"To..long aku.." Seorang pemuda berusia 21 tahun itu berupaya mengeluarkan suaranya yang serak bercampur lelah. Tubuhnya terkulai di lantai lapangan basket yang berdebu. Wajah tampannya sudah dipenuhi keringat dan pakaian sekolah yang ia kenakan sudah lusuh dan kotor. Dari wajahnya, terlihat ekspresi ketakutan bercampur pasrah terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang bisa ia harapkan hanyalah keajaiban untuk dapat lolos dari situasi yang sedang ia hadapi saat ini.
"Gara-gara kamu, kami kena hukuman lagi. Berani sekali ya, kau mengadu? Ini akibatnya kalau kamu mencoba melawan pada kami." Salah seorang siswa laki-laki menarik kasar kerah kemeja pemuda itu, lalu kembali melayangkan tinjunya.
Buagghh! Buggh! Brakk! Dua pukulan menghantam kepalanya.
"Ukh...!" Pemuda malang itu mengerang kesakitan. Dia merasakan kepalanya berdentam dan matanya mulai berkunang-kunang. Tubuhnya menggeliat tak berdaya. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya dan tiga orang siswa lainnya yang tengah membullynya.
Suara tawa keras menggema. "Dasar tidak berguna. Usia sudah 21 tahun tapi masih anak SMA. Kenapa nggak mati aja, sih? Sudah penyakitan gitu, masih aja nggak tahu diri." Dengan cepat siswa lelaki itu mengeluarkan pisau dari kantong celana seragamnya. Tetapi salah seorang temannya dengan segera menahan tangannya
"Hei, kamu mau ngapain? Nanti dia beneran mati lho. Kita kan cuma mau kasih dia pelajaran. Jangan terlalu berlebihan!"
"Tenang, aku cuma mau buat tanda di mukanya aja kok." Seringai siswa lelaki itu membuat bulu kuduk berdiri. Sepertinya dia memang memiliki jiwa psikopat. Dia tidak berpikir, apa resikonya jika ia sampai berbuat seperti itu.
"Kamu itu memang paling brengsek. Cuma tampang yang dia punya, itupun mau kau hancurkan juga. Ckckck." Temannya itu menggelengkan kepala.
Alasan siswa lelaki itu ingin mencoret wajah pemuda malang tersebut tidak lain karena faktor iri dan dengki. Pemuda malang itu bernama Green Williams. Ia sangat tampan dan wajahnya tidak seperti umumnya wajah Asia. Hal itu membuat kebanyakan siswa lelaki di sekolah itu menjadi jengkel padanya.
Green merasakan napasnya sesak dan pandangannya semakin memburam. Apa penyakitnya akan kumat? Tidak, tidak boleh! Tuhan, jangan biarkan penyakitnya kambuh, mereka akan semakin menggila untuk menghajarnya nanti. Green memaksakan diri untuk tetap membuka mata. Sungguh ia takut sekali jika penyakitnya kumat di tempat itu, karena jika dia kambuh, dia semakin tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Setidaknya jika dalam keadaan sadar, Green masih bisa melindungi organ vitalnya.
"Sudah deh, kalian berdua ini jangan bikin masalah besar. Dia sudah sekarat begitu. Lebih baik kita balik. Aku bosan di sini terus." Seorang temannya yang lain ikut membuka suara. Sedari tadi kedua temannya sibuk menghajar Green, sementara dia hanya asyik menonton.
"Tunggu sebentar. Aku mau coret pipinya! Wajahnya itu membuatku muak! Gara-gara dia, Ghania malah jauhi aku!" Siswa lelaki itu mendekat pada Green dan mencengkeram rahangnya kuat. Memaksa Green mendongak padanya. Lalu ia pun mengarahkan pisaunya pada pipi lelaki malang itu. Baru saja ia hendak akan menekan pipi Green dengan mata pisau, suara langkah kaki terdengar. Mereka bertiga seketika menoleh ke sumber suara.
"Ada yang datang. Ayo kita pergi dari sini!"
"Ayo, cepat. Ngapain lagi kau?" Salah satu dari mereka menarik lelaki yang memegang pisau.
"Biarkan aku melakukannya sebentar!" pekiknya geram dan langsung dibekap oleh salah satu temannya, sementara tubuhnya sudah diseret paksa oleh mereka.
"Kau mau dipecat dari sekolah ini? Kalau ketahuan bisa gawat. Jangan jadi orang gila!" Seru temannya marah dengan suara pelan. Mereka pun berlari melalui jalur pintu lain dari ruang basket tersebut.
Green mengatur napas. Rasanya tubuhnya sulit sekali untuk digerakkan. Maka dari itu dia memilih diam sejenak. "Hah.. Hah.. Hah.." Green bernafas perlahan. Berupaya menenangkan diri. Mudah-mudahan penyakitnya tidak kumat di saat seperti ini.
