Share

BAB 2

Robby memeluk Hanna, mencoba menenangkan wanita itu. “Maafin aku, Hanna. Sungguh, hanya kamu yang aku cinta dan sayang,” ucapnya dengan rayuan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Robby. Dengan mudahnya mengucapkan kata maaf.

“Tega kamu perlakukan aku seperti ini!” bentak Hanna. Sekuat tenaga mendorong tubuh kekar Robby dan tak mau menatap lelaki itu.

“Ini karena papa kamu sudah merendahkan aku!” kata Robby penuh emosi. Jangan pikir hanya Hanna yang bisa marah, dia juga bisa. 

“Apa katamu?” tanya Hanna. Adu mulut tak terelakkan. Dia menatap Robby tajam. Robby pun tak mau kalah, dia berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan menusuk ke arah Hanna. Wanita itu sebenarnya memahami maksud perkataan Robby.

“Mungkin papa aku benar, harusnya aku mendengar omongan Papa, tidak melanjutkan hubungan ini. Kamu menikahi wanita itu hanya karena harta. Berarti kamu melakukan semua ini kepadaku karena harta juga, hah? Ternyata selama ini kau picik sekali!” sergah Hanna. Matanya merah dan mulai berair.

“Harusnya iya dan kau sendiri yang menunda ingin segera menikah denganku, kan? Kalau begitu kita akhiri sampai di sini saja. Terima kasih untuk servis yang kamu berikan tadi,” ucap Robby sambil tersenyum miring. Dia melangkah pergi meninggalkan Hanna.

Hanna terpaku dengan ucapan Robby. Tubuhnya menegang, lelaki yang dicintai sekarang tega mencampakkannya seolah seperti sampah dan pergi begitu saja tanpa perasaan sedikit pun. Hanna menunda pernikahan karena menunggu persetujuan sang papa. Kristal bening berlomba-lomba jatuh membasahi pipi. Hati Hanna bagai dirobek sembilu. 

Hanna menepis kenangan buruk itu. Kini Hanna harus menelan kenyataan pahit atas kejadian yang dia lakukan. Namun, bisakah dia memutar balikkan waktu? Penyesalan membuat Hanna terpuruk. Begitu mudahnya dia menyerahkan kesuciannya kepada Robby. Selain itu juga dia begitu gampang membantah perkataan papanya. Robby sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Pernikahannya dengan wanita lain bukanlah kabar burung.

***

“Bodoh, Hanna. Kau bodoh!” teriak Hanna sambil memukul bibirnya berkali-kali. Dia sudah tidak mau lagi mengingat kenangan pahit itu.

Wanita yang memiliki kulit putih merona, terduduk di lantai, di sudut dinding, memeluk kedua lutut, dan menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya yang tertekuk.

Suara bel dan ketukan pintu terdengar. Dengan cepat dia bergegas menghampiri. Pintu rumah ternyata sudah terbuka, Hanna melihat seseorang tengah mengenakan jas hujan berwarna hitam yang menutupi semua tubuhnya, Hanna pun terkejut setelah sadar pria itu adalah orang asing yang tidak dikenal.

Sambaran gemuruh bersorak di atas langit gelap sehingga memancarkan terang sekejap. Hanya sepasang mata tajam terlihat dari pria misterius yang berdiri di hadapan Hanna. Karena ketakutan, tanpa sepatah kata, Hanna pun berlari menuju kamarnya, tetapi pria itu malah masuk dan ikut mengejar.

Belum sempat Hanna mengunci pintu kamar, pria itu langsung mendorong pintu dengan kuat hingga membuat Hanna jatuh bersimpuh di lantai berlapiskan marmer. Bergerak merangkak, Hanna segera meraih gagang telepon rumahnya yang berada di atas nakas, berniat menghubungi polisi, tetapi ponsel itu dengan cepat dirampas dan dibanting oleh pria misterius. Dengan gerakan cepat, dia langsung mengambil tangan Hanna tanpa bisa wanita itu hindari, kemudian membalikkan badannya lalu menahan wanita tersebut di atas ranjang.

“Kau siapa? Kumohon lepaskan aku,” pinta Hanna. Keringat karena panik dan air mata ketakutan sama-sama menetes, bercampur jadi satu membasahi pipinya. 

Cekalan di tangan makin erat. Sekuat tenaga Hanna meronta ingin melepaskan diri. Namun, tak sanggup, pria itu sangat kuat, apalagi kondisi tubuh Hanna masih sangat lemah. Lelaki itu sedikit pun tak bersuara. Satu tangannya yang bebas, meraba saku jas hujan dan mengambil benda berwarna putih. Kemudian, menginjeksi leher Hanna dengan suntikan bius. 

“Ahhhh,” ucap Hanna pelan saat benda tajam menancap lehernya dan dicabut paksa. Dalam sekejap Hanna tak sadarkan diri.

Kemudian, pria itu membopong Hanna keluar, menuju ke sebuah mobil, dan memasukkannya ke dalam bagasi. Dia melepas maskernya setelah di dalam mobil lalu mengambil sebatang rokok dari kotak dan menyalakan memakai korek api. Tampak tato ular kecil di tangan pria misterius itu. Dia mengisap rokoknya, membiarkan embusan asap mengepul. Dia menyalakan mobilnya dan melaju dengan cepat membawa Hanna pergi.

****

Pada malam yang sunyi, terdapat seorang pemuda sedang merangkul lelaki berusia empat puluh sembilan tahun. Tampak lelaki yang dirangkul hampir tidak sadarkan diri akibat dari minuman keras.

“Pulang, pulang, marilah pulang!” ucap lelaki tua sambil jalan sempoyongan, mata sayu, melontarkan ucapan tak keruan.

Lelaki tua itu bergantung seluruh hidupnya dengan minuman keras karena lelah hati dan kesepian. Pemuda di sebelah yang kini memapahnya, akhirnya bisa menemukan lelaki tua itu setelah sebelumnya penat mencari karena larut begini belum pulang ke rumah. Ia hanya membisu, membawa lelaki tua dengan hati yang sabar mendengar racauan sang ayah. 

“Iya, Ayah, mari pulang,” ucapnya.

Mendengar ada suara, lelaki tua setengah sadar itu langsung mengernyitkan alis. Memandangi pemuda yang menyebut dirinya sebagai ayah. Seperti ekspresi jijik terlukis di raut wajah lelaki berumur hampir genap kepala lima.

“Ayah?” tanyanya dengan sinis.

“Kau bukan anakku! Aku tidak pernah memiliki anak sepertimu,” cibir lelaki itu sambil menyingkirkan lengan kurus di pundaknya. Melepaskan tangan pemuda tersebut.

Langkah keduanya pun berhenti lalu saling berhadapan. “Lihat dirimu! Tidak berguna! Hanya menambah bebanku saja. Di mana otakmu? Kenapa diam saja saat mereka mengata-ngatai kita, menghina kita, mencaci kita, hah? Cih!” bentaknya sambil mendecih. 

“Mikir!” Lelaki tua itu tersenyum miring lalu terkekeh pelan sambil menunjuk kepalanya sendiri berkali-kali. 

“Tidak perlu membalas omongan mereka, Yah. Tidak akan ada habisnya.” Pemuda itu angkat bicara setelah cukup lama terdiam mendengar tumpahan celoteh sang ayah. Percuma saja membalas omongan dari mulut-mulut jahanam itu. Hanya membuang waktu dan tenaga. Membalas juga tidak akan pernah menyelesaikan, lebih baik diam adalah jalan terbaik meski harus makan hati. 

“Bodoh! Aku hanya orang yang mengandalkan penghasilan dari kerja serabutan. Tidak bisa memberikanmu makan yang enak dan cukup tiap harinya,” ucap lelaki itu sambil menunjuk siluet anaknya.

Perasaan bercampur aduk di dalam dirinya. Sang ayah bernama Yanto, seorang duda anak dua yang ditinggal mati istrinya karena sakit keras. Yudistira Bagus Sujiwo adalah nama anak laki-lakinya. Putra sulung yang sedang ia berikan umpatan sangat menyakitkan, seperti belati ditancapkan.

Namun, tidak dengan Bagus, nama panggilan pemuda itu. Dirinya kebal akan cemooh sang ayah. Bagus memahami perasaan ayahnya berkata seperti itu semenjak ibunya yang telah meninggalkan mereka terlebih dahulu. Bagus tidak memiliki fisik yang kuat seperti laki-laki lainnya. Tubuhnya kurus dengan kulit putih yang melapisi tulang saja.

“Maaf, Ayah, aku akan coba lebih keras mencari pekerjaan mulai besok,” ucapnya lirih. Dengan nada menyesal dan tidak mau menyusahkan ayahnya.

“Jika aku sudah mendapatkan pekerjaan, apakah Ayah akan berhenti menghukum diri dengan cara seperti ini?” tanyanya.

Belum sempat menjawab, tubuh Yanto ambruk tak berdaya. Bagus dengan cepat meraih tubuh sang ayah. Mengerahkan tenaga untuk memapahnya kembali. Sesampainya di rumah, Bagus membawa sang ayah ke dalam kamar dan membaringkannya di lantai yang beralaskan kasur usang saja. Memandangi Yanto yang terbaring karena mabuk, Bagus sadar dunia di luar sana terlalu kejam untuk dirinya dan keluarga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status