Share

2. Janji Konyol

Zyanendra pernah berjanji pada ayahnya untuk mencari seorang gadis yang merupakan anak dari sahabat ayahnya. Sebelum ayahnya meninggal, dia memberikan foto gadis itu dan berwasiat agar menikahi gadis itu. Ayahnya memberikan sebuah alamat kontrakan di Jakarta. Kontrakan itu adalah milik ayah sang gadis yang menolong ayah Zyan saat bangkrut karena imbas Asian Financial Crisis 1998 lalu.

"Berjanjilah, Zyan. Berjanjilah kalau kamu tak akan menikah sebelum menemukan gadis itu."

"Ta..pi, Pah... Zyan..."

"Hanya itu cara papah berterima kasih kepada keluarganya. Kecuali jika dia menolakmu, jangan pernah menikahi gadis lain."

"Pah...bangun, Pah. Pah, jangan tinggalin Zyan! Papaaaah!"

Zyan menangis sekencang-kencangnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup dia kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupnya. Perasaan Zyan campur aduk, foto gadis kecil di genggaman tangannya seolah mengisyaratkan bahwa hidupnya setelah ini tak akan lagi sama.

Sudah pukul delapan pagi, namun rintik gerimis yang sudah singgah sejak Subuh tadi masih saja belum mau pergi, masih mau menemani Zyan yang termangu menatap foto buram di genggamannya. Sejak kematian ayahnya sepuluh tahun lalu, Zyan tidak pernah sekali pun melihat foto itu lagi. Dianggapnya perkataan mendiang ayah hanya omong kosong yang rasanya tak perlu dijalankan. Namun, hari ini, ia merasa janji tetaplah janji. Tentu baktinya tak sempurna jika ia mengingkari janji yang sudah dia ucapkan sendiri,

Mata Zyan lalu berpindah pada bingkai foto berisi wajahnya yang terbalut tawa bersama Lentera, perempuan asal Surabaya yang sudah lima tahun menjadi pacarnya. Belum lama ini, Lentera terus-terusan memberi kode untuk meresmikan hubungan mereka. Keduanya orang tua Lentera tidak ingin mereka terlalu lama pacaran. Toh, mereka sudah sama-sama mapan secara finansial. Lentera bekerja di PT Arion Graha Internasional, sebuah perusahaan arsitektur terbaik di Indonesia. Sementara itu, Zyanendra memimpin perusahaan properti khas Italia peninggalan sang ayah.

Mereka berdua telah melalui masa-masa sulit bersama, rasanya tak mudah jika membiarkan hubungan mereka berakhir begitu saja. Zyan sangat mencintai Lentera, tetapi untuk berkomitmen rasanya dia belum siap. Janji dengan mendiang ayahnya juga selalu mengungkung dan membatasi langkahnya.

Selama ini, belum pernah sekali pun Zyan mencari keberadaan gadis yang bahkan tak dia ketahui namanya itu. Zyan tak pernah berencana menikah muda, dia justru ingin tak memikirkan pernikahan. Harapannya, jika kelak dia menemukan gadis itu, gadis itu sudah menikah sehingga otomatis menolaknya. Dengan begitu, Zyan terlepas dengan janjinya dan bebas menentukan pilihan hidupnya. Hubungan yang sudah sedemikian kuat terjalin mendadak saja melemah karena ketidaksiapannya berkomitmen.

“Aku sudah di Telaga Pohon. Aku harap kamu bisa ambil keputusan sekarang.” Zyan membaca pesan dari Lentera.

Telaga Pohon, sebuah pohon di tepi danau, dekat kantin kampus, itu tempat mereka pertama bertemu. Dulu, saat mereka masih sama-sama jadi mahasiswa baru. Apakah di tempat itu pula mereka akan bertemu untuk terakhir kalinya?

Zyan segera menyambar jaket dan kunci mobilnya. Mercedes Benz S-Class lekas membawanya menemui Lentera.

Melihat Lentera berdiri melipat lengannya, Zyan berkali-kali mengatur napas sebelum beranjak. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menemui Lentera dengan perasaan sekacau ini. Tidak mudah menjelaskan semuanya, Zyan hanya bisa berharap Lentera dapat memahami posisinya.

"Aku sudah janji sama almarhum papah, Ra. Maafin aku." Hati Zyan bak disayat sembilu melihat Lentera hanya meneteskan air mata setelah ia menceritakan janji yang terlanjur terucap itu.

"Jadi hanya karena orang yang bahkan kamu gak kenal, kamu mau kita selesai gitu aja?" kata Lentera perlahan, menahan getir. “Kamu mau putusin aku, Zy?”

"Gak gitu. Makanya aku mau kamu nunggu. Tunggu aku sampai aku ketemu sama gadis itu. Aku akan cari dia dulu."

"Terus kalau udah ketemu dan ternyata dia suka sama kamu, kamu mau ninggalin aku? Gitu?" Lentera mulai meninggikan suaranya.

"Ra, semua bisa dibicarain baik-baik. Ayolah, kasih aku waktu."

"Aku gak bisa terima alasan kamu Zy, ini konyol!"

"Aku cuman minta kamu ngertiin posisi aku, Ra."

