baru saja duduk di sofa.

"Mas. Mas Ganendra ..."

"Mungkin Ganendra tidur, Ki. Biarkan saja. Belum istirahat dari pagi sepertinya. Sama seperti Al," jawab Gie.

Ganendra membuka mata kemudian mengusap wajahnya beberapa kali. 

"Sepertinya kau benar, Gie. Aku harus istirahat," ucap Ganendra.

"Ya. Biar kami yang urus di sini."

"Oke. Thanks ya."

Ganendra bangkit kemudian berjalan menuju paviliun. Letak paviliun berada di samping rumah utama. Ada beberapa paviliun di sana. Ganendra menuju paviliun yang paling belakang. Ia yakin Alleta berada di sana.

Ganendra membuka pintu paviliun. Alleta menyambutnya dengan senyum menggoda. 

"Kenapa lama sekali?" tanya Alleta.

Ganendra tersenyum menyambut pelukan gadis itu.

"Sudah selesai mandi rupanya," ujar Ganendra.

"Iya. Bosan menunggu," jawab Alleta.

Ganendra segera menghampiri Alleta. Ia lepaskan segala hasrat. Segala keinginan dan juga kekesalan atas analisa yang tadi Gie sampaikan padanya. Ia tak lagi peduli dengan keadaan atau pun suasana berduka cita yang sedang terjadi di rumahnya.

Hari menjelang malam, sebuah mobil Range Rover memasuki halaman. Sassi dan Abdi telah tiba di rumah. Kedatangan mereka disambut oleh kedua orang tua Alleta.

"Kau baru pulang, Sassi? Sudah makan?" tanya Cindy, mamanya Alleta.

"Sudah, Tante."

"Masuklah. Istirahat dulu."

"Kak Sassi mukanya pucat sekali," ucap Kianu begitu melihat Sassi.

"Abdi, sebaiknya kau antar Sassi istirahat dulu," pinta Lukas, papanya Alleta.

"Iya, Kak. Di paviliun saja. Tadi aku lihat Mas Ganendra juga istirahat di sana," ucap Kianu.

"Benar, Sassi. Istirahatlah. Biar Tante dan Om wakilkan kamu di acara malam ini," ujar Cindy.

"Biar aku antar kau ke paviliun," ajak Abdi.

Sassi mengangguk pelan. Abdi segera mendampingi Sassi berjalan menuju paviliun.

"Kenapa mereka selalu bersama? Padahal Sassi sudah menikah," gerutu Gie yang baru saja melihat mereka.

"Gak perlu iri begitu, Gie. Salah sendiri, kenapa gak pernah kau ungkapkan perasaan terpendammu dari dulu pada Sassi," ujar Kianu mengejek, membuat Gie meninju bahunya.

Abdi dan Sassi telah sampai ke paviliun. Sassi memilih paviliun belakang, kamar yang biasa ia tempati saat belum menikah. Abdi berhenti tak jauh dari pintu paviliun.

"Masuk dan beristirahatlah. Besok kau bisa lanjut menangis lagi," ucap Abdi.

Sassi melihat ke arah Abdi tanpa ekspresi. Kemudian ia pun berjalan memasuki paviliun.

Abdi tetap berdiri mengiringi langkah Sassi dengan pandangannya. Ia paham, bahwa hari ini adalah hari terberat bagi Sassi.

 Setelah memastikan Sassi masuk ke dalam paviliun, ia pun segera melangkah kembali ke rumah utama.

Abdi berniat bergabung bersama Gie dan Kianu yang berada di teras samping. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Kianu menunjuk ke arahnya dan memanggil Sassi dengan kencang.

"Sassi! Abdi, Kak Sassi, Di," teriak Kianu sambil menunjuk ke arah Sassi.

Abdi menoleh ke belakang. Ia melihat Sassi berjalan sempoyongan sambil memegang kepala ke arahnya. Abdi segera berlari ke arah Sassi. 

Tubuh Sassi mulai tak terkendali. Beruntung Abdi sempat menangkap sebelum Sassi terjatuh. Sassi pingsan. Kianu dan Gie segera menghampiri mereka. Abdi menggotong Sassi ke dalam mobil.

"Gie, kau ikut aku. Jaga Sassi di belakang. Kita ke rumah sakit."

________________

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status