Share

Bab 3

Author: Gilva Afnida
last update Last Updated: 2025-05-19 13:17:52

"Surat yang untukku udah kubaca berulang kali," jawab Mas Edgar lagi. "Begitu juga surat yang ditujukan untuk Mama mertua juga sudah dibacanya. Ya kan, Ma?"

"Ya," sahut Tante Irna. "Tapi surat untukmu, masih utuh. Sama sekali belum kami buka."

"Terus apa kaitannya denganku?" tanyaku heran.

"Aku mau kasih tahu kamu soal surat yang ditulis untukku, Nara. Di antara sekian pesannya, ada satu hal yang membuat perasaanku terganggu. Dia gak ingin aku menduda terlalu lama..." Mas Edgar menghentikan ucapannya. Kulihat sikapnya menjadi canggung dan pancaran matanya nampak gugup. Baru sekali ini aku melihat laki-laki yang begitu dingin dan selalu percaya diri itu nampak kehilangan ketenangan.

Dengan ragu dia menoleh ke arah Tante Irna. "Kurasa... Mama aja yang menjelaskan..."

Tante Irna mengangguk. Sebutir air mata tiba-tiba meluncur ke pipinya.

"Nara, sebelum ini Tante ceritain dulu kalau Tante nemuin tiga amplop itu satu bulan setelah kepergiannya. Setelah baca surat itu, baru Tante tahu kalau Anindya menulisnya sewaktu dia ada di rumah sakit," katanya dengan air muka yang serius. "Nah, dua minggu yang lalu surat untuk Edgar dan untuk Tante, baru kami buka bersama."

"Kalau boleh tahu, apa isinya, Tante?"

"Justru kamu harus tahu, Nara. Seperti yang sudah Edgar bilang, Anindya ingin agar Edgar segera berumah tangga kembali. Anehnya... nah inilah yang buat kami berdua bingung. Anindya minta agar Nara sudi menggantikan tempatnya sebagai istri Edgar..." Suara Tante Irna semakin lama semakin pelan. "Jujur saja kami benar-benar bingung."

Aku tersentak kaget. Mataku membulat menatap ke arah mereka berdua secara bergantian dengan perasaan kacau-balau.

"A-apa... I-itu gak salah?" tanyaku dengan gagap.

"Sayangnya enggak." Kali ini ganti Mas Edgar yang bersuara. "Isi surat yang ditujukan untuk Mama isinya sama. Kayaknya, surat yang ditujukan untukmu pun gak jauh beda isinya."

Setelah berbicara seperti itu, Mas Edgar menyerahkan sebuah amplop yang berisi surat dari Anindya.

"Buka surat itu saat hatimu sedang tenang," ujarnya lagi.

Aku pun meraih amplop berisi surat itu lalu menyimpannya ke saku celana. Biarlah aku melihatnya nanti saat sudah sendirian.

"Tapi terus terang... bukannya saat menulis surat ini, Anindya sedang sakit dan tahu kalau dirinya divonis oleh dokter gak akan sembuh? Bisa jadi dia lagi ada di pikiran yang gak jernih sampai punya keinginan yang enggak-enggak," ujarku merasa ragu.

"Awalnya Tante dan Edgar juga mikirnya kayak gitu, tapi Tante yakin pikiran Anindya tetap jernih waktu menulis surat itu. Kelihatan dari gaya tulisannya yang runut dan rapi. Selain itu, isi suratnya bukan soal mementingkan diri sendiri. Tapi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Ya kebahagiaan itu ditujukan untuk Edgar dan kamu, Nara."

Aku terpana, lidahku terasa kelu dan gak tahu harus jawab apa.

Gimana tidak? Tiba-tiba saja sahabatku yang sudah meninggal tiga bulan yang lalu, meninggalkan surat yang isinya menyuruhku untuk menggantikan posisinya sebagai Nyonya Hutomo.

Ini konyol!

Kulihat Mas Edgar menarik napas panjang. "Lebih baik biarkan Nara untuk beristirahat sejenak, Ma. Biarkan Nara membuka dan mencerna isi surat itu dulu. Aku yakin Nara masih terkejut mendengar ini semua. Lagipula masih ada hari esok untuk membicarakan permasalahan ini."

Aku mengangguk setuju begitu juga dengan Tante Irna.

Setelahnya, kami keluar sama-sama dari ruang perpustakaan untuk menuju ke kamar masing-masing.

Saat melewati ruang tengah, Tante Irna tiba-tiba berkata, "Nara, malam ini Tante mau pulang dulu ke rumah. Ada suatu kerjaan yang harus Tante selesaikan. Besok Tante akan datang ke sini lagi."

"Biar ku antar, Ma," sahut Mas Edgar menawari jasa. Yang kutahu, sopir di rumah Mas Edgar yang bernama Pak Tono sudah pulang, jam kerjanya hanya sampai jam lima sore.

Namun Tante Irna langsung menolak dengan alasan sudah ada sopir dari rumahnya yang akan menjemputnya.

Alhasil, aku dan Mas Edgar hanya mengantar kepergian Tante Irna sampai ke depan pintu utama. Setelahnya, keadaan jadi canggung karena hanya ada aku dan Mas Edgar berduaan saja.

Karena perasaan jadi gak nyaman, aku pun berpamitan pada Mas Edgar untuk ke kamar. "Aku sudah ngantuk, Mas. Aku pamit tidur dulu ya."

"Tunggu dulu, Nara."

Ku hentikan langkah. "Ya?"

"Aku cuma mau bilang, kamu jangan ngerasa terbebani atas apa keinginan Anindya. Dia hanya lihat dari sisi kepentinganku kalau aku memang gak boleh terlalu lama menduda. Ada hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh sekretaris dan hanya bisa dilakukan seorang istri sebagai pendamping, seperti melayani tamu dan lain sebagainya."

"Tapi istri bukan hanya sekedar jadi pendamping lho, Mas. Istri bukan hanya sebagai boneka pajangan yang harus terus tersenyum dan membuat suami bangga," ucapku menumpahkan kekesalan. Tiba-tiba aku teringat oleh perlakuan Mas Edgar pada Anindya dulu semasa hidup.

Sangat bossy dan otoriter.

"Memang bukan," ujarnya menatapku tajam. "Apalagi aku termasuk orang yang menuntut banyak dari istriku."

"Jadi banyak yang Mas tuntut dari Anindya dulu?" tanyaku dengan sengit.

"Ya. Tapi sebagai imbalannya aku udah beri dia banyak kebebasan di luar tugasnya jadi pendampingku. Ku rasa dia bahagia selama menikah denganku," jawabnya penuh percaya diri.

"Mas yakin dia bahagia?"

"Ya. Dia pernah bilang kalau dia bahagia."

"Yakin dia ngomong jujur dari dalam hatinya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 18

    Perbuatan kami semalam membuat Mas Edgar tertidur pulas di kamarku hingga menjelang pagi.Pelan-pelan Mas Edgar menuruni kasur tanpa tahu kalau sebenarnya aku sudah bangun. Ku tatap punggungnya yang semakin lama semakin hilang di balik pintu.Pada saat itulah aku baru tersadar ada sesuatu dalam hatiku yang merekah soal pria itu. Tadi malam aku menyerahkan keperawanan--yang tadinya aku sendiri tidak menyangka. Akhirnya, kami menggenapi hubungan suami-istri seutuhnya.Setelahnya, aku turun dari ranjang dengan perasaan ngilu di bagian selangkangan. Ku tatap darah keperawanan yang ada di atas sprei lalu berdiri mematung di depan meja rias. Penampilanku begitu berantakan, pipiku memerah dan mataku seperti berkabut.Sekelebat ingatan soal malam panas tadi malam membuatku meneteskan air mata. Entah apa yang sebenarnya ku rasakan. Mungkin karena menyadari kalau aku telah kehilangan mahkota kesucian yang selama ini ku jaga.Aku berusaha untuk tidak menyesalinya, hanya mer

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 17

    Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa."Sekarang dugaanmu itu lucu, Mas.""Jadi gak benar ya?""Ya enggaklah. Sifatku ini emang gak mau kalah, tapi cuma sekedar buat menunjukkan kalau aku ini juga punya otak yang bisa bekerja."Kali ini giliran Mas Edgar yang tertawa."Kok ketawa?" tanyaku."Gak boleh? Katamu aku bisa ngelakuin apa aja di rumahku sendiri. Mau aku tidur di atas genteng atau tertawa terbahak-bahak, ini kan di rumahku sendiri," jawabnya sambil tertawa. "Jadi aku mau nunggu di sini sampai Daniel masuk ke kamar juga gak akan ada yang melarang, Kan?"Merasa capek berdebat. Aku pun menggeser tubuhku agar Mas Edgar bisa berbaring di sampingku. "Ya udah cepat berbaring sini."Setelahnya, aku mencari remot untuk mematikan lampu utama dan digantikan dengan lampu tidur.Mas Edgar terlihat sudah berbaring di sampingku. Keheningan pun terjadi. Lidahku terasa kelu. Hanya ada suara musik dari ruang tengah yang terdengar."Musik DJ y

