Share

Bab 4

Penulis: Gilva Afnida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 13:19:01

"Maksudmu apa?" Mas Edgar kehilangan kesabarannya dan mulai menatapku tajam. "Emangnya kamu tahu apa soal Anindya?"

"Asal kamu tahu, Mas. Anindya itu orang yang sabar, setia dan selalu ikhlas menerima keadaan."

"Aku tahu itu, terus kenapa?"

"Mas tahu soal dia yang sangat senang saat aku datang ke rumah ini enam bulan yang lalu?"

"Tahu."

"Tapi Mas gak tahu kan kenapa dia sangat senang? Banyak hal yang bisa dia lakuin saat sama aku, Mas. Mulai dari makan di pinggir jalan, jalan-jalan keluar rumah dengan celana pendek, ketawa terbahak-bahak dan banyak lagi hal-hal yang kita lakukan bersama yang bisa buat dia bahagia."

Dahi Mas Edgar mengerut dalam. "Dia ngelakuin itu?"

"Ya. Dan dia sangat bahagia."

Mas Edgar terdiam. Wajahnya menjadi nampak serius.

"Udah malam, lebih baik kita segera istirahat," ujarnya setelah terdiam cukup lama.

Aku pun mengangguk. Diam-diam dalam hati aku menertawakannya. Pasti dia tidak mau melanjutkan pembicaraan, takut semakin syok saat mendengar cerita istrinya yang seperti 'salah pergaulan' denganku.

Dulu Mas Edgar telah menekan Anindya untuk mengikuti berbagai kelas untuk menunjang penampilannya sebagai 'Nyonya bos'. Dan Anindya pernah berkata kalau dia tidak menyukainya namun terpaksa demi menyenangkan hati Mas Edgar.

"Kenapa kamu tidak protes saja sama Mas Edgar? Bilang padanya kalau kamu keberatan melakukan ini-itu yang tidak kamu sukai," ucapku kala itu.

"Mamaku pernah bilang kalau seorang istri haruslah patuh pada seorang suami selama apa yang dia perintahkan tidaklah buruk. Jadi aku patuh-patuh saja sama yang diperintahkan oleh Mas Edgar," jawab Anindya.

"Tapi kamu bukan boneka yang bisa diperlakukan sesuka hati, Anindya. Tubuhmu milikmu sendiri, bukan milik suamimu. Kamu punya hak untuk berpendapat atas apa yang kamu rasakan sekarang."

Anindya tersenyum getir. "Aku gak mau ada pertengkaran di rumah ini, Nara."

"Lantas apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?"

"Yah, tentu saja. Pernikahanku dengan Mas Egdar selalu berjalan dengan baik. Buktinya selama setahun ini, gak pernah ada pertengkaran dalam rumah tangga kami."

Aku menatap mata Anindya yang nampak lesu. "Pernikahan yang kamu anggap bahagia itu nyatanya terasa gersang, Anindya."

Bola mata Anindya nampak bergetar dan berkaca-kaca.

Aku menghapus lamunanku barusan lalu menoleh sebelum masuk ke dalam kamar. Mas Edgar masih berdiri di tempatnya tadi, termenung seperti sedang berpikir.

"Mas, sebenarnya aku cuma mau bilang kalau kehadiranku membuat Anindya merasa bahagia karena dia bisa tampil sebagai diri sendiri, bukan sebagai Nyonya Hutomo."

Agar Mas Edgar tidak menyahut ucapanku barusan, aku bergegas masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Aku tidak yakin dengan reaksinya barusan. Sekilas tadi aku melihat wajahnya seperti tersenyum tertahan.

Entah itu benar atau tidak. Kalaupun benar, itu malah membuatku bingung.

Entahlah, lebih baik aku segera membersihkan diri dan mengganti pakaian.

Setelahnya, aku segera membuka amplop yang tadi diserahkan oleh Mas Edgar. Amplop itu aku buka dan mendapati total ada dua lembar surat yang isinya dipenuhi oleh tulisan Anindya yang cukup khas.

Seperti yang telah di duga oleh Mas Edgar, maksud dari isi surat yang ditujukan untukku tidak jauh berbeda dari isi surat yang ditujukan untuk Tante Irna dan Mas Edgar. Anindya ingin aku menikah dengan Mas Edgar.

Banyak hal yang disampaikan oleh Anindya. Salah satunya, alasan mengapa dia ingin aku menikah dengan Mas Edgar.

[...kamu itu gadis yang penuh semangat, energik, romantis dan hangat. Memang kadang-kadang kamu sangat emosional, tapi hatimu sangat lembut, peka dan mudah jatuh iba pada kesulitan orang. Intinya karaktermu itu penuh dengan warna, Nara.

