Menapakkan kembali kaki ini di depan rumah mewah dua lantai yang dindingnya berlapis cat emas membuat mataku buram oleh air mata. Rumah ini mengingatkanku soal Anindya. Dulu Anindya menyambut kedatanganku di teras depan rumah itu dengan wajahnya yang ayu dan tubuhnya dibalut oleh gaun dengan potongan sederhana namun nampak mewah.
Aku sedikit terkejut menyadari perubahan yang ditampakkannya. Sewaktu kecil sampai remaja, Anindya adalah gadis yang tomboy dan tidak pernah memperhatikan soal penampilan. Namun waktu itu... Anindya nampak berbeda. Dia jadi feminim dan cantik sekali. Saat itu Anindya bercerita kalau Mas Edgar yang mengatur segala kehidupannya, termasuk soal penampilan. Anindya tidak pernah protes meski sebenarnya dalam hatinya menangis, tidak menyukai apa yang Mas Edgar perintahkan pada tubuhnya sendiri. Mengingat itu, mataku semakin berkaca-kaca. Betapa tertekannya Anindya sewaktu pernikahannya bersama Mas Edgar, untungnya aku berinisiatif untuk menyuruh Mas Edgar berlaku lebih lembut dan hangat pada Anindya di hari-hari terakhir hidupnya. Jadi hatiku sedikit lega saat melihat Anindya meninggal dengan perasaan tenang dan senang karena sudah mendapat kehangatan dari sang suami meski hanya di penghujung hidupnya. "Nara..." Aku tersentak dari lamunan lalu menoleh, mendapati Tante Irna yang menyambutku di pojok teras. Kami pun saling berpelukan dengan erat. "Tante senang bisa ketemu lagi denganmu, Nara." Kudengar Tante Irna bersuara masih sambil sesekali menciumi pipiku. "Aku juga senang ketemu Tante lagi," jawabku. Aku memaklumi sambutan Tante Irna yang terlihat berlebihan. Pasti dia teringat dengan Anindya. Dulu kami sangatlah dekat dan hampir setiap hari selalu bersama. Tante Irna mengajakku masuk ke dalam rumah. Keadaan di ruang tengah cukup lengang, hampir tidak ada perabotan seperti meja dan sofa. Baru ku ketahui kalau Tante Irna mengadakan pengajian untuk memperingati kepergian Anindya ke-seratus hari. Satu jam kemudian para tamu dan keluarga berdatangan, acara langsung dimulai. Aku pun larut mengikuti acara pengajian tersebut sambil terus memaklumi sikap Tante Irna yang terasa beda. Seolah dia punya kekhawatiran kalau-kalau aku tidak lagi menyayanginya karena Anindya yang biasanya menjadi jembatan di antara kami sudah tiada. Setelah acara usai dan segala sesuatunya telah dirapikan kembali bersama-sama, aku pergi ke ruang makan untuk mengambil air minum. Kulihat Mas Edgar ikut masuk ke ruangan yang sama. Sedari tadi aku datang dan mengikuti acara, kami sama sekali belum bertegur sapa. "Udah makan?" tanya Mas Edgar tiba-tiba. Tumben dia pakai basa-basi. Pria yang kaku itu biasanya selalu berkata to the point jarang berbasa-basi. "Udah," jawabku pendek. "Habis ini kamu mau ngapain?" Mas Edgar bertanya lagi. Tumben dalam waktu semenit dia sudah dua kali berbasa-basi. Biasanya dia acuh tak acuh terhadap apapun yang bukan urusannya. Aku jadi curiga. "Mau istirahat di kamar." "Baru jam delapan. Udah mau tidur?" Aku tidak menjawab, hanya menatap mata laki-laki di depanku itu. "Sebenarnya apa yang Mas Edgar mau?" tanyaku dengan sedikit ketus. Aku tidak suka sikapnya yang bertele-tele, tidak seperti dirinya. "Kami ingin bicara denganmu, Nara." Tante Irna menyela pembicaraan. Entah sejak kapan dia berdiri di sudut ruang makan ini. "Kelihatannya penting..." Aku bertanya sambil melirik ke arah Tante Irna lalu berpindah ke arah Mas Edgar. "Ya. Bahkan sangat penting." Mas Edgar menjawab pertanyaanku tadi. "Apa itu, Mas?" "Ada tiga amplop berisi surat yang ditinggalkan oleh Anindya di dalam lemari pakaiannya. Di sana tertulis ada amanah yang harus dipenuhi. Dan itu ada kaitannya denganmu." Kukerutkan dahiku dalam-dalam. Aku menjadi teringat dengan permintaan Anindya sewaktu aku mengunjunginya. Anindya ingin agar aku melanjutkan pendidikan S2 ke luar negeri karena dia tahu keinginanku itu sejak lama. Jangan-jangan dia kepengen aku melanjutkan S2 sesuai permintaannya? Duh! Bagaimana caraku menolak amanah dari orang yang sudah meninggal? Ah, tapi kan belum tentu juga hal itu yang mau dibicarakan. Sebaiknya aku segera menanyakannya supaya tahu. "Masalah apa?" tanyaku setelah pikiran itu masuk ke benakku. "Untuk membicarakan yang kamu tanyakan, Nara. Sebaiknya kita bertiga ngobrol di ruang perpustakaan aja biar bisa leluasa," kata Mas Edgar. "Nanti di sana semuanya akan jadi jelas." Aku dan Tante Irna langsung setuju. Kami pun bersama-sama menuju ke ruang perpustakaan. Di ruang perpustakaan yang didominasi warna cokelat, aku duduk di atas sofa berdampingan dengan Tante Irna. Ruang itu dipenuhi buku dengan rak-rak yang terletak dari dinding ke dinding dan teratur sangat rapi. Sedang Mas Edgar duduk di kursi besar bersandaran tinggi yang juga berwarna cokelat gelap. Seketika aku merasa kewibawaan dan aura angker begitu kentara memenuhi ruang perpustakaan. Sampai-sampai aku tidak berani bersuara. Untuk beberapa saat keheningan terjadi. Karena perasaan yang cukup mencekam, aku pun kehilangan kesabaran. "Aku udah siap," kataku memecah keheningan itu. "Bilang aja apa yang Mas Edgar ingin sampaikan supaya urusan jadi lebih cepat selesai dan kita bisa segera istirahat." "Nara betul, Edgar. Cepat bilang sama dia..." Tante Irna menyambung perkataanku. "Baik, Ma." Kulihat Mas Edgar mengangguk. "Begini... kayak yang udah aku bilang tadi, ada surat yang ternyata ditulis dari Anindya untuk kita bertiga. Mama mertuaku nemuin tiga amplop di dalam lemari pakaian milik Anindya. Satu amplop ditujukan untukku, satunya ditujukan untuk Mama mertua. Satunya lagi diperuntukkan untukmu, Nara." "Oh ya? Lalu?"Aku memperhatikan ke arah sekeliling. Banyak orang mulai memperhatikan ke arahku, bahkan menghentikan aktivitas mereka karena tertarik dengan suara Syana yang keras. Terlebih seorang satpam sampai turun tangan.Sialan betul memang si Syana itu..."Memang benar kalau istrinya Mas Edgar sudah meninggal, tapi aku ini istri barunya. Apa kamu gak diundang sewaktu pernikahan kami diadakan?" tanyaku, masih berusaha bersikap tenang.Kilatan mata Syana yang sombong itu terlihat bergetar. Sepertinya dia mulai panik dengan ucapanku barusan."M-mana mungkin... kalau memang Pak Edgar sudah menikah, harusnya para karyawan di sini pada tahu soal beritanya. Tapi nyatanya, mereka semua sepertinya gak ada yang tahu tuh."Aku mengetatkan rahang karena merasa kesal. Wanita di depanku ini benar-benar keterlaluan. Memang benar berita soal pernikahan Mas Edgar tidak tersebar luas. Aku yang meminta Mas Edgar untuk tidak menyebarluaskan berita tersebut karena belum siap kalau melihat wa
Di depan sebuah gedung bertingkat yang merupakan kantor cabang dari perusahaan milik suamiku, aku berdiri dengan perasaan cemas. Sesekali aku menyeka keringat yang terus bercucuran di sekitaran wajah.Siang ini matahari di Surabaya terasa sangat terik. Ibu terus menggandeng tanganku untuk menguatkan. Perasaanku terasa sedikit tenang meski debaran jantung di dadaku terus berdetak kencang.Mas Edgar... ku harap kamu tidak melakukan sesuatu yang membuatku kecewa.Selama aku mengenalnya, dia bukanlah pria yang mudah terlena oleh kepuasan duniawi. Meski wataknya kaku, bossy dan otoriter--yang selalu membuatku muak, namun dia adalah pria yang setia.Karena itulah aku menerima lamarannya dulu. Aku sudah belajar dari masa lalu bahwa pria yang lembut dan romantis tidak menjamin bisa setia terhadap satu pasangan. Tapi pria yang bersifat sebaliknya malah bisa jadi memiliki sifat setia yang tidak kira-kira.Pemikiran itulah yang membuatku yakin untuk membina rumah tangga ber
Dua hari kemudian. Matahari sudah mulai nampak, udara dingin berulang kali menerpa. Sambil mengusap perut, aku menunggu Ibu duduk di kursi teras. Pandanganku tertuju pada dua buah koper berukuran besar yang sudah tersedia di depan teras.Aku sudah memutuskan untuk ikut Ibu pergi ke Surabaya demi menuntaskan rasa keingintahuanku atas aktivitas Mas Edgar di Surabaya sana.Meski sebenarnya dua hari kemarin Mas Edgar sudah menghubungiku, tetap saja hati ini masih ada rasa penasaran dan was-was. Malam itu aku langsung menanyakan padanya soal alasan dia yang tidak bisa ku hubungi."Maaf ya, Sayang, ponsel tiba-tiba hilang dan baru ketemu sore tadi. Ternyata ponselnya ketinggalan di hotel tempat aku meeting sama klien kemarin pagi," katanya waktu itu. Alasan darinya bisa ku terima, aku juga tidak memberitahu padanya soal kiriman foto. Lebih baik membuktikan langsung dari pada hanya terus berspekulasi."Mbak." Suara yang memanggilku pelan membuat lamunank
Lagi-lagi dari nomor yang sama sebelumnya, yang pernah mengirimiku foto Mas Edgar berciuman dengan Naomi. Tanganku menggenggam erat ponsel hingga bergetar. Apa maksud dari si pengirim hingga berani mengirimiku foto lagi? Hanya saja, kali ini si pengirim mengirimkan foto yang berbeda.Foto itu menampilkan Mas Edgar yang sedang berjalan dengan seorang wanita kantoran yang tentu saja aku kenal. Wanita itu namanya Tiara, dia adalah sekretaris baru Mas Edgar di kantor. Dia menggantikan sekretaris sebelumnya yang telah mengundurkan diri.Darimana aku tahu? Mas Edgar sendiri yang menceritakannya padaku. Meski suamiku itu jarang bercerita soal pekerjaan, tapi terkadang dia bercerita soal apa yang terjadi di kantor-- termasuk soal pergantian sekretaris."Aku gak mau kamu salah paham nantinya. Tiara itu masih muda, baru saja lulus kuliah. Takutnya kamu nanti mengira aku punya selingkuhan," kata Mas Edgar kala itu saat aku bertanya alasan dia menceritakan soal pergantian sekre
"Mau ibuk jodohin sama sepupumu yang ada di Surabaya. Besok lusa Ibuk mau kesana sebelum nginap ke rumah masmu.""Kok nginap di sini cuma tiga hari? Aku kan masih kepengen kangen-kangenan sama ibuk dulu di sini." Aku segera memeluk Ibu dengan sikap manja."Makanya Ibuk tadi nanya, Nak Edgar berapa hari di Surabayanya. Soalnya Ibuk gak bisa lama-lama di sini. Masmu di Surabaya lagi butuh bantuan untuk kendala restorannya."Ibu pun bercerita soal masalah restoran yang dikelola oleh Mas Baskara-- kakakku yang kedua di Surabaya. Ada salah seorang karyawan yang mencuri uang restoran hingga puluhan juta. Mas Baskara menyuruh Ibu datang karena ingin membantunya menangani restoran sedang Mas Baskara hendak fokus menyelesaikan masalah tersebut di pengadilan."Makanya mau gak mau Ibuk harus cepat datang ke sana, Nduk," ujar Ibu kemudian."Terus yang mengurus rumah dan restoran di rumah siapa, Buk?" "Di rumah ada Mbok Ijah yang mengurus, sedang restorannya... sudah Ibu
"Memangnya Mas Edgar sering marah-marah sama kalian?" tanyaku. "Jarang sih, Bu. Tapi saya pernah melihat Pak Edgar marah besar sama salah seorang pembantu baru yang akhirnya dipecat."Keningku mengerut dalam. "Pembantu baru?""Dulu saat Pak Edgar baru dua bulan menikah dengan Bu Anindya, ada seorang pembantu baru yang pernah bersikap lancang. Namanya Lusi. Dia berasal kampung yang sama dengan Mbok Sum dan mereka masih ada hubungan saudara meski terbilang jauh. Awalnya sikapnya biasa saja tidak ada yang aneh. Kinerjanya bagus dan orangnya cekatan. Tapi lambat laun sikapnya berubah. Tepatnya sebulan setelah dia bekerja di sini, dia sering buat masalah. Seperti salah menaruh garam di kopinya Pak Edgar atau menumpahkan teh susu ke kemeja yang hendak digunakan Pak Edgar berangkat kerja dan masih banyak kesalahan kecil lainnya." Nuning menarik napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "Respon Pak Edgar saat itu hanya menegur, tidak sampai marah-marah. Sebenarnya sudah berula