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 16

    Kali ini giliran Mas Daniel yang tertawa. "Sepertinya kesegaran wajahku kalah oleh wanita yang sehabis melalui bulan madu di depanku ini."Mendengar itu, wajahku seketika memanas. Lekas aku mengalihkan topik pembicaraan. Untungnya Mas Daniel tidak menyadarinya. Kami membahas soal kerjaan yang baru saja diselesaikannya. Sesekali kami tertawa bahkan terbahak-bahak bersama.Mas Edgar yang baru datang pun ikut duduk di sebelah kananku. "Apa yang bikin kalian keliatan asyik?""Pengalamanku di Jogja, Mas," sahut Mas Daniel. "Maklum, baru pertama kali kesana.""Pasti tingkahmu yang selalu menggampangkan sesuatu, seperti gak mau disopiri seseorang sampai salah jalan. Ya, Kan?" kata Mas Edgar menebak."Itu salah satunya." Mas Daniel menyeringai.Kami bertiga pun larut dalam pembicaraan. Mula-mula Mas Edgar hanya tersenyum tidak terlalu menanggapi percakapan, namun saat membicarakan urusan bisnis, Mas Edgar menjadi sosok yang mendominasi.Hal itu membuatku bosan da

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 15

    Sulit bagiku menyadari kalau rumah dua lantai yang berlapis cat emas di depanku itu, kini berada dalam genggamanku sebagai istri dari Mas Edgar.Awal-awal aku mengalami kesulitan karena menjalani kehidupan yang berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Seperti berada di lingkungan yang sibuk dengan usaha, urusan bisnis, acara makan dengan pejabat, bahkan mengadakan turnamen golf. Padahal aku terbiasa bangun pagi lalu berangkat ke kantor. Singkatnya, dunia ini bukanlah duniaku.Selain itu, hal yang paling berat adalah penyesuaianku dengan Mas Edgar sebagai suamiku. Awal masuk ke rumah ini, aku tidak mau menempati kamar bekas Anindya. Kubiarkan kamar itu tetap seperti semula tanpa ada yang ku ubah sampai Tante Irna marah melihat kelakuanku."Kamar itu harusnya jadi milikmu, Nara," begitu katanya saat berkunjung ke rumah. "Singkirin aja barang-barang dari Anindya ke gudang.""Enggak, Ma. Aku akan tetap tidur di kamar yang dulunya aku tempati."Sejak menikah, aku mem

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 14

    "Aku malah tiap hari ngerasa gak enak sampai pekerjaanku keganggu." Jawabannya cukup membuatku terkejut."Kayaknya Mas Edgar bukan tipe orang yang mudah terpengaruh sama hal-hal yang gak masuk akal sehat.""Gak masuk akal sehat gimana?" tanyanya memotong ucapanku dengan cepat. "Ini permintaan istriku sendiri. Aku ngerasa bersalah kalau mengabaikan permintaan itu begitu saja... Lagipula apa kamu tidak terusik setelah ciuman kita sebulan yang lalu?"Aku terdiam, menatap lagi matanya yang hitam sepekat malam."Jangan bilang kalau kamu tidak memikirkannya." Mas Edgar menatapku dengan dalam. "Nara... Meskipun ada banyak hal-hal lainnya diantara kita yang tidak cocok, bagaikan langit dan bumi. Tapi untuk satu hal itu... sepertinya kita jadi cocok." Suara Mas Edgar terdengar lembut.Aku semakin kehilangan kata-kataku. Perkataan Mas Edgar membuat bara panas di pipiku. Kenapa juga waktu itu aku dengan mudahnya larut dalam cumbuan-cumbuannya? Apa benar aku termasuk orang yang mesum?Tiba-tiba M

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 13

    Masih seperti habis pulang dari kantor tadi, aku keluar menemui Mas Edgar yang duduk tenang di ruang tamu rumah orangtuaku.Wajahku masih berminyak, rambutku agak berantakan karena mengendarai motor sepulang dari kantor.Meski aku tahu tamuku itu ingin semua hal nampak rapi, apik dan anggun, termasuk penampilan orang, tapi aku tidak peduli.Kenapa juga aku harus tampil sesuai yang disukainya? Memangnya dia siapa?Sembari berpikir seperti itu, aku menyalaminya. "Apa kabar, Mas?" "Aku biasa-biasa aja," jawabnya datar."Kapan datang dari Jakarta?" "Kemarin pagi. Kebetulan ada urusan pekerjaan di sini tapi udah selesai tadi pagi. Sekarang aku mampir kesini karena ada hal yang ingin aku sampaikan.""Apa itu, Mas?""Kita ngobrolnya di restoran luar aja. Gimana? Mau, kan?""Aku capek, Mas. Aku mau istirahat.""Tapi udah makan malam belum?""Belum." Aku menjawab apa adanya."Gak lapar?""Ya lapar... tapi jujur aja kalau yang ingin aku lakuin sekarang itu mandi dengan air hangat, makan, habi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status