Baru beberapa detik, suara langkah kaki itu semakin jelas, ternyata di sana ada dua orang gadis yang masih berpakaian olahraga sedang berjalan melewati ruang lapangan basket tersebut.
"Lihat itu!" Suara seorang gadis terdengar samar-samar di telinga Green.
"Itu, itu bukannya Green? Jangan-jangan penyakitnya lagi kambuh?" sahut seorang gadis lainnya. Green sedikit bergerak begitu mendengar suara gadis yang kedua. Gadis yang kedua adalah gadis yang benar-benar disukai Green di sekolah itu. Namanya Ghania Winata. Itu sebabnya walau pendengarannya samar-samar saat ini, tetapi begitu perempuan itu yang bersuara, dia langsung cepat mengenali suara itu.
"Ghania.. Ghania," gumamnya pelan.
"Eh? Dia memanggilmu. Bagaimana ini? Aku takut." Temannya Ghania tampak panik. Ghania bingung harus berbuat apa. Apa dia harus mendekat saja dan menolongnya? Bagaimana kalau temannya itu bercerita pada yang lain? Dia tentu akan mendapat ejekan karena bersikap peduli pada Green.
"Aku.." Ghania merasa ragu.
"Sudahlah. Aku jijik lihat dia. Kita pergi aja, yuk," ucap temannya Ghania.
"Kita pergi?" tanya Ghania tak percaya.
"Iya. Memangnya kamu nggak jijik?" tanya temannya dengan mata melotot.
"Eh, um.. Jujur aja, iya. Aku jijik banget," jawab Ghania terpaksa.
Deg..!
Jijik? Begitukah? Green memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya memang sakit tetapi hatinya jauh lebih sakit saat ini. Suara Ghania terdengar begitu lantang, sehingga Green mampu mendengarnya dengan baik. Sementara Ghania sendiri sedang merinding karena membayangkan kejadian yang lalu-lalu sewaktu penyakit Green kumat. Di satu sisi Ghania kasihan, tetapi di sisi lain dia takut menolong karena sewaktu penyakit Green kumat, itu tampak mengerikan menurutnya. Belum lagi dia akan mendapat ejekan dari teman-teman sekelasnya.
"Hmmm. Terus bagaimana? Kita pergi aja, ya. Repot banget kalau panggil guru lagi," ucap teman Ghania. Suasana memang sudah sore, dan mungkin hanya tersisa beberapa guru. Mereka biasanya berada di ruang kantor saat ini. Ruang tersebut memang cukup jauh dari lokasi itu. Mereka harus naik beberapa lantai lalu masih harus melewati koridor yang panjang.
Ghania diam beberapa saat lalu akhirnya membuka suara, "Ya sudah. Ayo kita pergi sekarang. Jangan sampai ada yang melihat kita."
Drap drap drap.. Mereka pun berlari meninggalkan Green yang sudah tak berdaya.
Selama beberapa bulan bergabung di sekolah itu, walaupun bisa dikatakan tidak dekat, tetapi Ghanialah yang selalu bersikap ramah kepada Green. Sementara siswa-siswa lain selalu menghindarinya. Bahkan kebanyakan suka sekali membullynya. Itulah sebabnya, Green jatuh hati pada gadis itu. Ghania tampak berbeda dari yang lain. Tetapi, apa yang didengarnya saat ini, sudah membuktikan bahwa Ghania ternyata sama saja dengan siswa-siswi lainnya.
Saat ini, Green lagi-lagi merasa tidak berguna. Dia berpikir, kenapa dia tidak mati saja? Bahkan seharusnya dia tidak perlu dilahirkan ke dunia ini.
***
Namaku Green. Margaku...maaf, aku cukup enggan menyebutkan margaku. Orang tuaku sudah membuangku sejak aku berusia lima tahun. Waktu itu mereka menyuruh pelayan yang merupakan pengasuhku, sejak aku bayi, agar membawaku jauh dari mereka. Dan sekarang di sinilah aku tinggal. Di salah satu kota di negeri ini. Aku tak perlu menyebutkannya di kota mana, karena kami sering berpindah tempat.
Saat orang-orang pertama kali memandangku, mereka akan terpesona dan menilaiku sempurna. Aku tidak melebihkan. Aku memang sangat tampan. Ya, begitulah kata mereka. Tetapi aku mengidap penyakit yang menjengkelkan. Dan karena penyakitku ini, tidak ada satu orang pun yang mau mendekatiku.
Apa kamu merasa kasihan padaku? Kalau memang iya, aku rasa kamu cukup baik. Di sekolahku, tidak ada siswa yang merasa kasihan padaku. Aku selalu ditindas. Jujur aku benar-benar sudah tidak tahan akan penindasan ini. Aku ingin segera mengakhirinya.
