PLAK!
Tamparan yang Alsya layangkan terdengar nyaring dalam kamar yang mereka tempati. Beruntung pintu sudah tertutup, dan semua orang tengah berada di lantai bawah, sehingga tidak ada yang mendengarnya.“Jaga omongan Kakak ya. Kakak nggak kenal Cakra, dan dia nggak seburuk yang Kakak duga.” Kecam Alsya langsung meninggalkan Aiden seorang diri di kamar pengantin mereka.“Terserah kamu mau bilang apa, Sya. Tapi, apa pun yang terjadi aku akan menepati janjiku pada Keyra untuk menjaga kamu,” janji Aiden.Deru napas Alsya begitu memburu. Dadanya terasa sesak, seakan kehabisan oksigen di kamar tidurnya sendiri, hingga ia memilih untuk pergi ke kamar Keyra yang berada tepat di seberang kamarnya.Masih dengan menenakan gaun pengantin sederhana, ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dan menatap langit-langit kamar sang kakak.“Kenapa semuanya harus begini?” tanya Alsya seorang diri. Ia tidak menyangka jika semuanya terasa semakin berat setelah resmi menikah. Ditengah kekalutan dan pikiran yang buntu, Alsya memberanikan diri untuk menerima panggilan Cakra yang sudah seminggu ia abaikan begitu saja.Suara dan panggilan lelaki blasteran Indonesia-Amerika itu terdengar sangat lembut dan mesra, meski sepekan Alsya mengabaikan dirinya Cakra tidak langsung marah ataupun mencecar dirinya.“Apa semuanya baik-baik aja?” tanya Cakra.“Nggak. Nggak ada yang baik-baik aja di sini,” jujur Alsya. Ia menjelaskan alasannya menghilang selama sepekan terakhir.“Kamu nggak usah ngerasa bersalah gitu. Aku yang salah, karena nggak ada di saat kamu sedang berkabung,” sesal Cakra.“Kamu mau aku jemput ke sana?” tawar Cakra tidak tega membiarkan kekasihnya pergi seorang diri.“Eh, nggak usah. Kamu tunggu aja di sana. Nggak lama lagi aku balik ke Jogja kok,” tolak Alsya.“Iya, aku nggak papa. Sekarang kamu istirahat ya. Aku juga mau tidur,” pamit Alsya mengakhiri panggilan mereka. Bahkan ia menolak untuk melakukan panggilan video, karena ia masih belum bertukar pakaian.“Hampir aja ketahuan. Kayaknya aku harus cepet-cepet balik ke sana,” putus Alsya.Sekembalinya ke kamar, tampak Aiden sudah terlelap di atas ranjang pengantin mereka. Membuat Alsya terpaksa mengungsi ke kamar kakaknya, karena masih ingin menjaga jarak. Tanpa ia sadari, Aiden hanya pura-pura tidur dan perlahan menyelinap masuk ke kamar mendiang istrinya.“Kamu itu terlalu gegabah. Gimana kalau ketahuan sama bunda dan ayah.” Aiden menghela napas panjang dan mendengkus pelan melihat istri kecilnya yang terlelap.Perlahan Aiden mendekatkan wajah mereka. Mengikis jarak yang ada, hingga dia dapat mengamati dengan jelas pahatan Tuhan yang ada di hadapannya.‘Nggak tahu lagi kapan terakhir kali aku lihat wajah kamu yang setenang ini, Sya,’ batin Aiden. Hatinya juga terasa sakit, telah membiarkan Alsya menderita karena dirinya. Takut jika Alsya terbangun dan menyadari keberadaan dirinya, Aiden berjingkat ke arah sofa, dan memilih tidur di sana. Tak lupa ia mengunci pintu dari dalam, agar tidak ada yang memergoki mereka yang tidak tidur seranjang. Bahkan kamar pengantin yang mereka tinggalkan masih rapi seperti sedia kala.*** Selimut tebal yang membalut seorang gadis mulai bergerak, saat semburat cahaya mentari menyilaukan matanya. Terdengar lenguhan pelan, ketika Alsya menyibak selimut dan menguap lebar. Dengan kesadaran yang masih setengah terkumpul, Alsya berusaha mencari ponselnya di area nakas yang berada tepat di samping ranjang.“Astaghfirullah! Aku kesiangan banget!” pekik Alsya melompat dari ranjang.“Haaa!” Baru saja Alsya hendak berteriak, sebuah tangan kokoh yang besar membekap rapat mulutnya. “Masih pagi. Jangan bikin seisi rumah heboh,” bisik Aiden.Alsya terus memberontak, dan berusaha melepaskan tangan Aiden yang menutup mulut sekaligus hidungnya.“Ya nggak usah pake nutup hidung Alsya segala. Nggak bisa napas tau,” ketus Alsya menghempaskan tangan Aiden dan menjauh.“Lagian Kak Aiden kenapa di sini? Oh, atau jangan-jangan semalam kakak?”Pandangan Alsya langsung turun, menatap dirinya dari atas hingga bawah. Bahkan ia terus memastikan jika tidak ada sehelai benang pun yang hilang dari tubuhnya. Tak sampai di sana, Alsya mencoba untuk berjalan, dan merasakan bagian intim dirinya.Baik-baik saja, dan tidak ada yang terasa sakit. Barulah ia bernapas lega, setelah memastikan Aiden tidak melakukan apa pun pada dirinya.“Mandi sana! Kamu mikirnya kejauhan,” seloroh Aiden dapat menerka apa yang ada dalam benak Alsya.“Lagian siapa suruh kakak ke kamar ini. Kalo tau gitu mendingan Alsya nggak usah pindah,” gerutu Alsya. Wajahnya mulai bertekuk kesal, sekaligus merutuki keteledorannya yang tidak mengunci pintu sedari awal.“Memangnya kamu sudah siap?” goda Aiden sengaja ingin menjahili istrinya.Sejak awal mereka kenal, menggoda Alsya hingga gadis itu menangis dan mengadu pada kakaknya merupakan salah satu kegemaran Aiden. Tak ayal, kendatipun situasi dan kondisi mereka sekarang berbeda, rasa senang menjahili gadis di hadapannya tetap ada.“Mimpi!” teriak Alsya.“Terus kalau sama dia mau?”Seorang pria dengan setelan serba hitam, serta topi juga masker berwarna senada, perlahan mengikuti mobil yang Cakra dan Alsya bawa, tanpa sepengetahuan mereka.Seringaian licik terbit di balik masker yang masih menutupi separuh wajahnya. Seolah mendapat kesempatan emas melihat kebersamaan sepasang kekasih itu.“Kita mau dinner di mana?” tanya Alsya dengan wajah berseri, secerah cahaya rembulan malam ini.“Ke restaurant Mediterranea. Mama sama papa minta di sana,” jawab Cakra.Rekahan senyum itu tak memudar, hingga sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang, dan mendahului mereka.WUSSH!!Alsya berjingkat, ketika mobil di belakang mereka tiba-tiba melesat secepat kilat di sisi kanan jalan.Cakra menghela napas lega, walau tak kalah terkejutnya dengan Alsya. “Hampir aja kena,” katanya.“Iya. Tuh orang mau balapan apa gimana sih. Jalan umum dipake buat kebut-kebutan,” gerutu Alsya berdecak sebal.Setelahnya, tak lagi dua sejoli itu menjumpai mobil yang melaju kencang seperti orang ba
CIIIIT!!!Suara decitan yang timbul dari pergesekan antara ban mobil dengan kanvas rem membuat tubuh Alsya terhuyung ke depan.Aksi rem mendadak Aiden cukup membuat gadis itu hampir jantungan. Beruntung di belakang mereka tidak banyak kendaraan, dan laju kemudi pun tidak terlalu kencang.“Kakak gila ya?!” Wajah Alsya merah padam. Kepalanya nyaris membentur dashboard jika saja saat dalam perjalanan tidak memakai seat belt.Aiden yang masih syok dalam keterkejutan mendengar ucapan Alsya, masih membeku. Tiba-tiba kepalanya tertoleh dengan kelopak mata terbuka lebar.“Mau apa ketemu mereka?” Jemari tangan Alsya terkepal sampai buku-buku tangannya memutih.Bukan meminta maaf, pria di hadapannya justru menanyakan hal tidak penting.“Ya silaturahmi lah! Memangnya mau apa lagi kalo ketemu sama orang?” tandas Alsya.Aiden berusaha untuk menenangkan diri dan rileks. Ya, apalagi yang dilakukan Alsya selain silaturahmi? Begitulah pikiran Aiden membenarkan.Menyadari jika reaksinya terlalu berleb
