Shafa bangun lebih pagi. Dia masih berada di pelukan Alby. Otot tangan Alby yang besar, menjadi bantalan untuk tidurnya semalam. Saat ingin bangun, Alby malah mengeratkan lagi pelukannya.
"Mas Alby, aku mau belanja. Kayaknya, ada tukang sayur, tuh, di depan.""Cium aku dulu," pinta Alby dengan mata yang masih terpejam.Sebelum menciumnya, Shafa melihat wajah Alby yang masih tertidur. Bibirnya yang pucat tetap terlihat menggoda untuknya. Walau sedang tidur, Alby masih terlihat tampan. Saat itulah Shafa merasa sangat beruntung bisa memilikinya.Bibir mereka bertabrakan dan Alby memegang kepala Shafa agar tautan bibirnya tidak terlepas. Hampir kehabisan napas, Alby langsung melepaskan Shafa."Maaf, ya, Sayang?"Aku mau belanja dulu."Shafa segera keluar rumah saat mendengar suara teriakan tukang sayur yang lewat di depan rumahnya. Banyak ibu-ibu yang sudah lebih dulu datang, salah satunya Mbak Jelita."Bang, ada bayam?" tanya Shafa pada tukang sayur yang sudah setengah tua."Ada, Mbak. Di depan, tuh, deket kangkung.""Mbak Shafa mau masak sayur bening, ya?" tanya Jelita yang baru saja datang dengan dandanan seperti ingin pergi pesta."Iya.""Itu siapa, Jel?" tanya seseorang pada Jelita."Itu Shafa, istrinya Mas Alby.""Emangnya, kapan Mas Alby nikah?" tanya salah satu ibu-ibu dengan terkejut, mewakili ibu-ibu yang lainnya."Sekitar seminggu yang lalu. Pasti, ibu-ibu kaget, ya? Ibu-ibu pasti nyangkanya, kalau Mas Alby bakal nikah sama saya, 'kan?" Apa yang Jelita ucapkan, mulai membuat Shafa kesal.Shafa mencoba menahannya dan segera membayar sayuran yang dia beli. "Bang, saya beli ini aja. Semuanya berapa?"Tukang sayur tersebut menghitungnya dengan cepat. "32 ribu, Mbak."Setelah Shafa membayar dengan uang pecahan 50 ribu, "Ambil aja kembaliannya, Bang.""Alhamdulillah, terima kasih, Mbak.""Ibu-ibu, saya duluan, ya? Mau bangunin Mas Alby. Dia susah banget kalau dibangunin. Mungkin, kecapean gara-gara semalem kali, ya?" Mata Shafa melirik ke arah Jelita."Aduh, pengantin baru bikin iri aja, nih," ucap seorang wanita yang sedang hamil.Shafa tersenyum ramah. "Kalau gitu, saya permisi, ya, Ibu-ibu?" Shafa merasa puas mengatakan hal tersebut di depan Jelita.***Setelah selesai memasak sayur bening dengan beberapa potong jagung, tempe goreng, dan sambal, Alby yang sudah selesai bersiap untuk berangkat kerja, langsung datang ke meja makan."Aku cuma masak itu. Soalnya, Mbak Jelita bikin telinga aku panas," kata Shafa yang duduk di hadapan Alby, sambil mengambilkan nasi untuk suaminya itu."Kenapa lagi?" Alby lagi-lagi meledek istrinya yang mudah marah itu."Gimana aku enggak marah coba? Dia ngomongin kamu di depan ibu-ibu. Dia ngomong seakan aku merebut kamu dari dia.""Kalau kenyataannya bener gimana?" tanya Alby yang mulutnya terisi penuh oleh nasi."Aku udah nyangka kalau kamu pasti suka sama dia." Shafa bangun dari duduknya, pergi ke dapur meninggalkan Alby yang masih sibuk makan."Shaf, aku cuma bercanda tau."Gemas melihat istrinya saat sedang marah, Alby mendekat dan memeluknya dari belakang. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Shafa."Jangan marah, dong. Aku cuma bercanda, Sayang.""Sana berangkat, nanti terlambat." Shafa pergi saat Alby mendekatinya.Tapi, Alby terus mengejar Shafa. "Cium," pinta Alby yang saat itu memeluk Shafa dari depan.Wajah suaminya yang tampan dan menawan, membuat mata Shafa sulit untuk berpaling. "Pergi, enggak?""Cium dulu.""Pergi!""Cium dulu!"Shafa hanya mengabaikannya. Tanpa izin, Alby mendekap wajah Shafa dan mencium bibir istrinya yang cantik itu. Berkali-kali dan dengan kuat menahan Shafa yang mencoba berpaling. Semakin lama, Shafa merelakan Alby menyentuhnya. Dia berharap, cara itu bisa membuat cinta segera hadir di dalam pernikahan mereka."Permisi, Mas Alby!" teriak Jelita dari depan gerbang rumah Alby.Dengan kuat, Shafa mendorong Alby. Dia berlari menuruni anak tangga, menuju lantai bawah. Namun, Alby berhasil menarik tangannya."Kamu mau ngapain?""Aku mau cakar mukanya!"Saat hendak lanjut pergi, Alby memeluk Shafa dan kembali menciumnya. Jelita yang berkali-kali memanggil, mereka abaikan. Bibir mereka saling bertautan. Tangan Shafa memukul pelan punggung lebar suaminya, walau sebenarnya, dia sangat menikmati itu.***Sebelum Alby pulang, Shafa membersihkan rumah, khususnya kamar mereka. Saat selesai, Shafa duduk di sofa depan televisi, memakan cemilan yang dia beli. Saat sedang santai, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Pintu dibuka, namun tidak ada siapa pun di sana. "Mas Alby? Kamu, 'kan, yang ketuk pintunya?" Shafa melangkah ke luar, menuju halaman depan rumah.Shafa terkejut menerima pelukan suaminya. Alby memeluk dan mencium pipinya dari belakang. Tangan Alby yang melingkar di pinggang Shafa, dielus lembut olehnya.Karena lokasi rumah mereka selalu sepi, Alby berani untuk melakukan hal itu di luar rumah. Lagi pula, itu hal wajar untuk pasangan yang baru menikah. Keromantisan mereka lagi-lagi dihancurkan oleh suara si janda anak 1."Mas Alby!" Jelita mendekati tembok pembatas rumah mereka. "Saya masak semur daging, loh! Mas Alby mau enggak?" Jelita seperti tidak melihat kehadiran Shafa yang masih berada dipelukan Alby.Karena kesal, Shafa menggenggam tangan Alby yang melingkar di perutnya dengan kuat. "Ayo, sayang, kita makan bareng!" Shafa langsung menarik Alby masuk ke dalam rumah."Kamu cemburu lagi, ya?""Enggak, kok!" Dengan kasar, Shafa menyalakan kompor untuk menghangatkan soto yang dia buat."Ternyata, kamu beneran udah jatuh cinta sama aku, ya?"Sepertinya, Alby sudah tau bagaimana cara memanjakan istrinya. Dia berdiri di belakang Shafa. Setelah mematikan kompor, tangan Alby kembali melingkar di pinggang Shafa."Sayang, aku cinta sama kamu.""Aku juga." Tapi, Shafa menjawabnya seperti tidak serius."Bohong.""Ngapain aku bohong?"Alby mencium leher putih dan harum milik istrinya. Shafa memejamkan matanya, saat Alby menciumnya semakin dalam. Mereka sama-sama menikmatinya. Semakin lama, Shafa mulai mengeluarkan suara lembut yang masih terdengar samar."Sayang, aku mau sekarang," pinta Alby dengan suara lembut."Sekarang? Tapi, kamu baru pulang kerja, Mas.""Kamu mau atau enggak?""Terserah. A-aku, ikutin mau kamu aja."Alby mengangkat tubuh mungil Shafa menuju kamar mereka. Shafa bisa merasakan tubuh kekar suaminya itu. Untuk kedua kalinya, tubuh Shafa dihempaskan keatas kasur."Shafa, kamu udah percaya sama aku?" Wajah Alby berada di atas Shafa. Bahkan, napasnya terasa sangat hangat."Emangnya kenapa?""Kalau kamu belum cinta dan percaya sama aku, kita jangan lakuin sekarang.""Emangnya, kamu udah cinta sama aku?""Aku tanya kamu, Shaf. Jangan tanya balik."Shafa diam sejenak, menatap mata Alby yang indah. "A-aku ... Aku udah cinta sama kamu. Kalau kamu?""Aku juga. Aku sangat mencintai kamu. Jadi, aku boleh lakuin sekarang?"Iya, boleh, Mas."Lebih dulu, Alby membuka seragam kerjanya. Otot tangan dan tubuhnya yang kekar, membuat Shafa selalu terpukau. Shafa masih merasa malu, padahal dia sudah beberapa kali melihat Alby tidak mengenakan pakaian."Kenapa muka kamu jadi merah gitu?""A-aku takut.""Enggak usah takut . Aku bakal pelan-pelan, kok."***Shafa merasa kalau dia penyebab semua kekacauan itu. Kekacauan di hidupnya dan di hidup orang-orang terdekatnya. Karena menikah dengannya, Alby jadi banyak menderita. Lalu karena mengenalnya, Rendi jadi harus merasakan jatuh cinta yang tak berbalas.Di halaman belakang rumah, Shafa duduk termenung sampai lupa waktu. Bahkan Mbok Dewi yang menjemput Bizar di sekolah. Sudah 2 hari Shafa banyak melamun dan tidak pergi bekerja."Mbak Shafa?"Lamunannya tersadarkan dan Shafa menengok. "Ada apa, Mbok?""Tadi Bizar di jemput kakeknya. Dia merengek minta ikut kakeknya untuk ketemu Mas Alby. Enggak apa-apa, toh?""Enggak apa-apa, Mbok.""Ada masalah apa, toh, Mbak? Beberapa hari ini melamun terus?""Kalau Mbok di posisi aku, siapa yang bakal Mbok pilih? Mas Alby atau Rendi?""Loh, itu soal perasaan masing-masing, Mbak. Mbok enggak punya alasan untuk kasih jawaban ke Mbak.""Mereka tulus cinta sama aku, Mbok. Tapi aku enggak bisa balas ketulusan itu.""Mbak pernah bersama Mas Alby. Harusnya Mbak
Walau tidak sejauh Indonesia-Australia, Shafa tetap merasakan dirinya jauh dari Alby. Di luar ruangan dengan kaca besar sebagai pembatas, Shafa terus menatap Alby sambil menangis sesenggukan. Satu persatu kenangan kebersamaan mereka saat dulu berputar bergantian. Sampai Bizar datang dan menghentikan putaran memori itu."Bunda!"Bersama Rendi, Bizar datang dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ransel berkarakter Superman kesukaannya. Seperti tau apa yang bundanya rasakan, Bizar memeluk Shafa dengan sangat erat."Ayah kenapa, Bunda? Ayah sakit, ya?" tanya Bizar yang juga ikut menangis."Iya, ayah sakit. Tapi Bizar enggak usah khawatir. Pasti sebentar lagi ayah sembuh, kok."Anak lelaki dengan tubuh yang masih sangat kecil itu berusaha memeluk Shafa agar sepenuhnya masuk dalam pelukannya. "Aku sedih banget. Pasti Bunda lebih sedih, 'kan? Selama ini aja Bunda selalu nangis padahal enggak tau keadaan ayah. Apalagi sekarang saat bunda liat ayah sakit?" Bizar memeluknya lagi sambil mene
Hari yang sangat melelahkan untuk Alby lewati. Tapi juga membahagiakan karena mungkin itu keinginan terakhir yang telah terpenuhi. Dia hanya ingin memiliki anak dari Shafa, walau dengan status yang sudah berbeda.Sepertinya Shafa sadar kalau Alby terlihat jauh lebih kurus dari terakhir bertemu 5 tahun lalu. Bahkan, otot yang dulu selalu menjadi bantalan sudah tidak nampak lagi. Iya, itu semua karena penyakit yang dia alami sejak 3 tahun lalu. Kalau dipikir, itu lebih baik daripada dia meninggal Shafa dan anaknya disaat keluarga mereka utuh dan penuh kebahagiaan. Kepergiannya akan sangat menyakitkan untuk berikan, 'kan?"Iya, Pa. Aku di Yogya dari 2 hari lalu. Maaf aku enggak kasih tau Papa dulu." Sembari tiduran, Alby sengaja menelpon Fahri yang sudah beberapa kali menghubunginya."Kamu sendirian? Ngapain kamu ke sana?""Iya, aku pergi ke sini sendirian. Aku kangen sama Shafa, makannya aku ke Indonesia.""Tapi kamu lagi sakit, Al. Papa takut kamu kenapa-napa di sana. Kamu ngerti perasa
"Albizar, bangun, yuk? Katanya mau jalan-jalan sama ayah?"Sebenarnya bukan hanya kali itu, tapi setiap harinya Bizar selalu mudah jika dibangunkan. Bahkan, dia selalu bangun saat mendengar bundanya menangis di malam hari."Emangnya ayah udah dateng, Bun?""Nanti ayah jemput di kafe. Sekarang, Bizar siap-siap dulu. Mandi, terus sarapan, oke?"Mandi pun, Bizar sudah bisa melakukannya sendiri, tapi masih tetap dipantau sang bunda. Untuk makan, sudah sejak usia 3 tahun Bizar mulai makan tanpa di suapi. Shafa tidak heran kalau Bizar tergolong anak yang cerdas sejak kecil, karena itu pasti turunan dari ayahnya."Ayo, Bunda! Pasti ayah udah dateng."Shafa masih sibuk menguncir rambutnya disaat anaknya sudah menunggu di luar rumah. "Tunggu, Sayang.""Cepet, Bunda.""Iya, sabar."Bizar duduk dengan resah, tidak sabar bertemu ayahnya. Bukan salah liat, Bizar langsung memanggil saat melihat Alby datang. "Ayah?!""Assalamualaikum?""Wa'alaikumsalam, Ayah! Bunda, ayah dateng!"Walau tidak bisa mem
Acara telah selesai. Kafe sudah sepi, hanya menyisakan para karyawan yang merapikan sisa acara. Alby duduk diposisi paling ujung, dekat jendela yang memperlihatkan hujan di malam hari. Ditemani secangkir mocaccino coffee, Alby menunggu dengan sabar."Bunda, itu siapa? Dari tadi om itu liatin aku terus, sih?" tanya Bizar pada sang bunda."Ayo, ikut Bunda."Shafa menggendong Bizar dan mendekati Alby. Rasanya sangat canggung saat kembali bertemu setelah sekian lama. Kalau Alby, dia canggung pada sang anak yang baru kali pertama dia temui.Bizar melihat Alby sebentar, kemudian memeluk bundanya yang masih menggendongnya. "Bizar, dengerin bunda dulu coba." Tangan Shafa mengelus kepala anaknya seakan merapikan rambut. "Bizar mau ketemu ayah, kan?""Iya, mau.""Ini ayah Bizar. Om yang dari tadi liatin Bizar itu ayah. Ayahnya Bizar."Kepalanya yang kecil kembali menengok dan menatap Bizar dengan wajah polosnya. "Ayah?"Setelah mencoba memberanikan diri, Alby akhirnya benar-benar berani untuk me
5 tahun berlalu. Shafa mengurus anak laki-lakinya tanpa suami. Tapi tidak sendirian, ada Mbok Dewi yang masih setia menemaninya. Mbok Dewi memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai ART karena ingin kembali berjualan, ditemani dengan Shafa. Sudah 2 tahun mereka berjualan keliling menjajakan kue buatan sendiri. Sampai akhirnya, Shafa memiliki sebuah kafe, modal dari sang kakak.Keberadaannya di Yogya diketahui oleh Rendi setelah Shafa melahirkan. Tapi, Alby dan ayahnya–Fahri–sama sekali tidak terdengar kabarnya. Rindu. Iya, itu yang Shafa rasakan walau mereka sudah lama bercerai.Bizar tumbuh menjadi anak tampan dan pintar. Usianya sudah menginjak 5 tahun. Tentu dia banyak bertanya tentang ayahnya. Di mana ayah? Kapan aku ketemu ayah? Dan beberapa pertanyaan lain yang selalu diulang.Hari itu, Shafa sengaja memboking sendiri kafe miliknya untuk ulang tahun Bizar. Dia mengundang teman sekelas Bizar dan guru-gurunya juga."Ayo, silahkan masuk. Di pakai topinya, ya?" Shafa memberikan topi