Kurasa yang kamu miliki itu terlalu banyak untukmu. Bagikanlah itu pada Mas Edgar agar ketegaran, kekakuan, kekerasan dan sikapnya yang bossy bisa sedikit mencair hingga nantinya dia bisa tampil lebih nampak manusiawi dan peka di depan orang lain...]

Sampai disitu saja air mataku sudah tumpah. Cara bicaranya yang ada di surat itu membuatku rindu dengannya. Aku pun melanjutkan membaca isi surat yang kebanyakan isinya mengenang saat-saat kita masih bersama.

Entah mengapa dia memilih menulis surat dibanding mengetik atau membuat video agar lebih mudah. Tapi yang pasti, surat seperti ini jelas tidak bisa dipalsukan begitu saja oleh orang lain. Mengingat gaya tulisannya, sudah pasti surat ini memang Anindyalah yang menulisnya.

Setelah selesai membaca, aku segera melipat surat tersebut lalu menyimpannya kembali ke dalam amplop dengan rapi. Akan aku simpan baik-baik amplop tersebut di dalam tas.

Aku jadi mengingat sewaktu Anindya meneleponku untuk memberitahu perihal perjodohan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.

"Kamu yakin mau menikah dengannya?" tanyaku sewaktu kami melakukan video call dulu. "Bukannya kalian tidak saling cinta?"

"Aku tidak mementingkan lagi soal cinta, Nara. Aku trauma. Dulu saat aku benar-benar mencintai Mas Rama dan berharap dia akan menikahi ku segera, dia malah berkhianat dengan selingkuh. Sekarang kalau memang Mas Edgar bisa memberikanku pernikahan, aku akan menerimanya."

Aku tidak lagi berdebat dengannya soal itu. Soal diselingkuhi, aku paling tahu bagaimana rasanya. Kami berdua sama-sama menjadi korban dari perselingkuhan.

Jadilah Anindya menikah dengan Mas Edgar.

Selama setahun, aku tidak pernah tahu bagaimana soal pernikahannya sampai saat aku mengunjunginya enam bulan yang lalu.

"Apa bagusnya jadi boneka barbie kalau aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Ini bukan lagi seperti diriku sendiri, Nara. Aku lebih mirip seperti boneka yang bisa dikendalikan sesuka hatinya Mas Edgar," ujarnya saat aku mengatakan betapa cantiknya dia hingga mirip seperti boneka barbie.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 18

    Perbuatan kami semalam membuat Mas Edgar tertidur pulas di kamarku hingga menjelang pagi.Pelan-pelan Mas Edgar menuruni kasur tanpa tahu kalau sebenarnya aku sudah bangun. Ku tatap punggungnya yang semakin lama semakin hilang di balik pintu.Pada saat itulah aku baru tersadar ada sesuatu dalam hatiku yang merekah soal pria itu. Tadi malam aku menyerahkan keperawanan--yang tadinya aku sendiri tidak menyangka. Akhirnya, kami menggenapi hubungan suami-istri seutuhnya.Setelahnya, aku turun dari ranjang dengan perasaan ngilu di bagian selangkangan. Ku tatap darah keperawanan yang ada di atas sprei lalu berdiri mematung di depan meja rias. Penampilanku begitu berantakan, pipiku memerah dan mataku seperti berkabut.Sekelebat ingatan soal malam panas tadi malam membuatku meneteskan air mata. Entah apa yang sebenarnya ku rasakan. Mungkin karena menyadari kalau aku telah kehilangan mahkota kesucian yang selama ini ku jaga.Aku berusaha untuk tidak menyesalinya, hanya mer

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 17

    Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa."Sekarang dugaanmu itu lucu, Mas.""Jadi gak benar ya?""Ya enggaklah. Sifatku ini emang gak mau kalah, tapi cuma sekedar buat menunjukkan kalau aku ini juga punya otak yang bisa bekerja."Kali ini giliran Mas Edgar yang tertawa."Kok ketawa?" tanyaku."Gak boleh? Katamu aku bisa ngelakuin apa aja di rumahku sendiri. Mau aku tidur di atas genteng atau tertawa terbahak-bahak, ini kan di rumahku sendiri," jawabnya sambil tertawa. "Jadi aku mau nunggu di sini sampai Daniel masuk ke kamar juga gak akan ada yang melarang, Kan?"Merasa capek berdebat. Aku pun menggeser tubuhku agar Mas Edgar bisa berbaring di sampingku. "Ya udah cepat berbaring sini."Setelahnya, aku mencari remot untuk mematikan lampu utama dan digantikan dengan lampu tidur.Mas Edgar terlihat sudah berbaring di sampingku. Keheningan pun terjadi. Lidahku terasa kelu. Hanya ada suara musik dari ruang tengah yang terdengar."Musik DJ y

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 16

    Kali ini giliran Mas Daniel yang tertawa. "Sepertinya kesegaran wajahku kalah oleh wanita yang sehabis melalui bulan madu di depanku ini."Mendengar itu, wajahku seketika memanas. Lekas aku mengalihkan topik pembicaraan. Untungnya Mas Daniel tidak menyadarinya. Kami membahas soal kerjaan yang baru saja diselesaikannya. Sesekali kami tertawa bahkan terbahak-bahak bersama.Mas Edgar yang baru datang pun ikut duduk di sebelah kananku. "Apa yang bikin kalian keliatan asyik?""Pengalamanku di Jogja, Mas," sahut Mas Daniel. "Maklum, baru pertama kali kesana.""Pasti tingkahmu yang selalu menggampangkan sesuatu, seperti gak mau disopiri seseorang sampai salah jalan. Ya, Kan?" kata Mas Edgar menebak."Itu salah satunya." Mas Daniel menyeringai.Kami bertiga pun larut dalam pembicaraan. Mula-mula Mas Edgar hanya tersenyum tidak terlalu menanggapi percakapan, namun saat membicarakan urusan bisnis, Mas Edgar menjadi sosok yang mendominasi.Hal itu membuatku bosan da

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 15

    Sulit bagiku menyadari kalau rumah dua lantai yang berlapis cat emas di depanku itu, kini berada dalam genggamanku sebagai istri dari Mas Edgar.Awal-awal aku mengalami kesulitan karena menjalani kehidupan yang berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Seperti berada di lingkungan yang sibuk dengan usaha, urusan bisnis, acara makan dengan pejabat, bahkan mengadakan turnamen golf. Padahal aku terbiasa bangun pagi lalu berangkat ke kantor. Singkatnya, dunia ini bukanlah duniaku.Selain itu, hal yang paling berat adalah penyesuaianku dengan Mas Edgar sebagai suamiku. Awal masuk ke rumah ini, aku tidak mau menempati kamar bekas Anindya. Kubiarkan kamar itu tetap seperti semula tanpa ada yang ku ubah sampai Tante Irna marah melihat kelakuanku."Kamar itu harusnya jadi milikmu, Nara," begitu katanya saat berkunjung ke rumah. "Singkirin aja barang-barang dari Anindya ke gudang.""Enggak, Ma. Aku akan tetap tidur di kamar yang dulunya aku tempati."Sejak menikah, aku mem

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 14

    "Aku malah tiap hari ngerasa gak enak sampai pekerjaanku keganggu." Jawabannya cukup membuatku terkejut."Kayaknya Mas Edgar bukan tipe orang yang mudah terpengaruh sama hal-hal yang gak masuk akal sehat.""Gak masuk akal sehat gimana?" tanyanya memotong ucapanku dengan cepat. "Ini permintaan istriku sendiri. Aku ngerasa bersalah kalau mengabaikan permintaan itu begitu saja... Lagipula apa kamu tidak terusik setelah ciuman kita sebulan yang lalu?"Aku terdiam, menatap lagi matanya yang hitam sepekat malam."Jangan bilang kalau kamu tidak memikirkannya." Mas Edgar menatapku dengan dalam. "Nara... Meskipun ada banyak hal-hal lainnya diantara kita yang tidak cocok, bagaikan langit dan bumi. Tapi untuk satu hal itu... sepertinya kita jadi cocok." Suara Mas Edgar terdengar lembut.Aku semakin kehilangan kata-kataku. Perkataan Mas Edgar membuat bara panas di pipiku. Kenapa juga waktu itu aku dengan mudahnya larut dalam cumbuan-cumbuannya? Apa benar aku termasuk orang yang mesum?Tiba-tiba M

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 13

    Masih seperti habis pulang dari kantor tadi, aku keluar menemui Mas Edgar yang duduk tenang di ruang tamu rumah orangtuaku.Wajahku masih berminyak, rambutku agak berantakan karena mengendarai motor sepulang dari kantor.Meski aku tahu tamuku itu ingin semua hal nampak rapi, apik dan anggun, termasuk penampilan orang, tapi aku tidak peduli.Kenapa juga aku harus tampil sesuai yang disukainya? Memangnya dia siapa?Sembari berpikir seperti itu, aku menyalaminya. "Apa kabar, Mas?" "Aku biasa-biasa aja," jawabnya datar."Kapan datang dari Jakarta?" "Kemarin pagi. Kebetulan ada urusan pekerjaan di sini tapi udah selesai tadi pagi. Sekarang aku mampir kesini karena ada hal yang ingin aku sampaikan.""Apa itu, Mas?""Kita ngobrolnya di restoran luar aja. Gimana? Mau, kan?""Aku capek, Mas. Aku mau istirahat.""Tapi udah makan malam belum?""Belum." Aku menjawab apa adanya."Gak lapar?""Ya lapar... tapi jujur aja kalau yang ingin aku lakuin sekarang itu mandi dengan air hangat, makan, habi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status