Share

BAB 3

Orang di luar sana hanya berpikiran dirinya mampu menang akan kebenaran yang belum tentu benar bagi yang tertindas. Bagus sangat tidak suka dengan orang kaya, bisa membeli kekuasaan dan kebenaran. Tidak untuk orang miskin sepertinya yang harus benar-benar bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup.

Itulah mengapa dirinya sangat tertutup kepada orang lain. Baginya, semua orang sama saja. Hanya sedikit beberapa orang atau kerabat yang ia percayai. Bagus mengembuskan napas kasar karena lelah menguasai raga seusai membopong ayahnya sampai ke rumah. Ia pun bangkit lalu berjalan meninggalkan ayahnya yang tengah tertidur agar dapat beristirahat pada malam yang sudah larut. Begitu hendak keluar, tepat di depan pintu kamar yang gagangnya usang, ia melihat adik perempuannya yang terbangun di tengah malam. 

“Maaf membangunkanmu,” ucap Bagus kepada adik perempuannya yang lewat. Ia masih mengusap-usap matanya yang kantuk, sedikit lembab dan berair. Sisa-sisa dari bangun tidurnya. 

Ariningtyas Sarinten namanya. Gadis berparas ayu yang dapat memikat mata kaum adam yang meliriknya. Tubuh yang ideal dan kulit putih sedikit kumal. Maklum saja kumal karena mereka tidak mendapatkan air yang bersih dan layak untuk manusia normal pada umumnya di zaman yang sudah modern saat ini.

“Kenapa minta maaf, Kak?” tanya Tyas.

“Aku mau ke WC karena kebelet mau buang air kecil,” sambungnya. Kembali berjalan meninggalkan Bagus.

“Kalau sudah selesai, jangan lupa matikan lampunya! Kakak tidur duluan, soalnya udah ngantuk,” titah Bagus. Sedikit meninggikan suaranya agar dapat terdengar oleh Tyas yang sudah menjauh beberapa langkah dari posisinya berdiri. 

Tyas mengiyakan, hanya sedikit melambaikan tangannya dan tidak bersuara karena rasa kantuk dan malas dirinya merespons. Seperti mayat hidup yang berjalan, kalau tidak mendesak merasakan kandung kemihnya yang akan pecah karena sudah penuh, tentu Tyas akan tetap melanjutkan tidurnya.

****

Hujan turun, Tyas yang baru keluar dari kamar kecil merasakan hawa dingin akibat hujan yang makin deras. Ia bergegas, mempercepat langkahnya sambil mematikan semua sakelar bohlam dan memasuki kamar untuk tidur kembali. Sedangkan Bagus yang mendengar suara keras rintik hujan, membuatnya terbangun. Ia keluar dari kamarnya, memeriksa seperti ada yang ketinggalan di luar rumah. Ia baru ingat, saat tadi pagi menjemur kemeja kesayangan beserta sepatunya.

Bagus keluar kamar, kembali menghidupkan bohlam yang diperlukan saja untuk menerangi ruangan. Ia segera berlarian keluar rumah. Tampak raut wajah yang muram setelah melihat jemurannya basah. 

“Basah semua begini, gimana besok mau cari kerjaan lagi?” gerutu Bagus di tengah hujan.

Karena kekecewaan, tanpa sadar Bagus juga ikut kebasahan. Seperti tidak peduli dengan hujan yang membasahi dirinya saat ini. Yang ada dalam pikirannya, ayahnya bakal kecewa lagi jika besok Bagus terlihat santai saja di rumah. Ia juga tidak bisa menyalahkan Tyas, gadis sekolah menengah atas kalau terbangun di tengah malam seperti zombie itu.

“Maafin Bagus, Yah,” lirihnya. 

“Ya udahlah, sabar. Pakai baju seadanya aja, cari kerjaan di pasar dulu buat bantuin Ayah,” pasrahnya sambil membawa jemuran basah.

Ketika akan memasuki rumah dan bersiap menutup pintu, Bagus melihat sosok pemuda yang ia kenal. Asep namanya, seperti sedang membawa wanita. Anehnya, wanita itu seperti tidak sadarkan diri. Walau Asep memakai jas hujan yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, Bagus sangat mengenal perawakan bentuk tubuh lelaki yang tinggal berdekatan dari rumahnya itu.

“Pakai jas hujan di dalam mobil?” Bagus bertanya dalam hati.

Sangat jelas membuat Bagus curiga karena Asep dikenal sebagai orang yang tidak jelas, suka memalak, mabuk-mabukan, berjudi, dan banyak hal lainnya tidak senonoh dan tidak patut sebagai contoh untuk ditiru warga setempat. Seorang pengangguran, rumah kecil dan kumuh seperti tempat tinggalnya saat ini, Asep bisa-bisanya mengendarai sebuah mobil, menambah kecurigaan Bagus. Apalagi gonta-ganti sepeda motor keluaran terbaru.

“Dasar laki-laki edan, siapa wanita yang dibawanya itu? Aku harus melihat dan memeriksanya,” ucap Bagus. Dia pun melemparkan jemuran basah di atas meja, bergegas menyelesaikan rasa penasaran, bisa saja Asep melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap wanita itu.

Bagus memang tidak menyukai Asep karena pemuda itu pernah melakukan tindakan buruk kepada Tyas, yakni pernah menggodanya, bahkan memberikan Tyas jajanan berupa makanan dan minuman yang diberikan obat tidur. Tyas yang polos karena berniat tidak mau membuat orang lain kecewa, menerima pemberian Asep. Untungnya ada Bagus waktu kejadian itu. Bagus menghampiri mereka berdua dan mengajak Tyas pulang ke rumah. Dengan penolakan yang halus karena Bagus tidak mau gegabah asal menuduh orang sembarangan tanpa bukti. 

Kembali Bagus mengikuti diam-diam tetangganya itu. Mengendap-endap di pekarangan rumah Asep, Bagus sangat yakin ada yang tidak beres, ia sangat berhati-hati dalam melangkah. 

***

Kedua netra Hanna perlahan terbuka. Ditemuinya kegelapan, hanya sedikit ia bisa melihat sekitar. Kini Hanna sepenuhnya terjaga, tetapi ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengikat kedua tangan dan kakinya, serta mulut dilekatkan kain hitam, tubuhnya didudukkan di kursi yang hampir reot. Untung saja masih bisa menahan bobot tubuh Hanna.

“Di mana ini?” Hanna bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia berada di tempat gelap dan lembab begini. Pakaiannya pun terlihat sedikit basah. Ia heran. Bukannya dia sebelumnya ada di luar rumah, bermain bersama hujan lalu kembali pulang.

Satu per satu potongan-potongan kejadian sebelumnya mulai terkumpul. Dan, kini menjadi satu, Hanna mengingat apa yang menimpa dirinya. Ia melihat sosok pria yang tak dikenali sama sekali olehnya. Pria yang menutupi dirinya dengan jas hujan tebal, terlihat hanya sorotan mata karena kilatan cahaya petir yang menari di atas langit pada saat itu dan … Hanna berlari, tetapi ia tertangkap, mencoba menelepon polisi, tetapi dihempas dan tangannya dicekal erat. Sesuatu menancap di leher Hanna lalu pandangannya gelap dalam sekejap waktu itu.

Apa aku diculik? Di mana ini? Siapa yang melakukan ini? Alasannya apa? Berbagai pertanyaan hinggap di kepala Hanna. 

Gadis itu mengedarkan pandangan. Ia melihat sebuah kursi, meja bekas berwarna cokelat tua, banyak retakan kecil di kaca yang melapisi atasnya, dan goresan tak beraturan, entah disebabkan oleh apa. Tergantung lampu berwarna kuning redup tengah menyorot, memberikan sedikit penerangan di ruangan ini yang membantu penglihatan Hanna. Setidaknya itu lebih baik, pikir Hanna. Bukan Robby yang menculik atau membawa ke tempat ini, begitulah asumsi gadis itu. Semua pertanyaan Hanna lenyap seketika karena terdengar suara cukup mengejutkan. 

“Ternyata Anda sudah sadar!” ucap seorang pria.

Hanna membulatkan kedua mata, melihat sosok yang tidak dikenal muncul di balik gelapnya ruangan. Rahang petak, mata kecil, batang hidung terlihat seperti patah habis dipukul berkali-kali. Rambut pendek keriting, seperti biji jagung yang tak beraturan. Serta tubuh kurusnya memakai kemeja yang modis, tidak terlihat cocok dengan wajah pas-pasan dari pria itu. Dari perawakannya, Hanna merasakan firasat buruk, apalagi mendapati dirinya terikat di sebuah kursi dan mulut tersumpal kain.

“Hmm–hmmm.” Hanna hanya bisa bergumam. Padahal meronta seperti ingin membicarakan sesuatu, tetapi apa daya mulut tertutup.

Pria itu menatap Hanna dengan tatapan mesum. Memandangi lekuk tubuh Hanna dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan penuh nafsu. 

“Hai, Cantik yang dibuang, ternyata kau sudah sadar, ya?” ucapnya. Muncul senyum menyeringai dari orang tersebut yang tak dikenal Hanna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status