"Surat yang untukku udah kubaca berulang kali," jawab Mas Edgar lagi. "Begitu juga surat yang ditujukan untuk Mama mertua juga sudah dibacanya. Ya kan, Ma?"
"Ya," sahut Tante Irna. "Tapi surat untukmu, masih utuh. Sama sekali belum kami buka." "Terus apa kaitannya denganku?" tanyaku heran. "Aku mau kasih tahu kamu soal surat yang ditulis untukku, Nara. Di antara sekian pesannya, ada satu hal yang membuat perasaanku terganggu. Dia gak ingin aku menduda terlalu lama..." Mas Edgar menghentikan ucapannya. Kulihat sikapnya menjadi canggung dan pancaran matanya nampak gugup. Baru sekali ini aku melihat laki-laki yang begitu dingin dan selalu percaya diri itu nampak kehilangan ketenangan. Dengan ragu dia menoleh ke arah Tante Irna. "Kurasa... Mama aja yang menjelaskan..." Tante Irna mengangguk. Sebutir air mata tiba-tiba meluncur ke pipinya. "Nara, sebelum ini Tante ceritain dulu kalau Tante nemuin tiga amplop itu satu bulan setelah kepergiannya. Setelah baca surat itu, baru Tante tahu kalau Anindya menulisnya sewaktu dia ada di rumah sakit," katanya dengan air muka yang serius. "Nah, dua minggu yang lalu surat untuk Edgar dan untuk Tante, baru kami buka bersama." "Kalau boleh tahu, apa isinya, Tante?" "Justru kamu harus tahu, Nara. Seperti yang sudah Edgar bilang, Anindya ingin agar Edgar segera berumah tangga kembali. Anehnya... nah inilah yang buat kami berdua bingung. Anindya minta agar Nara sudi menggantikan tempatnya sebagai istri Edgar..." Suara Tante Irna semakin lama semakin pelan. "Jujur saja kami benar-benar bingung." Aku tersentak kaget. Mataku membulat menatap ke arah mereka berdua secara bergantian dengan perasaan kacau-balau. "A-apa... I-itu gak salah?" tanyaku dengan gagap. "Sayangnya enggak." Kali ini ganti Mas Edgar yang bersuara. "Isi surat yang ditujukan untuk Mama isinya sama. Kayaknya, surat yang ditujukan untukmu pun gak jauh beda isinya." Setelah berbicara seperti itu, Mas Edgar menyerahkan sebuah amplop yang berisi surat dari Anindya. "Buka surat itu saat hatimu sedang tenang," ujarnya lagi. Aku pun meraih amplop berisi surat itu lalu menyimpannya ke saku celana. Biarlah aku melihatnya nanti saat sudah sendirian. "Tapi terus terang... bukannya saat menulis surat ini, Anindya sedang sakit dan tahu kalau dirinya divonis oleh dokter gak akan sembuh? Bisa jadi dia lagi ada di pikiran yang gak jernih sampai punya keinginan yang enggak-enggak," ujarku merasa ragu. "Awalnya Tante dan Edgar juga mikirnya kayak gitu, tapi Tante yakin pikiran Anindya tetap jernih waktu menulis surat itu. Kelihatan dari gaya tulisannya yang runut dan rapi. Selain itu, isi suratnya bukan soal mementingkan diri sendiri. Tapi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Ya kebahagiaan itu ditujukan untuk Edgar dan kamu, Nara." Aku terpana, lidahku terasa kelu dan gak tahu harus jawab apa. Gimana tidak? Tiba-tiba saja sahabatku yang sudah meninggal tiga bulan yang lalu, meninggalkan surat yang isinya menyuruhku untuk menggantikan posisinya sebagai Nyonya Hutomo. Ini konyol! Kulihat Mas Edgar menarik napas panjang. "Lebih baik biarkan Nara untuk beristirahat sejenak, Ma. Biarkan Nara membuka dan mencerna isi surat itu dulu. Aku yakin Nara masih terkejut mendengar ini semua. Lagipula masih ada hari esok untuk membicarakan permasalahan ini." Aku mengangguk setuju begitu juga dengan Tante Irna. Setelahnya, kami keluar sama-sama dari ruang perpustakaan untuk menuju ke kamar masing-masing. Saat melewati ruang tengah, Tante Irna tiba-tiba berkata, "Nara, malam ini Tante mau pulang dulu ke rumah. Ada suatu kerjaan yang harus Tante selesaikan. Besok Tante akan datang ke sini lagi." "Biar ku antar, Ma," sahut Mas Edgar menawari jasa. Yang kutahu, sopir di rumah Mas Edgar yang bernama Pak Tono sudah pulang, jam kerjanya hanya sampai jam lima sore. Namun Tante Irna langsung menolak dengan alasan sudah ada sopir dari rumahnya yang akan menjemputnya. Alhasil, aku dan Mas Edgar hanya mengantar kepergian Tante Irna sampai ke depan pintu utama. Setelahnya, keadaan jadi canggung karena hanya ada aku dan Mas Edgar berduaan saja. Karena perasaan jadi gak nyaman, aku pun berpamitan pada Mas Edgar untuk ke kamar. "Aku sudah ngantuk, Mas. Aku pamit tidur dulu ya." "Tunggu dulu, Nara." Ku hentikan langkah. "Ya?" "Aku cuma mau bilang, kamu jangan ngerasa terbebani atas apa keinginan Anindya. Dia hanya lihat dari sisi kepentinganku kalau aku memang gak boleh terlalu lama menduda. Ada hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh sekretaris dan hanya bisa dilakukan seorang istri sebagai pendamping, seperti melayani tamu dan lain sebagainya." "Tapi istri bukan hanya sekedar jadi pendamping lho, Mas. Istri bukan hanya sebagai boneka pajangan yang harus terus tersenyum dan membuat suami bangga," ucapku menumpahkan kekesalan. Tiba-tiba aku teringat oleh perlakuan Mas Edgar pada Anindya dulu semasa hidup. Sangat bossy dan otoriter. "Memang bukan," ujarnya menatapku tajam. "Apalagi aku termasuk orang yang menuntut banyak dari istriku." "Jadi banyak yang Mas tuntut dari Anindya dulu?" tanyaku dengan sengit. "Ya. Tapi sebagai imbalannya aku udah beri dia banyak kebebasan di luar tugasnya jadi pendampingku. Ku rasa dia bahagia selama menikah denganku," jawabnya penuh percaya diri. "Mas yakin dia bahagia?" "Ya. Dia pernah bilang kalau dia bahagia." "Yakin dia ngomong jujur dari dalam hatinya?"Nyatanya saat di kamar, sama sekali tidak ada pembicaraan lanjut soal kasus Lusi yang belum selesai kami perbincangkan. Hanya ada suara lenguhan dan desahan yang saling beradu memenuhi ruangan kamar.Entah kenapa saat Mas Edgar menyentuhku, aku tidak sanggup untuk menolaknya. Padahal aku masih ingin tahu soal cerita Lusi darinya. "Eh, mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Edgar hendak masuk ke pintu penghubung setelah membersihkan diri."Aku ke ruang kerja dulu, Ya. Tadi kerjaanku tinggal dikit lagi, nanggung.""Ya udah, nanti kalau udah selesai langsung istirahat ya.""Iya, Sayang."Sepeninggalnya, aku membersihkan diri sebelum beranjak naik ke atas kasur.Malam memang belum larut, bahkan masih terbilang sore. Tapi entah kenapa tubuh ini rasanya begitu lelah, aku ingin merebahkan diri dulu sambil menunggu Mas Edgar menyelesaikan pekerjaannya. Barangkali dia masih ingin menceritakan soal Lusi padaku nanti.Tapi sebenarnya tanpa menunggu cer
"Diminum dulu tehnya, Mas."Aku menyodorkan segelas teh hangat pada Mas Edgar yang sedang duduk di halaman belakang rumah. Sore hari ini terasa sangat sejuk karena air hujan baru saja mengguyur tanah kering yang seharian terkena terik sinar matahari."Makasih ya, Sayang." Mas Edgar meletakkan ponselnya di atas meja lalu meraih teh untuk diminum.Mungkin inilah saat yang tepat untuk bertanya soal Lusi padanya. Kemarin sewaktu pulang, Mas Edgar langsung Istirahat di kamar dan bilang sedang tidak ingin diganggu. Keesokannya, tanpa basa-basi dia langsung minta jatah di atas ranjang padaku. Setelahnya mengurung diri di ruang kerja karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan sebelum mengambil hari libur panjang. Jadi aku belum sempat berbincang santai dengannya sampai sore ini.Setelah menyesap teh, Mas Edgar kembali sibuk pada ponselnya dan terlihat serius. Aku pun berinisiatif memijit lengannya lalu perlahan naik ke bahu. Lama kelamaan wajahnya yang tadinya kaku men
Setelah Nadya agak tenang, dia menyerahkan surat-surat yang ditulis oleh Azzam padaku untuk dibaca. Total surat hanya ada dua lembar. Setiap kalimat yang aku baca, membuat kedua tanganku bergetar karena ingatanku langsung kembali saat aku menerima surat dari Anindya.Isi suratnya hampir mirip. Sama-sama menginginkan perjodohan dengan orang yang mereka sayang, bedanya Azzam juga menitipkan harta warisannya pada Daniel.Aku jadi membayangkan bagaimana perasaan Daniel saat membaca surat-surat dari pamannya itu. Pasti dia merasa ada kesedihan dan juga berat karena harus menerima warisan yang ditinggalkan. Jika warisan yang diterima hanyalah harta, bisa dia gunakan atau habiskan. Tapi bagaimana jika warisan itu berbentuk seorang wanita yang perlu dijaga?Apalagi wanita tersebut merupakan tunangan pamannya.Tentu saja tanggung jawab di pundak Daniel jadi jauh lebih besar."Kamu tahu, Mbak? Daniel bilang surat itu sudah dia pegang selama lima tahun lamanya. Bukanny
Malam saat waktu menunjukkan pukul tujuh, aku menatap pintu kamar yang ditempati Nadya dengan penasaran. Ini sudah waktunya makan malam, tapi Nadya belum juga terlihat batang hidungnya.Padahal seharian aku tidak melihatnya keluar kamar kecuali saat di dapur tadi pagi. Aku jadi semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi padanya selama aku pergi. Dengan ragu aku mengetuk pintu. "Nadya, ayo makan. Udah waktunya makan malam," kataku.Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras. "Nadya."Aku sampai menempelkan daun telingaku ke pintu, berharap dapat mendengar sesuatu dari dalam. Tapi masih hening, tidak ada suara.Tidak menyerah. Aku mengetuk pintu lagi dan memanggil namanya berulang kali. Hingga entah sudah ke-berapa kalinya aku mengetuk pintu, sampai tak sadar kalau gagang pintu sudah digerakkan dari dalam dan pintu langsung terbuka, membuatku yang sedang menempel pada pintu hampir terjatuh. Untung ada Nadya yang langsung memegangiku
Sudah hampir seminggu berlalu setelah aku pulang dari Surabaya tapi mas Edgar masih belum juga menyelesaikan kesibukannya di sana. Sebenarnya aku merasa sedikit sedih karenanya namun sebisa mungkin aku memilih menyibukkan diri dari pada duduk termenung sedih, menantikan kehadiran suami yang tak kunjung pulang.Untungnya aku tidak terlalu merasa kesepian karena Mas Edgar sudah menyuruh Nuning untuk menemaniku melakukan berbagai kegiatan. Banyak kegiatan yang bisa aku lakukan, seperti ikut kelas yoga ibu hamil, ikut kelas prenatal, berbelanja, memasak, dan lain sebagainya.Aku sungguh menikmati aktivitas harian yang menyenangkan itu. Jadi setidaknya pikiranku tidak terlalu terbebani dengan kesibukan Mas Edgar.Tapi terkadang saat malam tiba, aku tetap kepikiran soal Mas Edgar yang masih ada di Surabaya.Entah sebenarnya apa yang membuat suamiku itu masih sibuk di Surabaya, padahal janjinya di sana dia hanya seminggu saja. Ini sudah hampir dari dua minggu berlalu, meleb
"Ehem, maaf Pak Edgar, sepertinya saya mengganggu." Ethan yang baru saja membuka pintu, terlihag panik dan buru-buru menutup pintu. Sempat kulihat telinganya memerah, mungkin karena malu.Aku dan Mas Edgar terdiam, menatap ke arah pintu kamar selama beberapa detik karena sama-sama terkejut. Otakku masih sibuk mencerna apa yang barusan terjadi. Setelah tersadar, aku segera menjauhkan diri lalu membenahi kancing bajuku yang sudah terbuka tiga biji bagian atas."A-aku keluar dulu menemui Ethan," kata Mas Edgar dengan air muka yang sedikit tegang.Aku hanya mengangguk dan melihatnya berjalan cepat keluar kamar. Helaan napas panjang pun keluar dari mulutku.Perasaan malu dan juga kesal bercampur menjadi satu. Maksudku... kenapa saat aku sedang berciuman selalu kepergok oleh orang lain?Dulu kepergok oleh Daniel, sekarang Ethan?Huh... memikirkannya terus menerus semakin membuatku ingin menyembunyikan diri di balik selimut. Lain kali aku harus memastikan mengunci p