Lentera menghapus sudut air yang terus menggenang di pelupuk matanya. Dirinya sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin dia harus diadu dengan perempuan yang tak diketahui keberadaannya itu. Rasanya, semua hal yang telah dibangunnya selama ini sia-sia. Satu hal yang paling menyakitkan bagi Lentera, setelah lima tahun pacaran, baru hari ini Zyan menceritakan perihal janji konyol itu. Lentera benar-benar tak habis pikir.

Lentera ingin Zyan segera mengambil keputusan, dia tak mau hubungannya digantung dan statusnya tak jelas. Bodo amat dengan perjanjian yang menurutnya konyol itu.

"Aku minta kamu pilih, komit sama aku dan lupain soal janji konyol itu…” Lentera menghela napas panjang. “… atau kita selesai."

"Ra..."

"Aku gak mau nunggu lagi, Zy. Kamu tahu aku paling gak suka berada di tengah ketidakpastian. Kamu harus bisa ambil keputusan. Sekarang."

Zyan menunduk. Ia mengusap-usap wajahnya dengan kedua tangan sambil terus mengatur napasnya.

“Maafin aku, Ra.”

Tera menggigit bibirnya, mulutnya kelu. “Jadi kamu gak mau perjuangin aku?” tak henti terisak.

“Ra, please, tolong kamu ngertiin aku. Aku cuman pengen kamu nunggu. Itu aja. Ini cuman masalah waktu.”

Lentera kembali terisak.

“Bagi aku sama aja sekarang atau nanti, Zy. Justru lebih baik sakit hati sekarang daripada nanti saat rasa ini semakin dalam dan kamu masih gak bisa berbuat apa-apa buat mempertahankan hubungan kita.”

Zyan menengadah lalu membuang napasnya kuat-kuat sembari melepaskan tinju ke udara.

“Ra, kita masih bisa sama-sama. Kita bisa jalanin dulu, sambil kita S2, sambil sama-sama wujudin mimpi kita…”

“Dan ngejalanin hubungan dengan terikat janji yang gak jelas mau kamu tepatin atau ingkarin? Aku gak bisa kayak gitu. Aku butuh kepastian. Aku mau serius sama kamu, Zyanendra. Aku gak mau ngejalanin hubungan yang gak jelas ujungnya.”

“Kasih aku waktu satu tahun, Ra. Aku akan cari gadis itu.”

“Sekarang, kamu pilih kamu lupain janji konyol kamu itu lalu kita lanjutin hubungan ini sama-sama. Atau kamu cari gadis itu dan kita selesai sampai di sini.”

“Ra, gak bisa kayak gitu, dong.”

“Pilih.”

“Ra, please…”

“Aku mau kamu kasih keputusan sekarang, Zyanendra Pranadipa.”

Zyan kembali menghela napas panjang lalu memnghembuskannya kencang. Jika Tera sudah memanggilnya dengan nama panjangnya, itu artinya dia sudah sangat marah. Tera selalu memanggilnya Zy, tidak seperti teman-teman lain yang memanggilnya Zyan atau Yan. Mendengar nama lengkapnya disebut oleh Lentera, hati Zyan terlampau pilu. Dia sudah menyakiti orang yang paling dia cintai.

“Oke…” Zyan menghela napas sekali lagi. “Kita…, kita selesai!” ucapnya tegas, tetapi parau.

Mendengarnya, Lentera sempurna pecah tangisnya. Rasanya seperti ada seribu duri yang menancap hatinya sekaligus.

Melihat gadis yang disayanginya menangis di depannya, Zyan buru-buru mengajaknya duduk.

“Dengerin aku, Ra. Kita break sementara, ya. Kita sama-sama mantapin diri kita. Kita intospeksi diri, okey? Percaya sama aku, Ra. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengisi hati aku. Aku akan sulit mencari orang seperti kamu. Cuman kamu yang aku mau buat nemenin aku seumur hidupku.”

“Cukup!”

“Ra, mungkin aku gak akan menikah kalau gak sama kamu.”

“Cukup, Zyanendra, aku bilang cukup!”

“Satu tahun dari sekarang, Ra. Satu tahun lagi, kalau kita berubah pikiran. Kalau kamu masih sayang aku. Kita ketemu lagi di sini, ya. Aku janji, kalau dalam waktu setahun aku gak nemuin gadis itu, aku akan lupain janji itu. Kita ulang lagi semua dari awal. Hari itu adalah Hari Penentuan kisah cinta kita. Oke?”

Sekali lagi, Lentera benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Zyan bisa seplin-plan ini? Namun, entah mengapa, kepalanya mengangguk perlahan. Kakinya kemudian menjadi kuat beranjak. Lalu melangkah pergi. Dalam setiap tapak kakinya, diam-diam dia berharap jika hubungannya dengan Zyan tak akan pernah berakhir. Dia pun rela menunggu satu tahun lagi.

Sayangnya, belum ada setahun, baru satu bulan setelah pertemuan itu, Lentera melihat Zyan memosting foto bahagianya bersama Kanya. Itu meluluhlantakkan hatinya dalam sekejap. Dari Dannesh, Tera pun tahu bahwa Zyan dan Kanya memang sudah jadian.

Sejak itu, hari-hari Lentera tak lagi sama seperti sebelumnya. Hidupnya dipenuhi getir nestapa. Maka, lari sejauh-jauhnya adalah satu-satunya cara untuknya bisa bertahan hidup. Beruntung, Tuhan mempertemukannya dengan Arion, seorang yang dianggap Lentera sebagai malaikat yang menjaga dan melindunginya sepenuh hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status