Pov SandiSudah dengan sengaja berbelit-belit dari tuduhan yang Caca lontarkan, tapi ujungnya malah dibuka semua oleh mantan suaminya Amara. Ditambah lagi dengan ucapan mama yang seakan-akan marah bahwa Amara telah membohongi kami. Setelah mereka semua bubar dan menganggap semua selesai, aku yang masih berada di ruangan bersama Amara dan mama, dikejutkan dengan tagihan rumah sakit. Mama yang mendengar bahwa isi ATMku sudah dikuras oleh Caca pun marah. "Sandi! Kamu bodoh sekali jadi orang! Kenapa dipindahkan ke rekening Caca semua?" sentak mama. Aku hanya mampu menelan salivaku. Tak ada yang bisa kutepis dari ucapannya, memang aku bodoh, mudah sekali terpengaruh. "Lalu anak kita bagaimana? Nggak akan bisa dibawa pulang," cetus Amara sembari memegang keningnya. Ia tampak resah sekali, tagihan yang tertera tidak main-main, aku harus cari ke mana uangnya? "Iya, nanti aku carikan," jawabku. Kemudian aku duduk di dekat mama. Lalu aku meneguk air putih yang berada di atas meja. Sambil m
Pov Sandi[Mah, sepertinya aku terhipnotis, sekarang sisa uang di tanganku hanya sisa 10 juta, tolong berikan aku cara lain untuk mendapatkan uang 5 juta lagi.]Aku kirim pesan yang sudah kuketik, tidak butuh waktu lama, mama membalas pesan yang mengejutkan. [Sudah, datang ke sini, orang tuanya Amara ada di sini, ia bersedia membayarnya, tapi dengan syarat kamu ceraikan Amara.]Astaga, cerai? Lalu apa yang kumiliki setelah itu jika keduanya minta cerai? Aku pun bergegas meninggalkan lokasi tempat jual emas. Kemudian melajukan mobil dengan cepat dan emosi. Bukankah mereka kemarin yang menuntutku untuk menikahi anaknya yang tengah hamil? Kenapa sekarang tiba-tiba ia menyuruhku untuk berpisah. Aku emosi dengan pernyataan mama melalui pesan singkat, tak kusangka semua berakhir begitu saja. Tidak ada kebahagiaan di akhirnya. Aku memukul gagang setir hingga berkali-kali, menyesali apa yang telah terjadi. Kenapa? Kenapa begitu cepat ini terjadi? Setibanya di rumah sakit, aku pun bergega
Pov SandiKaca mobilnya dibuka, kemudian terlihat sosok laki-laki yang barusan memberikan klakson untukku. Ternyata Alfa yang datang, kebetulan sekali, akhirnya dia menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku sudah geram dengannya, yang selalu ikut campur dengan masalah rumah tangga orang lain. Aku menghampiri mobil honda jazz miliknya. Lelaki inilah yang telah membuat Caca jadi curiga dan akhirnya semuanya terbongkar. Ia pun turun setelah membuka kacamata yang dikenakannya. Aku menghela napas sambil melipatkan kedua tangan ini ke pinggang. Kini kami berdiri sejajar, tingginya tak melebihiku dan tak juga lebih pendek dariku, kami sejajar tapi ia agak sedikit gemuk. "Punya nyali elu ke sini?" sentakku. "Hei, gue cuma bantu bini elu, biar tahu laki-laki yang bersamanya itu tidak hanya tidur dengan dia, lagian Caca cewek baik-baik, terhormat, gue rasa nggak pantes diperlakukan seperti itu. Apalagi elu nikah dengan sahabatnya sendiri," cetus Alfa membuatku geram. Kemudian, aku coba layangk
Pov CacaAku mendapatkan kabar dari tetangga rumah, bahwa ada keributan di depan rumah. Ya, hanya tetangga yang tahu nomor kontakku yang baru, sengaja kusembunyikan dari Mas Sandi, agar ia tahu rasanya kehilangan. "Mbak, ini ada keributan di depan, suami Mbak ngamuk, saya nggak berani mau keluar rumah," ucap tetanggaku dengan suara tersengal-sengal. "Sebentar, Mbak, aku ke depan dulu," jawabku. Aku yang sedang berada di rumah mamaku, dan sedang mengajak Vira dan Yuri bermain, sontak berdiri, kemudian menjauh dari mereka. Untuk bicara serius dengan Mbak Yuni, aku pilih untuk duduk di teras depan. "Maaf, Mbak tadi ada anak-anak, gimana-gimana?" tanyaku lagi. "Itu ada mobil honda jazz di depan rumah, sepertinya ada perkelahian, cepat ke sini, ya, Mbak!" surutnya. "Aku dan Mama segera ke sana, terima kasih, ya, " ujarku. "Baik, Mbak," sahutnya. Aku panggil mama untuk segera ikut denganku, dan meninggalkan Vira dan Yuri pada Mbok Daru. Tidak lama kemudian, melalui telepon, ada ka
Pov AmaraSelepas melahirkan, aku dijemput oleh orang tuaku. Mereka tidak Terima atas apa yang diperbuat oleh keluarga Mas Sandi. Ini murni khilaf, aku tergiur manisnya mulut lelaki tampan milik temanku sendiri. Kini, imbasnya ada pada anakku, yang hingga sampai detik ini tidak memiliki ayah. Tidak hanya itu, semua keluarga pun kini menghindar, mereka mencemooh keluargaku yang turun temurun sebagai pelakor. "Kenapa kamu lakukan ini, Amara? Aib ini membuka aib yang lama." Mama menceramahiku ketika sudah di rumah. "Mah, ini kan bukan aib, Papa dan Mama menghadiri pernikahan siriku, iya kan?" pungkasku. "Mama dan Papa tidak tahu jika Sandi memiliki istri, kamu nggak pernah bilang itu," jawabnya membuatku bergeming. Ya, memang sengaja ini aku rahasiakan, itu semua sengaja, jika mereka tahu, pasti tidak akan merestuinya. "Mama nggak perlu khawatir, aku dan anakku pergi saja," ucapku. "Mama sudah dikeluarkan dari grup keluarga besar, mereka pikir, keluarga kita itu racun untuk memberi
Pov AmaraAku bersama bayi mungilku pergi, entahlah aku tak tahu harus pergi ke mana, yang jelas tidak tinggal bersama kedua orang tuaku, karena hanya menjadi beban mereka saja. Kutinggalkan rumah orang tua, aku tidak ingin membuat mereka malu dan repot atas masalahku ini. Kususuri jalan berliku, teringat bahwa Mas Sandi berada di Polsek, aku pun berinisiatif ke sana. Namun, sebelum memasuki kantor polisi, aku mendapati keramaian di depannya. Sepertinya ada kecelakaan beruntun. Kemudian, aku turun dari taksi online, lalu bergegas ke kantor polisinya. Bukan tak peduli dengan kecelakaan, tapi tak mengenal siapa yang menjadi korban. Tangisan Rama kencang ketika aku melangkah ke arah pintu masuk kantor polisi. Kupaksakan terus melangkah, akan tetapi Rama, putraku terus menjerit. Aku cemas, khawatir di dalam malah membuat gaduh dan kebisingan. Jadi kuputuskan untuk tidak melanjutkan ke dalam. Aku duduk di kursi warung dekat pos polisi, sambil melihat orang berlalu lalang melihat kejad
Pov Amara"Bu Caca katanya," celetuk suster yang baru saja keluar. Resiko menjadi selingkuhan ya seperti ini. Tak punya hak untuk marah karena tidak disebutkan olehnya. Sementara Caca dipanggil, ia berjalan melewati aku yang berdiri menggendong bayi. Hubungan kami tidak seperti dulu lagi, sudah kubilang ini juga bagian resiko dari perselingkuhan. Hubungan persahabatan pun telah kikis seiringnya waktu. Kini, aku pun hanya berdua anakku saja menjalani ini semua. "Ca!" teriakku ketika Caca hampir masuk ke dalam. Langkahnya terhenti, kemudian menungguku untuk menghampirinya. "Ca, titip ini pada Mas Sandi," ujarku sambil menyelipkan cincin pernikahan pada Caca. Tangannya pun aku kepalkan kembali. Caca terpaku melihatku pergi setelah memberikan cincin itu. "Tunggu!" Caca memanggilku kembali. Kemudian suara sepatu terdengar menghampiriku yang baru saja melangkah 3 langkah. Aku menoleh padahal sangat cemas, khawatir Caca tambah membenciku. Kudengar langkahnya semakin cepat, aku pun balik
Pov AmaraBaru saja ingin melihat sosok pria yang nyeletuk kata-kata tak enak didengar itu, Caca tiba-tiba saja menghubungiku. Aku pun turun dari mobil tanpa melihat lelaki yang tadi menghinaku. "Tuh duitnya," cetusku sambil melemparkan uang seratus ribuan. Kemudian aku turun dari mobilnya sambil mengangkat telepon dari Caca. "Halo, Ca, ada apa?" tanyaku sambil merapikan rok panjang ketika turun dari mobil. "Amara, kenapa lo tadi pergi? Mas Sandi ingin bicara," ucap Caca. "Nggak apa-apa, Ca. Gue udah mutusin untuk ninggalin semuanya, termasuk Mas Sandi, maafin gue ya Ca," lirihku pelan. Kemudian, aku melihat mobil yang tadi aku tumpangi masih berada di hadapanku. "Ca, tunggu sebentar, ya!" Aku menunda pembicaraan sebentar, lalu menghampiri mobil itu lagi. Kemudian, kugedor-gedor pintu mobilnya sampai dibukakan jendela. Ia masih memakai masker, kacamata, dan topi. "Lo ngapain masih di sini?" tanyaku. "Ca, nanti gue telepon balik ya, biasa ada masalah sedikit di perjalanan." "Iy