Kadang aku bermimpi penyakitku telah sembuh. Sering sekali aku bermimpi seperti itu. Rasanya bahagia sekali. Sayang, itu cuma mimpi. Dan setelah bangun, rasanya itu sangat menyesakkan di dada karena kutahu aku tak akan mungkin bisa sembuh.
Sepertinya, kamu ingin tahu aku sakit apa sebenarnya? Penyakitku ini umum diketahui hampir semua orang. Tetapi aku cukup malu mengatakan langsung padamu tentang penyakitku. Walaupun demikian, bersabarlah sedikit waktu, karena sebentar lagi kamu juga akan tahu.
"Untuk sementara tinggallah di rumah. Jangan ke mana-mana." Seorang lelaki paruh baya memperhatikan baik-baik keseluruhan tubuh Green yang sudah diobati. Dia adalah suami dari Mirna Wati, bibi pengasuh Green. Namanya, Budianto Assa. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Rafa Assa. "Terima kasih, Paman," ucap Green. Dia mencoba berbaring perlahan. Seluruh tubuhnya sakit sekali karena kejadian tadi sore. Beruntung setelah hampir lima belas menit tertidur di lantai lapangan basket di sekolah itu, Green akhirnya memiliki tenaga untuk beranjak dari sana dan berjalan pulang. "Rafa, tetaplah di sini temani kakakmu. Kalau ada sesuatu segera telepon Ayah. Ayah harus berangkat kerja sekarang untuk shift malam. Ibumu akan pulang satu jam lagi." "Iya, aku akan menemani Kak Green. Ayah tenang saja." Budianto Assa pun pergi berangkat bekerja menuju bengkel mobil tempat dia bekerja
Menjelang siang, Green berjalan perlahan memasuki gang menuju rumah. Suasana hatinya semakin memburuk karena kejadian di sekolah yang barusan dia alami. Dia hendak membuka pintu memasuki rumah, tetapi dia terhenti karena mendengar paman dan bibinya sedang berbicara dan tampaknya serius. "Sekolah khusus bagaimana maksudmu? Apa Green siap sekolah di situ?" tanya Budianto seolah tak setuju. "Harus siap. Ini demi masa depannya. Aku tak ingin dia dibully lagi. Kasihan dia," jelas Mirna Wati pada suaminya. "Bagaimana dengan biaya?" tanya suaminya. Suasana hening beberapa saat setelah Budianto menanyakannya. Sementara Green yang berada di luar ruangan, sedikit mengerutkan dahi. "Tuan Williams jarang mengirim uang. Dan bahkan sudah lewat setahun ini, dia tidak pernah mengirim uang lagi, kan? Kita tak akan sanggup menyekolahkan Green di sekolah khusus," ucap Budianto kemu
Hai, apa kabarmu? Kuharap sehat-sehat saja. Saat ini aku sudah berada di Ibukota. Kamu sudah tahu kan alasanku jauh-jauh datang kemari? Iya benar, itulah tujuanku. Apa kamu kecewa akan keputusanku? Sudah kuduga, kamu orang yang baik. Harusnya kamu tidak perlu memedulikan orang sepertiku. Sayang sekali, sepertinya kamu orang yang penuh rasa simpati, sehingga sulit untuk tidak peduli. Untuk mengurangi rasa bersalahku padamu, aku akan menjelaskanmu akan beberapa hal yang ada dalam pikiranku. Yang pertama, jika aku bertahan hidup, aku hanya akan menjadi beban seumur hidup bagi Paman, Bibi dan juga Rafa. Dan yang kedua, saat aku mati, aku terbebas dari segala penderitaan. Dunia ini kejam, sama sekali tidak ada tempat untuk orang lemah sepertiku. Maka dari itu, aku akan pergi untuk selamanya. *** Green melangkah perlahan. Ternyata tidak sulit mencari jembatan layang di ibukota. Lokas
Sebuah mobil bewarna hitam melaju kencang. Di mobil itu bunyi ponsel sedari tadi terus berdering membuat sang empunya merasa kesal. Si pengemudi mencari tempat untuk menghentikan mobilnya. Begitu berhenti, ia melihat siapa yang menelepon. "Papa?" gumamnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Pa," sapa Hana. "Hana, kenapa kamu malah membawa mobil Papa? Kan kamu bisa diantar sama supir," ucap Anton, ayah dari Hana. "Iya, Pa. Tadi aku buru-buru," jawab Hana sambil melirik ke kursi belakang, di sana ada kue dan minuman. "Apa kamu sudah sampai di tempat acara?" tanya Anton Winata memastikan. Hari ini akan ada acara peluncuran film oleh Williams Entertainment, salah satu perusahaan milik Williams Global Corporation. Dan Hana akan menjadi pasangan Marcell Williams di sana. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga Winata, karena Marcell Williams adalah cucu kandung dari Reyhans Williams, pemilik Williams Global Corporation.
Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa.""Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu."Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.Krek, tap, krek, tap.."Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.Krek, tap, krek, tap.."Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-a
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs