Robby memeluk Hanna, mencoba menenangkan wanita itu. “Maafin aku, Hanna. Sungguh, hanya kamu yang aku cinta dan sayang,” ucapnya dengan rayuan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Robby. Dengan mudahnya mengucapkan kata maaf.
“Tega kamu perlakukan aku seperti ini!” bentak Hanna. Sekuat tenaga mendorong tubuh kekar Robby dan tak mau menatap lelaki itu.“Ini karena papa kamu sudah merendahkan aku!” kata Robby penuh emosi. Jangan pikir hanya Hanna yang bisa marah, dia juga bisa. “Apa katamu?” tanya Hanna. Adu mulut tak terelakkan. Dia menatap Robby tajam. Robby pun tak mau kalah, dia berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan menusuk ke arah Hanna. Wanita itu sebenarnya memahami maksud perkataan Robby.“Mungkin papa aku benar, harusnya aku mendengar omongan Papa, tidak melanjutkan hubungan ini. Kamu menikahi wanita itu hanya karena harta. Berarti kamu melakukan semua ini kepadaku karena harta juga, hah? Ternyata selama ini kau picik sekali!” sergah Hanna. Matanya merah dan mulai berair.“Harusnya iya dan kau sendiri yang menunda ingin segera menikah denganku, kan? Kalau begitu kita akhiri sampai di sini saja. Terima kasih untuk servis yang kamu berikan tadi,” ucap Robby sambil tersenyum miring. Dia melangkah pergi meninggalkan Hanna.Hanna terpaku dengan ucapan Robby. Tubuhnya menegang, lelaki yang dicintai sekarang tega mencampakkannya seolah seperti sampah dan pergi begitu saja tanpa perasaan sedikit pun. Hanna menunda pernikahan karena menunggu persetujuan sang papa. Kristal bening berlomba-lomba jatuh membasahi pipi. Hati Hanna bagai dirobek sembilu. Hanna menepis kenangan buruk itu. Kini Hanna harus menelan kenyataan pahit atas kejadian yang dia lakukan. Namun, bisakah dia memutar balikkan waktu? Penyesalan membuat Hanna terpuruk. Begitu mudahnya dia menyerahkan kesuciannya kepada Robby. Selain itu juga dia begitu gampang membantah perkataan papanya. Robby sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Pernikahannya dengan wanita lain bukanlah kabar burung.***“Bodoh, Hanna. Kau bodoh!” teriak Hanna sambil memukul bibirnya berkali-kali. Dia sudah tidak mau lagi mengingat kenangan pahit itu.Wanita yang memiliki kulit putih merona, terduduk di lantai, di sudut dinding, memeluk kedua lutut, dan menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya yang tertekuk.Suara bel dan ketukan pintu terdengar. Dengan cepat dia bergegas menghampiri. Pintu rumah ternyata sudah terbuka, Hanna melihat seseorang tengah mengenakan jas hujan berwarna hitam yang menutupi semua tubuhnya, Hanna pun terkejut setelah sadar pria itu adalah orang asing yang tidak dikenal.Sambaran gemuruh bersorak di atas langit gelap sehingga memancarkan terang sekejap. Hanya sepasang mata tajam terlihat dari pria misterius yang berdiri di hadapan Hanna. Karena ketakutan, tanpa sepatah kata, Hanna pun berlari menuju kamarnya, tetapi pria itu malah masuk dan ikut mengejar.Belum sempat Hanna mengunci pintu kamar, pria itu langsung mendorong pintu dengan kuat hingga membuat Hanna jatuh bersimpuh di lantai berlapiskan marmer. Bergerak merangkak, Hanna segera meraih gagang telepon rumahnya yang berada di atas nakas, berniat menghubungi polisi, tetapi ponsel itu dengan cepat dirampas dan dibanting oleh pria misterius. Dengan gerakan cepat, dia langsung mengambil tangan Hanna tanpa bisa wanita itu hindari, kemudian membalikkan badannya lalu menahan wanita tersebut di atas ranjang.“Kau siapa? Kumohon lepaskan aku,” pinta Hanna. Keringat karena panik dan air mata ketakutan sama-sama menetes, bercampur jadi satu membasahi pipinya. Cekalan di tangan makin erat. Sekuat tenaga Hanna meronta ingin melepaskan diri. Namun, tak sanggup, pria itu sangat kuat, apalagi kondisi tubuh Hanna masih sangat lemah. Lelaki itu sedikit pun tak bersuara. Satu tangannya yang bebas, meraba saku jas hujan dan mengambil benda berwarna putih. Kemudian, menginjeksi leher Hanna dengan suntikan bius. “Ahhhh,” ucap Hanna pelan saat benda tajam menancap lehernya dan dicabut paksa. Dalam sekejap Hanna tak sadarkan diri.Kemudian, pria itu membopong Hanna keluar, menuju ke sebuah mobil, dan memasukkannya ke dalam bagasi. Dia melepas maskernya setelah di dalam mobil lalu mengambil sebatang rokok dari kotak dan menyalakan memakai korek api. Tampak tato ular kecil di tangan pria misterius itu. Dia mengisap rokoknya, membiarkan embusan asap mengepul. Dia menyalakan mobilnya dan melaju dengan cepat membawa Hanna pergi.****Pada malam yang sunyi, terdapat seorang pemuda sedang merangkul lelaki berusia empat puluh sembilan tahun. Tampak lelaki yang dirangkul hampir tidak sadarkan diri akibat dari minuman keras.“Pulang, pulang, marilah pulang!” ucap lelaki tua sambil jalan sempoyongan, mata sayu, melontarkan ucapan tak keruan.Lelaki tua itu bergantung seluruh hidupnya dengan minuman keras karena lelah hati dan kesepian. Pemuda di sebelah yang kini memapahnya, akhirnya bisa menemukan lelaki tua itu setelah sebelumnya penat mencari karena larut begini belum pulang ke rumah. Ia hanya membisu, membawa lelaki tua dengan hati yang sabar mendengar racauan sang ayah. “Iya, Ayah, mari pulang,” ucapnya.Mendengar ada suara, lelaki tua setengah sadar itu langsung mengernyitkan alis. Memandangi pemuda yang menyebut dirinya sebagai ayah. Seperti ekspresi jijik terlukis di raut wajah lelaki berumur hampir genap kepala lima.“Ayah?” tanyanya dengan sinis.“Kau bukan anakku! Aku tidak pernah memiliki anak sepertimu,” cibir lelaki itu sambil menyingkirkan lengan kurus di pundaknya. Melepaskan tangan pemuda tersebut.Langkah keduanya pun berhenti lalu saling berhadapan. “Lihat dirimu! Tidak berguna! Hanya menambah bebanku saja. Di mana otakmu? Kenapa diam saja saat mereka mengata-ngatai kita, menghina kita, mencaci kita, hah? Cih!” bentaknya sambil mendecih. “Mikir!” Lelaki tua itu tersenyum miring lalu terkekeh pelan sambil menunjuk kepalanya sendiri berkali-kali. “Tidak perlu membalas omongan mereka, Yah. Tidak akan ada habisnya.” Pemuda itu angkat bicara setelah cukup lama terdiam mendengar tumpahan celoteh sang ayah. Percuma saja membalas omongan dari mulut-mulut jahanam itu. Hanya membuang waktu dan tenaga. Membalas juga tidak akan pernah menyelesaikan, lebih baik diam adalah jalan terbaik meski harus makan hati. “Bodoh! Aku hanya orang yang mengandalkan penghasilan dari kerja serabutan. Tidak bisa memberikanmu makan yang enak dan cukup tiap harinya,” ucap lelaki itu sambil menunjuk siluet anaknya.Perasaan bercampur aduk di dalam dirinya. Sang ayah bernama Yanto, seorang duda anak dua yang ditinggal mati istrinya karena sakit keras. Yudistira Bagus Sujiwo adalah nama anak laki-lakinya. Putra sulung yang sedang ia berikan umpatan sangat menyakitkan, seperti belati ditancapkan.Namun, tidak dengan Bagus, nama panggilan pemuda itu. Dirinya kebal akan cemooh sang ayah. Bagus memahami perasaan ayahnya berkata seperti itu semenjak ibunya yang telah meninggalkan mereka terlebih dahulu. Bagus tidak memiliki fisik yang kuat seperti laki-laki lainnya. Tubuhnya kurus dengan kulit putih yang melapisi tulang saja.“Maaf, Ayah, aku akan coba lebih keras mencari pekerjaan mulai besok,” ucapnya lirih. Dengan nada menyesal dan tidak mau menyusahkan ayahnya.“Jika aku sudah mendapatkan pekerjaan, apakah Ayah akan berhenti menghukum diri dengan cara seperti ini?” tanyanya.Belum sempat menjawab, tubuh Yanto ambruk tak berdaya. Bagus dengan cepat meraih tubuh sang ayah. Mengerahkan tenaga untuk memapahnya kembali. Sesampainya di rumah, Bagus membawa sang ayah ke dalam kamar dan membaringkannya di lantai yang beralaskan kasur usang saja. Memandangi Yanto yang terbaring karena mabuk, Bagus sadar dunia di luar sana terlalu kejam untuk dirinya dan keluarga.Orang di luar sana hanya berpikiran dirinya mampu menang akan kebenaran yang belum tentu benar bagi yang tertindas. Bagus sangat tidak suka dengan orang kaya, bisa membeli kekuasaan dan kebenaran. Tidak untuk orang miskin sepertinya yang harus benar-benar bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup.Itulah mengapa dirinya sangat tertutup kepada orang lain. Baginya, semua orang sama saja. Hanya sedikit beberapa orang atau kerabat yang ia percayai. Bagus mengembuskan napas kasar karena lelah menguasai raga seusai membopong ayahnya sampai ke rumah. Ia pun bangkit lalu berjalan meninggalkan ayahnya yang tengah tertidur agar dapat beristirahat pada malam yang sudah larut. Begitu hendak keluar, tepat di depan pintu kamar yang gagangnya usang, ia melihat adik perempuannya yang terbangun di tengah malam. “Maaf membangunkanmu,” ucap Bagus kepada adik perempuannya yang lewat. Ia masih mengusap-usap matanya yang kantuk, sedikit lembab dan berair. Sisa-sisa dari bangun tidurny
“Hmmm ... hmmm.” Suara Hanna hanya terdengar tak jelas. Ia sedikit menjingkatkan tubuhnya dan mendongak-dongakkan kepala, seolah memberi isyarat meminta sumpalan di mulutnya itu dibuka.Pria misterius itu mengambil posisi seperti berlutut. Tangan satunya di atas lutut, dan ujung kaki satunya ditekuk di lantai sebagai penyanggah tubuh.“Apa? Ngomong yang jelas, dong! Oh, iya, kau tidak bisa berbicara dengan jelas karena benda itu mengganggu bibir indahmu,” ujar pria muda misterius itu sambil menunjuk sehelai kain yang menyumpal mulut Hanna.Kedua mata Hanna berlinang hingga akhirnya tak bisa lagi dibendung, pecah mengeluarkan bulir bening dari sudut matanya.“Wah, kau bisa menangis, ya? Jangan merengek kepadaku! Baiklah, aku bantu kau sedikit,” ucap pria misterius.Ia mengulurkan tangannya. Dengan satu tarikan kasar, merobek kain yang melekat di bahu Hanna. Hal itu membuat Hanna terkejut, bola matanya melebar, melirik bahunya yang kini terekspos, menampilkan kulit putih bersihnya. Air m
Asep kesal, ia menyumpal kembali mulut Hanna. Hendak melanjutkan aksi tak senonoh yang sempat tertunda. “Lebih baik mulutmu tersumpal begini,” ucap Asep. Mengikatkan sumpalan lebih kuat.Hanna meronta-ronta. Ia tahu bahwa akan terjadi hal yang tidak beres selanjutnya. Pikiran kotor lelaki itu. Berusaha melawan sekeras yang ia bisa, tetapi berakhir sia-sia. Fisik Asep sangat kuat, tak bisa dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hanna lemah. Dress Hanna dilucuti dari tubuhnya. “Mmmm … mmmm.” Hanna bergumam tak jelas. Asep menggeleng lalu tersenyum miring, makin Hanna meronta, makin membuat Asep bernafsu. Apalah daya Hanna tidak sanggup melawan dalam kondisi terikat. Tubuh bagian atas Hanna dijamah oleh Asep. Saat ini kondisi Hanna setengah telanjang, baru bagian atas yang terbuka.Air mata mulai keluar dari kedua mata Hanna. Berharap terbangun dari mimpi buruk yang saat ini terjadi. Hanna, seseorang yang sangat disegani ketika berada di luar sana, malah dilecehkan di tempat kumuh sepert
Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi. Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kam
“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le