"Maksudmu apa?" Mas Edgar kehilangan kesabarannya dan mulai menatapku tajam. "Emangnya kamu tahu apa soal Anindya?"
"Asal kamu tahu, Mas. Anindya itu orang yang sabar, setia dan selalu ikhlas menerima keadaan." "Aku tahu itu, terus kenapa?" "Mas tahu soal dia yang sangat senang saat aku datang ke rumah ini enam bulan yang lalu?" "Tahu." "Tapi Mas gak tahu kan kenapa dia sangat senang? Banyak hal yang bisa dia lakuin saat sama aku, Mas. Mulai dari makan di pinggir jalan, jalan-jalan keluar rumah dengan celana pendek, ketawa terbahak-bahak dan banyak lagi hal-hal yang kita lakukan bersama yang bisa buat dia bahagia." Dahi Mas Edgar mengerut dalam. "Dia ngelakuin itu?" "Ya. Dan dia sangat bahagia." Mas Edgar terdiam. Wajahnya menjadi nampak serius. "Udah malam, lebih baik kita segera istirahat," ujarnya setelah terdiam cukup lama. Aku pun mengangguk. Diam-diam dalam hati aku menertawakannya. Pasti dia tidak mau melanjutkan pembicaraan, takut semakin syok saat mendengar cerita istrinya yang seperti 'salah pergaulan' denganku. Dulu Mas Edgar telah menekan Anindya untuk mengikuti berbagai kelas untuk menunjang penampilannya sebagai 'Nyonya bos'. Dan Anindya pernah berkata kalau dia tidak menyukainya namun terpaksa demi menyenangkan hati Mas Edgar. "Kenapa kamu tidak protes saja sama Mas Edgar? Bilang padanya kalau kamu keberatan melakukan ini-itu yang tidak kamu sukai," ucapku kala itu. "Mamaku pernah bilang kalau seorang istri haruslah patuh pada seorang suami selama apa yang dia perintahkan tidaklah buruk. Jadi aku patuh-patuh saja sama yang diperintahkan oleh Mas Edgar," jawab Anindya. "Tapi kamu bukan boneka yang bisa diperlakukan sesuka hati, Anindya. Tubuhmu milikmu sendiri, bukan milik suamimu. Kamu punya hak untuk berpendapat atas apa yang kamu rasakan sekarang." Anindya tersenyum getir. "Aku gak mau ada pertengkaran di rumah ini, Nara." "Lantas apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?" "Yah, tentu saja. Pernikahanku dengan Mas Egdar selalu berjalan dengan baik. Buktinya selama setahun ini, gak pernah ada pertengkaran dalam rumah tangga kami." Aku menatap mata Anindya yang nampak lesu. "Pernikahan yang kamu anggap bahagia itu nyatanya terasa gersang, Anindya." Bola mata Anindya nampak bergetar dan berkaca-kaca. Aku menghapus lamunanku barusan lalu menoleh sebelum masuk ke dalam kamar. Mas Edgar masih berdiri di tempatnya tadi, termenung seperti sedang berpikir. "Mas, sebenarnya aku cuma mau bilang kalau kehadiranku membuat Anindya merasa bahagia karena dia bisa tampil sebagai diri sendiri, bukan sebagai Nyonya Hutomo." Agar Mas Edgar tidak menyahut ucapanku barusan, aku bergegas masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku tidak yakin dengan reaksinya barusan. Sekilas tadi aku melihat wajahnya seperti tersenyum tertahan. Entah itu benar atau tidak. Kalaupun benar, itu malah membuatku bingung. Entahlah, lebih baik aku segera membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelahnya, aku segera membuka amplop yang tadi diserahkan oleh Mas Edgar. Amplop itu aku buka dan mendapati total ada dua lembar surat yang isinya dipenuhi oleh tulisan Anindya yang cukup khas. Seperti yang telah di duga oleh Mas Edgar, maksud dari isi surat yang ditujukan untukku tidak jauh berbeda dari isi surat yang ditujukan untuk Tante Irna dan Mas Edgar. Anindya ingin aku menikah dengan Mas Edgar. Banyak hal yang disampaikan oleh Anindya. Salah satunya, alasan mengapa dia ingin aku menikah dengan Mas Edgar. [...kamu itu gadis yang penuh semangat, energik, romantis dan hangat. Memang kadang-kadang kamu sangat emosional, tapi hatimu sangat lembut, peka dan mudah jatuh iba pada kesulitan orang. Intinya karaktermu itu penuh dengan warna, Nara. Kurasa yang kamu miliki itu terlalu banyak untukmu. Bagikanlah itu pada Mas Edgar agar ketegaran, kekakuan, kekerasan dan sikapnya yang bossy bisa sedikit mencair hingga nantinya dia bisa tampil lebih nampak manusiawi dan peka di depan orang lain...] Sampai disitu saja air mataku sudah tumpah. Cara bicaranya yang ada di surat itu membuatku rindu dengannya. Aku pun melanjutkan membaca isi surat yang kebanyakan isinya mengenang saat-saat kita masih bersama. Entah mengapa dia memilih menulis surat dibanding mengetik atau membuat video agar lebih mudah. Tapi yang pasti, surat seperti ini jelas tidak bisa dipalsukan begitu saja oleh orang lain. Mengingat gaya tulisannya, sudah pasti surat ini memang Anindyalah yang menulisnya. Setelah selesai membaca, aku segera melipat surat tersebut lalu menyimpannya kembali ke dalam amplop dengan rapi. Akan aku simpan baik-baik amplop tersebut di dalam tas. Aku jadi mengingat sewaktu Anindya meneleponku untuk memberitahu perihal perjodohan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya. "Kamu yakin mau menikah dengannya?" tanyaku sewaktu kami melakukan video call dulu. "Bukannya kalian tidak saling cinta?" "Aku tidak mementingkan lagi soal cinta, Nara. Aku trauma. Dulu saat aku benar-benar mencintai Mas Rama dan berharap dia akan menikahi ku segera, dia malah berkhianat dengan selingkuh. Sekarang kalau memang Mas Edgar bisa memberikanku pernikahan, aku akan menerimanya." Aku tidak lagi berdebat dengannya soal itu. Soal diselingkuhi, aku paling tahu bagaimana rasanya. Kami berdua sama-sama menjadi korban dari perselingkuhan. Jadilah Anindya menikah dengan Mas Edgar. Selama setahun, aku tidak pernah tahu bagaimana soal pernikahannya sampai saat aku mengunjunginya enam bulan yang lalu. "Apa bagusnya jadi boneka barbie kalau aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Ini bukan lagi seperti diriku sendiri, Nara. Aku lebih mirip seperti boneka yang bisa dikendalikan sesuka hatinya Mas Edgar," ujarnya saat aku mengatakan betapa cantiknya dia hingga mirip seperti boneka barbie.Aku memperhatikan ke arah sekeliling. Banyak orang mulai memperhatikan ke arahku, bahkan menghentikan aktivitas mereka karena tertarik dengan suara Syana yang keras. Terlebih seorang satpam sampai turun tangan.Sialan betul memang si Syana itu..."Memang benar kalau istrinya Mas Edgar sudah meninggal, tapi aku ini istri barunya. Apa kamu gak diundang sewaktu pernikahan kami diadakan?" tanyaku, masih berusaha bersikap tenang.Kilatan mata Syana yang sombong itu terlihat bergetar. Sepertinya dia mulai panik dengan ucapanku barusan."M-mana mungkin... kalau memang Pak Edgar sudah menikah, harusnya para karyawan di sini pada tahu soal beritanya. Tapi nyatanya, mereka semua sepertinya gak ada yang tahu tuh."Aku mengetatkan rahang karena merasa kesal. Wanita di depanku ini benar-benar keterlaluan. Memang benar berita soal pernikahan Mas Edgar tidak tersebar luas. Aku yang meminta Mas Edgar untuk tidak menyebarluaskan berita tersebut karena belum siap kalau melihat wa
Di depan sebuah gedung bertingkat yang merupakan kantor cabang dari perusahaan milik suamiku, aku berdiri dengan perasaan cemas. Sesekali aku menyeka keringat yang terus bercucuran di sekitaran wajah.Siang ini matahari di Surabaya terasa sangat terik. Ibu terus menggandeng tanganku untuk menguatkan. Perasaanku terasa sedikit tenang meski debaran jantung di dadaku terus berdetak kencang.Mas Edgar... ku harap kamu tidak melakukan sesuatu yang membuatku kecewa.Selama aku mengenalnya, dia bukanlah pria yang mudah terlena oleh kepuasan duniawi. Meski wataknya kaku, bossy dan otoriter--yang selalu membuatku muak, namun dia adalah pria yang setia.Karena itulah aku menerima lamarannya dulu. Aku sudah belajar dari masa lalu bahwa pria yang lembut dan romantis tidak menjamin bisa setia terhadap satu pasangan. Tapi pria yang bersifat sebaliknya malah bisa jadi memiliki sifat setia yang tidak kira-kira.Pemikiran itulah yang membuatku yakin untuk membina rumah tangga ber
Dua hari kemudian. Matahari sudah mulai nampak, udara dingin berulang kali menerpa. Sambil mengusap perut, aku menunggu Ibu duduk di kursi teras. Pandanganku tertuju pada dua buah koper berukuran besar yang sudah tersedia di depan teras.Aku sudah memutuskan untuk ikut Ibu pergi ke Surabaya demi menuntaskan rasa keingintahuanku atas aktivitas Mas Edgar di Surabaya sana.Meski sebenarnya dua hari kemarin Mas Edgar sudah menghubungiku, tetap saja hati ini masih ada rasa penasaran dan was-was. Malam itu aku langsung menanyakan padanya soal alasan dia yang tidak bisa ku hubungi."Maaf ya, Sayang, ponsel tiba-tiba hilang dan baru ketemu sore tadi. Ternyata ponselnya ketinggalan di hotel tempat aku meeting sama klien kemarin pagi," katanya waktu itu. Alasan darinya bisa ku terima, aku juga tidak memberitahu padanya soal kiriman foto. Lebih baik membuktikan langsung dari pada hanya terus berspekulasi."Mbak." Suara yang memanggilku pelan membuat lamunank
Lagi-lagi dari nomor yang sama sebelumnya, yang pernah mengirimiku foto Mas Edgar berciuman dengan Naomi. Tanganku menggenggam erat ponsel hingga bergetar. Apa maksud dari si pengirim hingga berani mengirimiku foto lagi? Hanya saja, kali ini si pengirim mengirimkan foto yang berbeda.Foto itu menampilkan Mas Edgar yang sedang berjalan dengan seorang wanita kantoran yang tentu saja aku kenal. Wanita itu namanya Tiara, dia adalah sekretaris baru Mas Edgar di kantor. Dia menggantikan sekretaris sebelumnya yang telah mengundurkan diri.Darimana aku tahu? Mas Edgar sendiri yang menceritakannya padaku. Meski suamiku itu jarang bercerita soal pekerjaan, tapi terkadang dia bercerita soal apa yang terjadi di kantor-- termasuk soal pergantian sekretaris."Aku gak mau kamu salah paham nantinya. Tiara itu masih muda, baru saja lulus kuliah. Takutnya kamu nanti mengira aku punya selingkuhan," kata Mas Edgar kala itu saat aku bertanya alasan dia menceritakan soal pergantian sekre
"Mau ibuk jodohin sama sepupumu yang ada di Surabaya. Besok lusa Ibuk mau kesana sebelum nginap ke rumah masmu.""Kok nginap di sini cuma tiga hari? Aku kan masih kepengen kangen-kangenan sama ibuk dulu di sini." Aku segera memeluk Ibu dengan sikap manja."Makanya Ibuk tadi nanya, Nak Edgar berapa hari di Surabayanya. Soalnya Ibuk gak bisa lama-lama di sini. Masmu di Surabaya lagi butuh bantuan untuk kendala restorannya."Ibu pun bercerita soal masalah restoran yang dikelola oleh Mas Baskara-- kakakku yang kedua di Surabaya. Ada salah seorang karyawan yang mencuri uang restoran hingga puluhan juta. Mas Baskara menyuruh Ibu datang karena ingin membantunya menangani restoran sedang Mas Baskara hendak fokus menyelesaikan masalah tersebut di pengadilan."Makanya mau gak mau Ibuk harus cepat datang ke sana, Nduk," ujar Ibu kemudian."Terus yang mengurus rumah dan restoran di rumah siapa, Buk?" "Di rumah ada Mbok Ijah yang mengurus, sedang restorannya... sudah Ibu
"Memangnya Mas Edgar sering marah-marah sama kalian?" tanyaku. "Jarang sih, Bu. Tapi saya pernah melihat Pak Edgar marah besar sama salah seorang pembantu baru yang akhirnya dipecat."Keningku mengerut dalam. "Pembantu baru?""Dulu saat Pak Edgar baru dua bulan menikah dengan Bu Anindya, ada seorang pembantu baru yang pernah bersikap lancang. Namanya Lusi. Dia berasal kampung yang sama dengan Mbok Sum dan mereka masih ada hubungan saudara meski terbilang jauh. Awalnya sikapnya biasa saja tidak ada yang aneh. Kinerjanya bagus dan orangnya cekatan. Tapi lambat laun sikapnya berubah. Tepatnya sebulan setelah dia bekerja di sini, dia sering buat masalah. Seperti salah menaruh garam di kopinya Pak Edgar atau menumpahkan teh susu ke kemeja yang hendak digunakan Pak Edgar berangkat kerja dan masih banyak kesalahan kecil lainnya." Nuning menarik napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "Respon Pak Edgar saat itu hanya menegur, tidak sampai marah-marah. Sebenarnya sudah berula