LOGINKeesokan harinya, kami berempat—aku, Mas Edgar, Mas Rendra dan Mas Baskara—duduk di ruang konsultasi dokter. Dr. Wijaya, seorang dokter senior dengan wajah teduh, menatap kami dengan sabar.
"Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya," Dr. Wijaya memulai, "kondisi Ibu sangat kritis. Fungsi otaknya sudah sangat menurun, dan kemungkinan untuk pulih sangat kecil." Aku menggenggam erat tangan Mas Edgar, mencoba menahan air mata. "Tapi, Dok, jantung Ibuk masih berdetak. Itu berarti masih ada harapan, kan?" Dr. Wijaya menghela napas. "Betul, jantung Ibu masih berdetak karena alat pacu jantung. Tapi, alat itu hanya membantu memompa darah. Tidak ada hubungannya dengan fungsi otak." Mas Rendra menyela, "Jadi, Dok, apa artinya alat-alat ini hanya memperpanjang penderitaan Ibu?" Dr. Wijaya menatap Mas Rendra dengan tatapan serius. "Saya tidak bisa mengatakan itu dengan pasti. Tapi, dengan kondisi Ibu saat ini, alat-alat ini hanya mempertahankan fungsi vitalnya secaraEntah sudah berapa lama aku menangis tersedu-sedu setelah mengetahui kalau ibu sudah tiada. Yang jelas aku menangis sampai terlelap hingga pagi kembali datang dan aku bersedih lagi.Kemarin Mas Baskara meminta maaf dan berkata kalau sebenarnya dia mengetahui umur ibu tidak akan panjang. Setelah ibu sadar dari koma, Mas Baskara mengetahui fakta itu dari dokter yang menjelaskan keadaan ibu."Ibu anda mengalami keadaan dimana kesadarannya pulih dan sangat responsif seperti sesaat sebelum koma. Tapi sebenarnya itu hanyalah sementara," kata dokter waktu itu."Maksudnya apa, Dok?" tanya Mas Baskara."Sel kanker sudah menyebar ke seluruh jaringan otak dan organ lain yang penting. Sehingga kemungkinan untuk bertahan hidup sangatlah kecil. Keadaan yang ibu anda alami namanya terminal lucidity. Kondisi dimana pasien mengalami kesadaran dan seolah-olah sudah pulih sebelum akhirnya meninggal."Oleh karena itu Mas Baskara kembali ke ruangan dengan wajah pucat dan lesu. Dia sudah memberitahu kondis
Cukup lama aku memandangi anakku, Nala. Rambutnya hitam tebal dan pipinya bulat menggemaskan. Jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak percaya jika sekarang aku telah menjadi seorang ibu. Kulit Nala sangat halus dan hangat. Air mata mengalir di pipiku tanpa bisa dicegah. "Halo, sayang," bisikku dengan suara serak. "Ini Ibu." Nala menggeliat dalam pelukanku, lalu Nala membuka matanya yang besar dan bulat. Mata kita bertemu, dan aku merasa seolah seluruh duniaku terisi kembali. Ada cinta, kelegaan, dan rasa syukur yang tak terhingga dalam tatapan itu. "Ibu di sini, Nak" bisikku lagi, mencium lembut kepala Nala. "Ibu di sini, dan Ibu gak akan pernah meninggalkanmu." Saat itu, semua rasa sakit dan ketakutan yang pernah kurasakan seolah menghilang. Yang tersisa hanya cinta seorang ibu, yang baru saja terbangun dari kegelapan untuk menyambut kehidupan baru. Bayiku, malaikat kecilku, adalah alasan untuk berjuang, untuk sembuh, dan untuk memulai semuanya dari awal.Mas Edgar mengelus
Sekujur tubuhku terasa lemas, sayup-sayup aku dapat mendengar suara alat medis yang begitu nyaring. Lalu suara lantunan ayat suci Alquran yang begitu lirih di telinga kananku.Aku berusaha menggerakkan kedua mata dan jari-jari tanganku. Saat mataku bisa sedikit terbuka dan sinar lampu putih yang begitu terang menyambutku, aku mendengar suara Mbak Sarah berteriak, "Dokter... tolong, adek saya sudah sadar. Dia bangun!"Aku baru menyadari kalau aku masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhku. Suara derap langkah kaki yang menggema terdengar memenuhi telingaku. Aku menatap orang-orang yang mendatangi, mengelilingiku dengan pakaian putih. "Bu Nara, ibu bisa dengar suara saya?" tanya salah seorang pria yang mengeliliku. Aku berusaha mengangguk meski terasa sulit.Aku juga ingin bersuara, tapi alat selang yang memenuhi rongga mulutku membuatku sulit untuk bersuara. Akhirnya hanya gumaman yang dapat aku keluarkan.Kemudian pria itu me
Pintu ruang operasi terbuka dengan bunyi lembut, mengungkapkan ruangan yang terang terang dengan cahaya lampu operasi yang menyilaukan. Udara di dalam terasa dingin dan bau obat yang khas menyebar. Aku menaiki ranjang pasien dengan perasaan yang berat, tapi aku harus tetap tabah."Aku akan temani kamu, sayang. Semuanya akan baik-baik saja," kata Mas Edgar, mencium dahiku. Aku mengangguk, tapi mataku sudah penuh air. Aku berbaring di ranjang operasi yang keras. Para dokter dan perawat bergerak dengan cepat tapi tenang di sekitarnya. "Tenang saja, Bu Nara. Kita akan beri anestesi dulu ya," ujar dokter anestesi dengan senyum. Aku merasakan jarum menyuntik di tulang punggungku, dan perlahan-lahan rasa kebas terasa di separuh tubuhnya. Tapi aku masih tetap sadar.Dokter anestesi mulai mengajakku bicara dan Mas Edgar mengelus-elus kepalaku, berusaha menenangkan.Aku tak dapat merasakan apa-apa dan hanya bisa melihat langit-langit ruang operasi yang putih terang. Dan juga mendengar suara-s
"Mbak, perutku sakit sekali. Aku udah gak tahan," keluhku dengan wajah yang penuh keringat akibat menahan rasa sakit selama berjam-jam. Perutku mulas sekali dan rasa nyeri akibat kontraksi membuatku tak dapat berbuat apa-apa selain menahan rasa sakit."Sabar ya, Dek. Dokter bilang, Induksi yang disuntikkan ke jarum infusmu gak ngaruh. Pembukaan masih stuck sampai tiga saja, gak naik-naik. Dokter khawatir kalau bayi dalam kandunganmu akan stres, makanya dokter menyarankan operasi. Ini sedang diskusi dengan suamimu di luar ruangan," kata Mbak Sarah yang semakin membuat tubuhku lemas.Saat nyeri kontraksi menghilang, aku menatap ke arah langit-langit ruang bersalin dengan tatapan pasrah. Sekarang pasti di luar langit sudah terang benderang karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Sudah hampir dua belas jam aku berada di sini, tapi masih belum ada tanda-tanda aku bisa melahirkan sekarang. Aku terbaring pasrah. Sepertinya harapanku untuk lahiran normal pupus sudah. Tiba-tiba aku ter
Siapa yang menyangka kalau tiba-tiba aku merasakan kontraksi asli? Padahal hari perkiraan melahirkan masih ada sepuluh hari lagi. Setelah aku memanggil Mas Edgar, aku langsung dibawa ke IGD yang ada di lantai dasar rumah sakit ini. Awalnya aku hanya mengira itu kontraksi palsu, tapi dokter berkata kalau apa yang aku alami adalah kontraksi asli dan aku sudah mengalami pembukaan satu."Jangan terlalu panik, Pak, Bu. Memang terkadang ada yang maju dari hari perkiraan lahir. Saya lihat, posisi adek bayi bagus. Sudah turun ke bawah dan siap untuk lahiran normal." Begitulah kata dokter saat memeriksaku dengan alat USG.Rasa panik, sakit, resah dan bahagia bercampur aduk menjadi satu. Aku akan melahirkan tapi ini merupakan pengalaman pertama bagiku. Berbagai kekhawatiran melintas dalam benakku, seperti... apa aku nanti bisa mengejan dengan kuat saat hendak melahirkan? Mengingat seharian tadi aku tak sempat makan dan minum dengan baik karena terlalu antusias dengan keadaan







