Orang di luar sana hanya berpikiran dirinya mampu menang akan kebenaran yang belum tentu benar bagi yang tertindas. Bagus sangat tidak suka dengan orang kaya, bisa membeli kekuasaan dan kebenaran. Tidak untuk orang miskin sepertinya yang harus benar-benar bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup.
Itulah mengapa dirinya sangat tertutup kepada orang lain. Baginya, semua orang sama saja. Hanya sedikit beberapa orang atau kerabat yang ia percayai. Bagus mengembuskan napas kasar karena lelah menguasai raga seusai membopong ayahnya sampai ke rumah. Ia pun bangkit lalu berjalan meninggalkan ayahnya yang tengah tertidur agar dapat beristirahat pada malam yang sudah larut. Begitu hendak keluar, tepat di depan pintu kamar yang gagangnya usang, ia melihat adik perempuannya yang terbangun di tengah malam. “Maaf membangunkanmu,” ucap Bagus kepada adik perempuannya yang lewat. Ia masih mengusap-usap matanya yang kantuk, sedikit lembab dan berair. Sisa-sisa dari bangun tidurnya. Ariningtyas Sarinten namanya. Gadis berparas ayu yang dapat memikat mata kaum adam yang meliriknya. Tubuh yang ideal dan kulit putih sedikit kumal. Maklum saja kumal karena mereka tidak mendapatkan air yang bersih dan layak untuk manusia normal pada umumnya di zaman yang sudah modern saat ini.“Kenapa minta maaf, Kak?” tanya Tyas.“Aku mau ke WC karena kebelet mau buang air kecil,” sambungnya. Kembali berjalan meninggalkan Bagus.“Kalau sudah selesai, jangan lupa matikan lampunya! Kakak tidur duluan, soalnya udah ngantuk,” titah Bagus. Sedikit meninggikan suaranya agar dapat terdengar oleh Tyas yang sudah menjauh beberapa langkah dari posisinya berdiri. Tyas mengiyakan, hanya sedikit melambaikan tangannya dan tidak bersuara karena rasa kantuk dan malas dirinya merespons. Seperti mayat hidup yang berjalan, kalau tidak mendesak merasakan kandung kemihnya yang akan pecah karena sudah penuh, tentu Tyas akan tetap melanjutkan tidurnya.****Hujan turun, Tyas yang baru keluar dari kamar kecil merasakan hawa dingin akibat hujan yang makin deras. Ia bergegas, mempercepat langkahnya sambil mematikan semua sakelar bohlam dan memasuki kamar untuk tidur kembali. Sedangkan Bagus yang mendengar suara keras rintik hujan, membuatnya terbangun. Ia keluar dari kamarnya, memeriksa seperti ada yang ketinggalan di luar rumah. Ia baru ingat, saat tadi pagi menjemur kemeja kesayangan beserta sepatunya.Bagus keluar kamar, kembali menghidupkan bohlam yang diperlukan saja untuk menerangi ruangan. Ia segera berlarian keluar rumah. Tampak raut wajah yang muram setelah melihat jemurannya basah. “Basah semua begini, gimana besok mau cari kerjaan lagi?” gerutu Bagus di tengah hujan.Karena kekecewaan, tanpa sadar Bagus juga ikut kebasahan. Seperti tidak peduli dengan hujan yang membasahi dirinya saat ini. Yang ada dalam pikirannya, ayahnya bakal kecewa lagi jika besok Bagus terlihat santai saja di rumah. Ia juga tidak bisa menyalahkan Tyas, gadis sekolah menengah atas kalau terbangun di tengah malam seperti zombie itu.“Maafin Bagus, Yah,” lirihnya. “Ya udahlah, sabar. Pakai baju seadanya aja, cari kerjaan di pasar dulu buat bantuin Ayah,” pasrahnya sambil membawa jemuran basah.Ketika akan memasuki rumah dan bersiap menutup pintu, Bagus melihat sosok pemuda yang ia kenal. Asep namanya, seperti sedang membawa wanita. Anehnya, wanita itu seperti tidak sadarkan diri. Walau Asep memakai jas hujan yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, Bagus sangat mengenal perawakan bentuk tubuh lelaki yang tinggal berdekatan dari rumahnya itu.