Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa."
"Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.
Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu.
"Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.
Krek, tap, krek, tap..
"Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.
Krek, tap, krek, tap..
"Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-apa. Turunlah!" Green sedikit berteriak melarang. Takut gadis itu akan jatuh. Tetapi gadis itu tetap memanjat dan hal itu semakin membuat Green khawatir.
Krek, tap, tap, krek.. Duggh!
"Aw.." teriak gadis itu terhenti. Sepertinya kakinya tak sengaja menendang salah satu penyangga.
"Hei! Ini benar-benar tinggi. Sangat berbahaya. Kumohon turunlah!" teriak Green kembali. Rasanya kacau sekali hari ini. Seorang gadis memanjat tiang yang tinggi hanya untuk mencegahnya bunuh diri. Membuatnya merasa sangat bersalah. Gadis itu masih diam di tempatnya dan mendongak.
"Jangan lompat! Aku akan segera ke sana!Tunggu aku! Apa pun masalahmu, kita bisa membahasnya!" Gadis itu membujuk dengan nada kental membuat Green bingung harus bagaimana. Padahal tadinya dia sudah bertekad bulat untuk mengakhiri hidupnya.
Gadis itu mulai melangkah, memanjat kembali. "Seseorang memilih bunuh diri pasti karena putus asa kan? Tetapi lelaki ini masih bisa memedulikan orang lain. Aku rasa tak akan begitu sulit untuk membujuknya," tebak Hana dalam hatinya.
"Uggh! Kakiku sakit." Hana menggigit bibirnya, kakinya terhenti.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya Green cepat melihat gadis itu berhenti kembali. Hana diam, dia memandang ke bawah dan langsung merasa pusing. Sepertinya dia baru menyadari bahwa dirinya takut ketinggian.
"Sepertinya aku tak akan sanggup ke atas. Bagaimana ini?" ucap Hana.
"Kamu?" Green semakin gusar.
"Aku..aku tidak sanggup ke atas. Tapi kuminta kamu jangan melompat," ucap gadis itu dengan suara bergetar. Green terdiam beberapa saat mendengar suara gadis itu yang tampak bergetar seperti akan menangis, sepertinya gadis itu sedang ketakutan.. Mata Green memandang ke bawah melihat gadis itu lekat dari jarak yang tidak begitu jauh. Gadis itu tak bergerak, mencengkeram erat tiang-tiang penyangga, memejamkan rapat matanya seperti sedang ketakutan.
"Kamu turunlah. Aku berjanji tak akan melompat hari ini," ucap Green memutuskan.
"Apa kamu yakin?" teriak Hana ragu.
"Iya. Begitu kamu turun, aku akan turun!" Green meyakinkan gadis itu. Sejenak gadis itu diam. Lalu akhirnya membuka suara.
"Aku..aku tidak bisa turun. Kepalaku pusing melihat ke bawah. Sepertinya aku takut ketinggian," ucap Hana jujur. Sebenarnya dia agak malu mengakuinya. Tadi saja, dia berlagak seperti pahlawan yang mau menolong lelaki itu. Tetapi ternyata dia tidak mampu bahkan untuk sekedar memanjat ke atas. Inilah salah satu sifat impulsifnya yang membuat dirinya kesusahan sendiri. Dia cepat saja memutuskan untuk memanjat padahal ternyata ia sama sekali tidak mampu.
"Aku akan turun sekarang. Tetaplah di situ, aku akan membantumu turun." Green segera menuruni tiang itu.
"Mudah-mudahan penyakitku tidak kumat di saat seperti ini. Aku harus bisa menolong gadis itu," gumam Green dalam hati.
Tap krek tap krek tap krek... Akhirnya dia sampai di tempat gadis itu berada. Green menoleh. Ditatapnya gadis yang memejamkan mata itu. Cantik sekali dan masih muda.
"Berikan tanganmu," ucap Green. Hana perlahan membuka matanya menoleh pada lelaki itu. Wajah mereka saling menatap.
Deg...!
"Indah sekali.. Apa ini yang dimaksud dengan kata sempurna?" ucap Hana dalam hati.
Tanpa sadar mulutnya sedikit menganga melihat ketampanan Green. Hana benar-benar terpesona pada lelaki yang ditatapnya saat ini. Sampai-sampai dia nyaris lupa kalau saat ini dia sedang merasa ketakutan karena berada di ketinggian.
