Share

Tamu tak punya adab

"Mas, kenapa pintunya dikunci?" Naila merasa heran dengan tingkah suaminya yang dari tadi hanya di kamar saja. Bahkan saat dirinya ingin keluar, ternyata pintu kamarnya terkunci dan kuncinya entah ke mana. Riko yang sedang fokus dengan ponselnya terkejut dengan pertanyaan istrinya. Dirinya tak sadar kalau Naila sudah berdiri di depan pintu dan akan membukanya.

"Sini, Sayang. Aku akan menjelaskan dulu sebelum kamu keluar kamar. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu dan aku harap kamu mematuhi semua yang aku katakan padamu." 

Riko meminta istrinya mendekat dan duduk di sampingnya. Naila yang merasa heran hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Riko memegang lembut tangan istrinya lalu mencium keningnya. Menghirup napas panjang, membuangnya secara perlahan, agar pikirannya tenang.

"Naila, kita kedatangan tamu, kakakku dan istrinya. Namanya Rony dan Vella, barangkali saja aku lupa memberitahumu nama mereka. Maaf kalau aku tak pernah menceritakan apa pun soal kakakku. Dan sekarang mereka ada di sini, menempati kamar tamu. Aku mohon, Sayang. Berjanjilah padaku, kamu jangan mempercayai apapun ucapan mereka. Kalau mereka macam-macam denganmu, bilang padaku," kata Riko pada istrinya dengan tatapan memohon. 

Naila terkejut dengan berita yang disampaikan Riko tentang kedatangan kakaknya. Riko terlihat sangat tertekan dengan kehadiran mereka, ada apa sebenarnya? Namun, bibirnya tak mampu menyampaikan pertanyaan yang tersirat di benaknya. Akhirnya Naila pun mengangguk saja, dia sangat percaya pada suaminya. 

"Baiklah, aku akan mendengarkan dan mematuhi semua perintahmu, Mas. Insyaa Allah aku percaya padamu," janji Naila pada Riko yang membuat laki-laki di sampingnya tersenyum lega.

"Alhamdulillah, terima kasih, Sayang. Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu. Jangan mau disuruh oleh mereka meskipun hanya mengambilkan air minum. Atau kebalikannya, jangan meminum atau memakan apapun yang mereka berikan padamu. Aku akan mengambil cuti dua hari, aku akan bekerja di rumah saja. Kamu nggak usah masak, kita makan saja di luar. Kita--."

"Mas, jangan berlebihan. Kedatangan saudara kok seperti kedatangan musuh saja," sahut Naila yang menganggap Riko sangat berlebihan sikapnya.

"Kamu tak tahu seperti apa mereka, aku hanya ingin menjagamu, Sayang. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tak ingin kamu kenapa-kenapa," jelas Riko pada istrinya. 

Naila memeluk tubuh tegap suaminya dengan erat, dia sangat terharu. Dia hanya wanita desa yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti Riko.

"Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu adalah anugerah dari Allah yang dikirimkan untukku. Aku bahagia, kamu begitu mengkhawatirkan aku. Tapi tolong, biarkan aku memasak dan beraktivitas seperti biasa. Kalau kita terlalu menjaga jarak, aku takut mereka semakin nekat dan akan menghalalkan segala cara jika tujuannya ke rumah ini berniat jahat pada kita. Aku berjanji, tak akan mempercayai apa pun yang mereka katakan padaku."

Riko membenarkan ucapan Naila. Kakak dan istrinya pasti akan lebih nekat dan Riko takut mereka akan mencelakai istrinya. Riko pun terpaksa menyetujui saran Naila.

"Tapi untuk hari ini, aku pesankan lewat online saja, ya. Kamu masih harus istirahat, tubuhmu masih terlalu lemah. Jangan keluar kamar dulu, tetaplah di sini. Kalau besok sudah sehat, aku akan memperkenalkan mereka padamu."

Naila pun patuh, membaringkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Riko merengkuh tubuh Naila dalam dekapan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing dengan mata terpejam. Saling mengeratkan pelukan, menenangkan pikiran, mendamaikan perasaan.

***

"Maaf ... istriku masih nggak enak badan, jadi aku hanya bisa membelikan kalian nasi bungkus. Makanlah kalian berdua, aku akan makan di kamar menemani istriku."

Riko berkata pada kedua tamunya yang duduk di ruang keluarga. Menyerahkan dua bungkus nasi kepada kakaknya. Berjalan menuju dapur mengambil peralatan makan dan juga minuman kemudian langsung ke kamar. Tak dihiraukan kedua orang yang masih memandangnya.

"Lihatlah, bahkan istrinya sama sekali tak diijinkan keluar menemui kita. Apa kamu yakin dengan rencana kita?" Vella merasa sedikit cemburu dengan sikap Riko yang terlihat sangat menyayangi istrinya.

"Mungkin memang istrinya sedang sakit. Jangan pesimis dulu, kita lihat saja besok pagi," jawab Rony dengan santainya. 

"Ya ... semoga saja ucapanmu benar. Aku sudah lelah dengan keadaan ini. Makan juga hanya nasi bungkus seperti ini, Riko benar-benar keterlaluan. Uangnya banyak tapi pelitnya minta ampun. Harusnya 'kan dia menghormati kita sebagai tamu."

Vella yang terbiasa makan di restoran tak terima dengan pemberian adik iparnya. Memandang nasi bungkus yang ada di depannya seolah barang yang menjijikkan dan tak pantas untuk dimakan. Bahkan Vella tak menyadari kalau dirinya dan suami sudah tak punya apa-apa lagi.

"Sabar, Sayang. Jangan marah-marah, ingat misi kita. Sudahlah, ayo kita ke ruang makan. Setelah itu kita ke kamar menyusun rencana," rayu Rony yang melihat istrinya cemberut.

"Aku nggak selera, apa nggak ada makanan lainnya di rumah sebesar ini?" tanya Vella dengan kesal.

"Entahlah, aku tak tahu. Ayo kita ke dapur, kita lihat ada apa di sana," ajak Rony sambil berdiri membawa kantung plastik transparan yang berisi dua buah bungkusan.

Vella membuka pintu kulkas dan matanya berbinar seketika. Mengeluarkan semua cemilan dan buah-buahan yang ada. Keduanya pun memakan semuanya dengan rakus tanpa ijin pemiliknya.

"Memang, ya, adikmu itu sekarang benar-benar pelit. Banyak buah dan cemilan di kulkas kok nggak disuguhkan buat tamunya, malah dikasih nasi bungkus. Tapi kok sudah habis sih nasi bungkusnya, kamu makan semuanya, ya?" tanya Vella yang sudah tak melihat lagi bungkusan nasi di meja. 

"Iyalah aku makan semuanya, kamu nggak doyan katanya. Aku lapar, dari siang tadi kita 'kan memang belum makan," jawab Rony sambil mengunyah kripik kentang yang baru saja dimasukkan ke mulutnya.

"Ish ... kamu ini memang suami yang nggak pengertian, mentingin perut sendiri, Istri nggak dipikirin," sahut Vella dengan nada kesal.

"Ehemm ...."

Karena keasyikan menikmati makanan, mereka berdua tak menyadari kedatangan Riko yang sedari tadi berdiri mengamati. Menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orang tamunya.

Mereka terlihat seperti orang yang kelaparan, belum makan berhari-hari. Riko berjalan menuju dapur, mencuci piring bekas makan dirinya dan istri. Kemudian melangkahkan kakinya duduk di kursi berhadapan dengan Rony.

"Sudah berapa hari kalian nggak makan?" tanya Riko yang membuat merah wajah keduanya karena malu, ketangkap basah seperti pencuri.

"Kak, kapan kamu berubah?" lanjut Riko, "Kakak bukan remaja lagi, kita sudah berumur, Kak ... bahkan aku tahun ini sudah 30 tahun. Tolong, dewasalah sedikit, aku tahu Kakak terpaksa pulang ke sini karena kalian sudah tak memiliki apa-apa lagi. Apakah Kakak selamanya akan seperti ini? Kakak akan memerasku lagi? Dan kalau kita sama-sama bangkrut, bagaimana ke depannya nanti, Kak?" 

Riko mencoba memberi pengertian pada kakaknya. Percuma juga Riko emosi kalau tabiat kakak dan istrinya masih sama. Riko menuruti nasihat Naila, harus sabar menghadapi mereka, tanpa emosi dan tanpa amarah.

"Ternyata kamu adalah adikku yang cerdas dan pengertian. Kamu juga mengerti tujuanku ke sini. Tolonglah, ijinkan aku sementara tinggal di sini, sampai aku memiliki uang lagi untuk menebus rumahku yang aku gadaikan pada temanku," pinta Rony pada Riko yang masih memandangnya.

"Dengan uang apa Kakak akan menebusnya? Apakah Kakak selama ini bekerja? Aku tahu kalian selama ini hanya berfoya-foya saja kerjaannya. Please, kalau Kakak mau, aku bisa memberikan pekerjaan di tempat temanku. Jangan hanya minta saja bisanya, aku sudah nggak ada tabungan lagi. Uangku sudah aku pakai membayar hutang ke temanku. Uang yang waktu itu aku kasih ke Kakak untuk membayar rumah ini, itu uang pinjaman, Kak."

Rony terdiam, sementara Vella hanya melirik dan bibirnya mencebik lirih tak percaya. Riko tahu kakaknya tak begitu saja mempercayai kata-katanya, tapi dia tak peduli. Untuk saat ini dia hanya ingin melindungi apa yang sudah menjadi haknya.

"Pikirkan lagi, Kak. Besok pagi kita bicara lagi di ruang perpustakaan. Dan tolong, semua piring, gelas, dan sampah bekas kalian makan dibersihkan. Di sini tak ada lagi yang namanya asisten rumah tangga. Aku nggak mau istriku yang baru saja sembuh, besok pagi harus sibuk membereskan ini semua," pinta Riko sambil berdiri lalu berjalan menuju kamarnya kembali.

"Rumah sebesar ini dia nggak punya asisten rumah tangga? Terus kalau kita tinggal di sini, apa aku juga harus ikut beres-beres rumah? Sekarang aja aku ogah harus beresin ini semua. Aku nggak mau pokoknya!" tegas Vella yang membuat Rony memegang keningnya. Pusing!

"Iya, nanti biar aku saja yang membersihkan. Kamu tiduran saja di kamar," sahut Rony dengan terpaksa. 

Rony pun mengalah, berdiri lalu membersihkan semua yang berserakan di meja. Sementara Vella hanya diam memperhatikan suaminya dan tersenyum bahagia.

Rony selalu memanjakannya. Selama ini Rony selalu menuruti apapun yang dia minta. Hanya saja keadaan saat ini memaksa Vella harus menahan semua keinginannya karena mereka sudah tak lagi berharta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status