Angin segar menyeruak memenuhi rongga dada Cakra. Bak kata pepatah, menyelam sambil minum air, dan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tanpa pikir panjang Cakra langsung menyetujui syarat sang mama.“Oke. Nanti aku kabarin Alsya, untuk atur jadwal kapan bisa ketemunya sama Mama. Tapi kayaknya kapan aja sih bisa,” jawab Cakra dengan hati berbunga-bunga.[“Lusa mama sama papa berangkat sekalian bawa uangnya.”] Bersamaan dengan itu, berakhir pula perbincangan Cakra bersama mamanya.*** Sesuai syarat mama, Cakra pun menemui Alsya hari ini untuk membincangkan hal tersebut.“Tante Safira mau ketemu sama aku?” tanya Alsya menunjuk diri.Masih tidak percaya jika wanita yang selalu sibuk mengikuti kemanapun sang suami pergi, meminta syarat aneh seperti yang Cakra lontarkan.Pria di sisi Alsya mengangguk cepat. Binar di matanya memperlihatkan dengan jelas jika Alsya tidak akan menolak. Karena menurutnya tidak ada alasan untuk tidak memenuhi persyaratan menguntungkan itu.Cakra menyatukan
Mengelilingi kota Jogja, dengan keindahan kota yang begitu memikat mata, Aiden hampir lupa jika sang istri sendirian di apartment terlalu lama.“Yud, gue balik dulu ya. Thanks untuk hari ini. Nanti gue pikirin lagi lokasi strategis awal untuk pembangunannya di mana,” lontar Aiden setelah mengantar temannya kembali ke rumah.Di tengah perjalanan, Aiden berniat untuk menghubungi sang istri. Bertanya apa ada sesuatu yang ingin dititip atau tidak.Sayang, saat menyalakan ponsel, ponselnya lebih dulu kehabisan baterai.“Nanti ajalah, sekalian jalan malam-malam,” ujar Aiden kembali menyimpan ponsel ke dalam saku jasnya.Usai memarkirkan mobil di area basement apartement, langkah besar Aiden mempercepat dirinya sampai di lift. Ia menekan angka 12, lantai di mana unit apartement yang dia tempati berada.Meski lelah, Aiden tetap memasang raut muka berseri, karena ada banyak hal yang akan ia ceritakan pada Alsya nanti.“Assalamualaikum Alsya,” ujar Aiden sambil menutup pintu.Alih-alih mencari
“Sya, aku akan bertemu dengan temanku hari ini. Jadi, kamu diam di sini dan jangan ke mana-mana. Kalau mau pergi kabarin dulu,” pamit Aiden setelah mereka sarapan bersama.“Beneran ketemu temen? Bukan untuk terlibat sama David lagi kan, Kak?” selidik Alsya.Sejak Alsya jujur tentang David pada Aiden dan Cakra. Perasaan Alsya selalu menjadi tidak tenang, dan sulit percaya pada keduanya.“Iya. Buat apa aku mau ketemu temen kerja aja mau bohong. Memangnya kamu,” sindir Aiden sambil memakai jas dan arlojinya.“Ya kan bisa aja cuma mau buat Alsya tenang jadi Kakak bohong sama aku,” protes Alsya tidak terima dengan sindiran sang suami.Sampai sekarang pun ia tidak mengatakan jika dirinya ketahuan telah memberitahu Aiden dan Cakra, maka hubungannya bersama Aiden akan terungkap.Sebelum pergi, Aiden kembali mendekati istrinya dan berdiri tepat di depan Alsya yang beranjak dari sofa.“Nggak akan ada apa-apa. Aku pastiin dia nggak akan bisa nyakitin kamu di sini,” ujar Aiden merasa jika Alsya m
Netra cokelat Alsya membeliak. Jemari tangannya terpekal, meremas baju tidur yang ia kenakan. Diteguknya salivanya dengan kasar, ketika Aiden semakin mendekat ke arahnya.“Jawab, Sya. Kenapa kamu diem aja,” desak Aiden mengguncang pelan pundak Alsya.Refleks gadis itu langsung menghempaskan tangan Aiden dengan kasar, lalu bergerak mundur beberapa langkah.“Memang jatuh di mall. Terus ketendang pas ada orang lewat. Jadinya rusak,” elak Alsya.Aiden lantas tertawa renyah mendengar jawaban istrinya. “Terus kamu nggak marah sama orang itu atau minta ganti rugi?” Alsya menggeleng pelan. “Aku nggak tau pasti orang yang nendang yang mana. Orang tadi mallnya rame,” kilah Alsya lagi.Ia terus meminta maaf dalam hati karena terpaksa berbohong. Terutama berbohong pada imamnya sendiri.‘Aih! Kenapa aku rasanya nyesel banget ya udah bohong. Bohongin perasaan sendiri aja aku bisa, masa ini susah banget,’ gerutu Alsya dalam hati.Di hadapannya, Aiden terus menelisik gerak-gerik Alsya. Masih tidak s