"Ayo, aku akan membantumu turun. Berikan tanganmu," ucap Green dengan ekspresi serius sambil mengulurkan tangannya pada gadis itu. Sesungguhnya Green merasa sangat tegang saat ini. Dia takut jika penyakitnya tiba-tiba kambuh, bisa-bisa nyawa gadis ini melayang karena terjatuh melesat ke bawah. Hana perlahan meletakkan tangannya pada tangan Green yang terbuka, tetapi mata gadis itu tetap terpaku pada sosok lelaki yang sempurna yang ada di sampingnya ini.
Green langsung menggenggam erat tangan gadis itu. Hana sedikit terkesiap. Deg deg deg jantungnya berdebar. Green sendiri diam seolah menimbang-nimbang sesuatu lalu menggelengkan kepala atas apa yang dia pikirkan. Kemudian dia membuka suara.
"Dengarkan aku! Peganglah erat pada tiang." Green mengarahkan tangan Hana yang semula digenggamnya ke tiang jembatan. Gadis itu tampak bingung.
"Untuk alasan tertentu, kamu tidak bisa bergantung padaku, kamu harus berupaya turun sendiri. Tetapi aku akan berupaya menjagamu. Jika tanpa sengaja kamu tersandung, aku akan langsung menangkapmu," ucapnya meyakinkan
"Kalau begini seandainya pun aku kambuh, dia tidak akan ikut terjatuh. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang penyakitku di saat seperti ini. Yang ada dia akan semakin ketakutan di ketinggian ini," ucap Green dalam hatinya.
Walaupun masih dalam keadaan bingung, Hana tetap menganggukkan kepalanya. Green sedikit turun lebih rendah dari gadis itu agar lebih mudah menjaganya.
"Ayo, kita coba. Percaya padaku," ucapnya meyakinkan.
"Iya," ucap gadis itu singkat sambil menganggukkan kepala. Mereka pun perlahan mulai turun.
Krek tap krek tap krek tap... Hana berhenti lalu mencoba menatap ke bawah, ingin tahu seberapa jauh lagi jaraknya. Ia menggigit bibirnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Green ragu.
"Kakiku bergetar. Aku mulai pusing." Hana mulai menangis. "Aku masih muda.. Aku tidak mau mati..Huhuhu..."
Mata Green kembali melebar. Dia merasa sangat bersalah. Gara-gara menolongnya, gadis ini sekarang sangat ketakutan. Pasti hal ini akan membuat gadis itu trauma ke depannya.
"Kamu jangan melihat ke bawah lagi. Itu hanya akan membuatmu takut. Jaraknya sudah tidak begitu jauh. Sebentar lagi kita akan sampai," ucap Green.
"Aku..aku tidak pernah memanjat setinggi ini. Jadi aku tidak tahu kalau ternyata aku lumayan takut ketinggian," ucap Hana dengan suara bergetar, air matanya menetes. Green merasa kasihan pada gadis ini.
"Saking takutnya, gadis ini sampai menangis. Green, kau memang paling bodoh di dunia. Mau mati saja malah membuat orang lain jadi korban seperti ini!" Green mengutuki diri sendiri dalam hati.
"Mungkin karena kamu tidak terbiasa makanya sangat takut. Ayo kita coba turun lagi. Aku akan menjagamu. Jangan ragu," ucap Green kembali meyakinkan. Hana mengangguk mendengar kata-katanya. Dan mereka kembali mencoba turun.
Tap krek tap krek tap krek... Perlahan tetapi pasti.
"Kita sudah sampai!" ucap Green. Semburat rasa bahagia terpancar di wajahnya.
"Benarkah?" Hana langsung melihat ke bawah. Beberapa langkah lagi sudah mencapai dasar. Tetapi kaki Hana sudah sangat lemas.
Green dengan cepat sudah berada di dasar dan dia langsung mengulurkan tangannya ke atas.
"Ayo, ulurkan tanganmu!" ucapnya kemudian. Hana segera mengulurkan tangannya dan Green langsung meraih dan menggenggam tangan gadis itu karena gadis itu terlihat begitu lunglai. Lalu saat hendak mencapai dasar, gadis itu malah terperosok, tetapi dengan cepat Green memegang tubuh gadis itu.
Gadis itu terpekik dan seketika mencengkeram bahu Green karena merasa tak seimbang. Green sendiri secara refleks, merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya dengan erat agar tak jatuh.
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura