Share

Ancaman dari anak laki-laki

“Berhenti!” teriak laki-laki itu dengan tegas.

Suara yang sangat Katarina kenal, beberapa orang di dalam ruangan itu menoleh ke arah sumber suara. Rafka yang berjalan dengan tegap diikuti beberapa bodyguardnya, tatapannya nyalang pada Pramana dan beberpa orang suruhannya. Tanpa sepatah kata, Rafka perlahan melepaskan ikatan yang terikat pada tangan Katarina.

Mata Katarina kini mulai buram, “Mas Raf, i-ni beneran kamu.”

Wanita itu tidak lagi sadarkan diri dengan tubuh dan wajah yang penuh lebam, dengan sigap Rafka menggendong tubuh Katarina. Langkahnya sempat terhenti sebelum ke luar ruangan itu, matanya menatap Pramana dengan nyalang.

“Ayah, nanti kita bicara!” ungkap Rafka tegas dengan langkah pelan ke luar ruangan.

Bodyguardnya dengan sigap menyiapkan mobil untuk membawa Katarina ke rumah, sepanjang perjalanan ke rumah Rafka sangat khawatir. Jika ia lengah beberapa waktu saja pasti sangat fatal.

“Bibi, tolong siapkan alat buat membersihkan luka istriku,” titah Rafka dengan menggendong Katarina ke kamar.

Dibalik sikap dinginnya yang seperti es batu itu, ia dengan telaten merawat Katarina yang masih terbaring pingsan. Sudah beberapa waktu Rafka menemani Katarina, menunggu wanita itu siuman dan kembali sadar.

“Ternyata kamu cantik sekali ya, Kata. Hm …,  maaf ya, aku belum bisa secara terang-terangan mencintaimu,” batin Rafka sembari mengusap pelan pipi Katarina yang lebam membiru.

Mata Katarina perlahan mengerjap pelan, secara tidak sengaja ia melihat Rafka yang duduk di tepi ranjang. Untuk pertama kalinya ia merasakan tangan Rafka mengusap pelan pipinya.

“Mas Rafka, kok aku ada di sini?” tanya Katarina lirih.

Seperti baru saja melihat hantu, Rafka sempat terperanjat saat ia mendapati Katarina yang baru saja siuman. Dengan reflek ia melempar satu nampan obat merah dan kapas yang sempat ia gunakan untuk mengobati Katarina.

“Pelayan, bantu dia membersihkan lukanya!” tegas Rafka dengan  beranjak meninggalkan kamar begitu saja.

Suasana hati Katarina seperti dipenuhi dengan kupu-kupu, pipinya menghangat sepertinya rona merah seperti menggunakan blush on terpancar dipipinya.

“Nona, pipimu merah,” ledek seorang pelayan yang ini melanjutkan mengobati luka lebam di pipi Katarina.

“Em, iya kah?” tanya Katarina malu-malu.

“Iya, Non. Tuan tadi sangat khawatir denganmu, bahkan saat ia membawamu ke kamar tercetak jelas sekali. Tapi, kenapa ya saat Non Katarina sudah siuman malah dingin lagi, aduh tidak paham lagi saya,” keluh pelayan itu dengan menepuk jidatnya.

***

“Dia cantik,” batin Rafka sembari berjalan dari kamar.

“Tuan, anda kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seorang bodyguard yang menunggu di depan pintu kamar Katarina.

“Apa sih, Tok? Minta tolong panggilkan ayah dan beberapa orang yang ada di ruangan asing tadi. Suruh mereka kumpul di ruangan saya sekarang,” titah Rafka dengan tegas.

Antok berlalu begitu saja, menyisakan Rafka yang masih berdiri mematung. Beberapa waktu yang lalu ia merasakan getaran pada hatinya. Menatap Katarina yang masih terpejam dengan luka dipipinya. Ada rasa khawatir yang membuncah dihatinya.

“Andai aku datang lebih awal, mungkin kamu akan baik-baik saja, Katarina. Duh, apa sih ini! Kenapa kepalaku jadi penuh dengan bayang-bayang Katarina!” gerutu Rafka sembari berjalan ke ruang kerjanya.

“Ngapain kamu memanggil ayah ke sini?” tanya Pramana tanpa rasa bersalah.

Rafka terlihat menghela napasnya panjang sebelum melontarkan beberapa kata pada ayahnya. Perlahan tatapannya nyalang pada Pramana yang berdiri tidak jauh dari tubuhnya.

“Kenapa?” tanya Pramana sekali lagi pada Rafka yang masih diam.

“Apa ayah tidak merasa bersalah sama sekali?” pertanyaan dengan nada yang cukup tinggi Rafka lontarkan pada Pramana.

“Memangnya aku melakukan apa?” lelai paruh baya itu memang dengan sengaja memancing emosi Rafka saat itu.

Suasana mulai memanas disaat perdebatan antara Rafka dan Pramana. Lelaki paruh baya yang sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang ia lakukan.

“Ayah, apa yang kamu lakukan hari ini termasuk kejahatan!” pekik Rafka dengan tegas dan keras.

“Memangnya ayah melakukan apa? ayah hanya bermain dengan anak pungut itu,” kekeh Pramana pelan.

“Ayah, hal yang kamu lakukan hari ini bisa dilaporkan ke polisi atas dasar tindak kejahatan. Ini bisa dilaporkan sebagai penculikan berencana loh!” sekali lagi Rafka memberikan peringatan pada Pramana.

Nihil, laki-laki paruh baya itu hanya terkekeh tanpa rasa takut. Rafka yang sudah geram dengan tingkah ayahnya. Bug! Satu pukulan dari Rafka pada sisi lengan Pramana, hingga laki-laki itu sempat terhuyung ke belakang.

“Kamu ini tidak ada sopan santun sama sekali dengan ayah!”  teriak Pramana keras.

“Bagaimana aku harus sopan pada ayah yang memiliki otak kriminal?” tanya Rafka dengan berjalan  mendekati Pramana.

“Rafka, ingatlah aku ini ayahmu! Bagaimana bisa kamu semena-mena memperlakukan ayah begini!” pekik Pramana keras yang mulai ketakutan dengan anaknya sendiri.

“Ayah, kali ini aku tidak meminta banyak darimu, aku hanya minta tolong. Jangan pernah mengganggu ketenangan istriku, aku tidak peduli dia cucu pungut atau anak jalanan sekalipun. Ditanganku dia adalah istriku dan tangan ayah ini, jangan sampai melukai dia!” Rafka menatap lekat bola mata Pramana sembari menunjuk tangan ayahnya itu.

“Apa maksudmu, Rafka? Atas dasar apa kamu melarang ayah mengganggu hidup cucu pungut itu?!” tanya Pramana terkekeh.

“Jika suatu hari ayah melakukan hal yang sama, aku tidak segan melaporkan ayah ke polisi!” satu ucapan Rafka dengan penuh ketegasan.

Ancaman Rafka kali ini membuat Pramana yang tempramen itu sangat marah, dengan cepat tangan kanan itu menarik lengan Rafka secara paksa. Tangan itu sudah siap menampar pipi Kanan Rafka, namun tidak sempat ia layangngkan saat itu juga. Rafka yang hanya menatap mata Pramana sembari bersiap menampis jika tangan itu akan menamparnya.

“Setelah ini jangan kaget jika akan ada hal baru yang lebih menghancurkan keluargamu, nak,” batin Pramana.

“Kenapa ayah? Lakukan jika ini membuatmu lega!” Rafka kini mulai menantang Pramana secara terang-terangan.

Tanpa menjawab satu kata pun, Pramana keluar dari ruang kerja Rafka diikuti beberapa orang suruhannya. Rafka menghela napas panjang, ia sangat mengkhawatirkan Katarina saat ini.

***

Pagi itu suasana meja makan keluarga Zavier terlihat sepi, Pramana dan Elegi yang entah di mana. Hanya ada Katarina dan Rafka yang hanya diam.

“Mas ayah dan Elegi kemana?” tanya Katarina pelan.

“Aku juga tidak tahu, makan saja gak usah menghiraukan mereka,” jawab Rafka dengan ketus.

“Baiklah.” Katarina kembali menikmati makanan yang ada dihadapannya.

Suasana hening meja makan tiba-tiba ada hal yang membuat ke duanya mengalihkan pandangan. Seorang laki-laki muda dan tampan datang bersama Pramana, Elegi yang baru saja ingin bergabung makan langsung menghampiri lelaki itu. Katarina masih bertanya-tanya siapa lelaki yang bersama Pramana.

“Hai, Rafka! Ini istrimu ya, salam kenal,” lelaki itu mengulurkan tangannya pada Katarina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status