“Pakai jas hujan di dalam mobil?” Bagus bertanya dalam hati.Sangat jelas membuat Bagus curiga karena Asep dikenal sebagai orang yang tidak jelas, suka memalak, mabuk-mabukan, berjudi, dan banyak hal lainnya tidak senonoh dan tidak patut sebagai contoh untuk ditiru warga setempat. Seorang pengangguran, rumah kecil dan kumuh seperti tempat tinggalnya saat ini, Asep bisa-bisanya mengendarai sebuah mobil, menambah kecurigaan Bagus. Apalagi gonta-ganti sepeda motor keluaran terbaru.“Dasar laki-laki edan, siapa wanita yang dibawanya itu? Aku harus melihat dan memeriksanya,” ucap Bagus. Dia pun melemparkan jemuran basah di atas meja, bergegas menyelesaikan rasa penasaran, bisa saja Asep melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap wanita itu.Bagus memang tidak menyukai Asep karena pemuda itu pernah melakukan tindakan buruk kepada Tyas, yakni pernah menggodanya, bahkan memberikan Tyas jajanan berupa makanan dan minuman yang diberikan obat tidur. Tyas yang polos karena berniat tidak mau membuat orang lain kecewa, menerima pemberian Asep. Untungnya ada Bagus waktu kejadian itu. Bagus menghampiri mereka berdua dan mengajak Tyas pulang ke rumah. Dengan penolakan yang halus karena Bagus tidak mau gegabah asal menuduh orang sembarangan tanpa bukti. Kembali Bagus mengikuti diam-diam tetangganya itu. Mengendap-endap di pekarangan rumah Asep, Bagus sangat yakin ada yang tidak beres, ia sangat berhati-hati dalam melangkah. ***Kedua netra Hanna perlahan terbuka. Ditemuinya kegelapan, hanya sedikit ia bisa melihat sekitar. Kini Hanna sepenuhnya terjaga, tetapi ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengikat kedua tangan dan kakinya, serta mulut dilekatkan kain hitam, tubuhnya didudukkan di kursi yang hampir reot. Untung saja masih bisa menahan bobot tubuh Hanna.“Di mana ini?” Hanna bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia berada di tempat gelap dan lembab begini. Pakaiannya pun terlihat sedikit basah. Ia heran. Bukannya dia sebelumnya ada di luar rumah, bermain bersama hujan lalu kembali pulang.Satu per satu potongan-potongan kejadian sebelumnya mulai terkumpul. Dan, kini menjadi satu, Hanna mengingat apa yang menimpa dirinya. Ia melihat sosok pria yang tak dikenali sama sekali olehnya. Pria yang menutupi dirinya dengan jas hujan tebal, terlihat hanya sorotan mata karena kilatan cahaya petir yang menari di atas langit pada saat itu dan … Hanna berlari, tetapi ia tertangkap, mencoba menelepon polisi, tetapi dihempas dan tangannya dicekal erat. Sesuatu menancap di leher Hanna lalu pandangannya gelap dalam sekejap waktu itu.Apa aku diculik? Di mana ini? Siapa yang melakukan ini? Alasannya apa? Berbagai pertanyaan hinggap di kepala Hanna. Gadis itu mengedarkan pandangan. Ia melihat sebuah kursi, meja bekas berwarna cokelat tua, banyak retakan kecil di kaca yang melapisi atasnya, dan goresan tak beraturan, entah disebabkan oleh apa. Tergantung lampu berwarna kuning redup tengah menyorot, memberikan sedikit penerangan di ruangan ini yang membantu penglihatan Hanna. Setidaknya itu lebih baik, pikir Hanna. Bukan Robby yang menculik atau membawa ke tempat ini, begitulah asumsi gadis itu. Semua pertanyaan Hanna lenyap seketika karena terdengar suara cukup mengejutkan. “Ternyata Anda sudah sadar!” ucap seorang pria.Hanna membulatkan kedua mata, melihat sosok yang tidak dikenal muncul di balik gelapnya ruangan. Rahang petak, mata kecil, batang hidung terlihat seperti patah habis dipukul berkali-kali. Rambut pendek keriting, seperti biji jagung yang tak beraturan. Serta tubuh kurusnya memakai kemeja yang modis, tidak terlihat cocok dengan wajah pas-pasan dari pria itu. Dari perawakannya, Hanna merasakan firasat buruk, apalagi mendapati dirinya terikat di sebuah kursi dan mulut tersumpal kain.“Hmm–hmmm.” Hanna hanya bisa bergumam. Padahal meronta seperti ingin membicarakan sesuatu, tetapi apa daya mulut tertutup.Pria itu menatap Hanna dengan tatapan mesum. Memandangi lekuk tubuh Hanna dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan penuh nafsu. “Hai, Cantik yang dibuang, ternyata kau sudah sadar, ya?” ucapnya. Muncul senyum menyeringai dari orang tersebut yang tak dikenal Hanna.“Hmmm ... hmmm.” Suara Hanna hanya terdengar tak jelas. Ia sedikit menjingkatkan tubuhnya dan mendongak-dongakkan kepala, seolah memberi isyarat meminta sumpalan di mulutnya itu dibuka.Pria misterius itu mengambil posisi seperti berlutut. Tangan satunya di atas lutut, dan ujung kaki satunya ditekuk di lantai sebagai penyanggah tubuh.“Apa? Ngomong yang jelas, dong! Oh, iya, kau tidak bisa berbicara dengan jelas karena benda itu mengganggu bibir indahmu,” ujar pria muda misterius itu sambil menunjuk sehelai kain yang menyumpal mulut Hanna.Kedua mata Hanna berlinang hingga akhirnya tak bisa lagi dibendung, pecah mengeluarkan bulir bening dari sudut matanya.“Wah, kau bisa menangis, ya? Jangan merengek kepadaku! Baiklah, aku bantu kau sedikit,” ucap pria misterius.Ia mengulurkan tangannya. Dengan satu tarikan kasar, merobek kain yang melekat di bahu Hanna. Hal itu membuat Hanna terkejut, bola matanya melebar, melirik bahunya yang kini terekspos, menampilkan kulit putih bersihnya. Air m
Asep kesal, ia menyumpal kembali mulut Hanna. Hendak melanjutkan aksi tak senonoh yang sempat tertunda. “Lebih baik mulutmu tersumpal begini,” ucap Asep. Mengikatkan sumpalan lebih kuat.Hanna meronta-ronta. Ia tahu bahwa akan terjadi hal yang tidak beres selanjutnya. Pikiran kotor lelaki itu. Berusaha melawan sekeras yang ia bisa, tetapi berakhir sia-sia. Fisik Asep sangat kuat, tak bisa dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hanna lemah. Dress Hanna dilucuti dari tubuhnya. “Mmmm … mmmm.” Hanna bergumam tak jelas. Asep menggeleng lalu tersenyum miring, makin Hanna meronta, makin membuat Asep bernafsu. Apalah daya Hanna tidak sanggup melawan dalam kondisi terikat. Tubuh bagian atas Hanna dijamah oleh Asep. Saat ini kondisi Hanna setengah telanjang, baru bagian atas yang terbuka.Air mata mulai keluar dari kedua mata Hanna. Berharap terbangun dari mimpi buruk yang saat ini terjadi. Hanna, seseorang yang sangat disegani ketika berada di luar sana, malah dilecehkan di tempat kumuh sepert
Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi. Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kam
“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam