Share

BAB 3

last update Last Updated: 2022-02-08 21:58:13

Orang di luar sana hanya berpikiran dirinya mampu menang akan kebenaran yang belum tentu benar bagi yang tertindas. Bagus sangat tidak suka dengan orang kaya, bisa membeli kekuasaan dan kebenaran. Tidak untuk orang miskin sepertinya yang harus benar-benar bekerja keras dan memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup.

Itulah mengapa dirinya sangat tertutup kepada orang lain. Baginya, semua orang sama saja. Hanya sedikit beberapa orang atau kerabat yang ia percayai. Bagus mengembuskan napas kasar karena lelah menguasai raga seusai membopong ayahnya sampai ke rumah. Ia pun bangkit lalu berjalan meninggalkan ayahnya yang tengah tertidur agar dapat beristirahat pada malam yang sudah larut. Begitu hendak keluar, tepat di depan pintu kamar yang gagangnya usang, ia melihat adik perempuannya yang terbangun di tengah malam. 

“Maaf membangunkanmu,” ucap Bagus kepada adik perempuannya yang lewat. Ia masih mengusap-usap matanya yang kantuk, sedikit lembab dan berair. Sisa-sisa dari bangun tidurnya. 

Ariningtyas Sarinten namanya. Gadis berparas ayu yang dapat memikat mata kaum adam yang meliriknya. Tubuh yang ideal dan kulit putih sedikit kumal. Maklum saja kumal karena mereka tidak mendapatkan air yang bersih dan layak untuk manusia normal pada umumnya di zaman yang sudah modern saat ini.

“Kenapa minta maaf, Kak?” tanya Tyas.

“Aku mau ke WC karena kebelet mau buang air kecil,” sambungnya. Kembali berjalan meninggalkan Bagus.

“Kalau sudah selesai, jangan lupa matikan lampunya! Kakak tidur duluan, soalnya udah ngantuk,” titah Bagus. Sedikit meninggikan suaranya agar dapat terdengar oleh Tyas yang sudah menjauh beberapa langkah dari posisinya berdiri. 

Tyas mengiyakan, hanya sedikit melambaikan tangannya dan tidak bersuara karena rasa kantuk dan malas dirinya merespons. Seperti mayat hidup yang berjalan, kalau tidak mendesak merasakan kandung kemihnya yang akan pecah karena sudah penuh, tentu Tyas akan tetap melanjutkan tidurnya.

****

Hujan turun, Tyas yang baru keluar dari kamar kecil merasakan hawa dingin akibat hujan yang makin deras. Ia bergegas, mempercepat langkahnya sambil mematikan semua sakelar bohlam dan memasuki kamar untuk tidur kembali. Sedangkan Bagus yang mendengar suara keras rintik hujan, membuatnya terbangun. Ia keluar dari kamarnya, memeriksa seperti ada yang ketinggalan di luar rumah. Ia baru ingat, saat tadi pagi menjemur kemeja kesayangan beserta sepatunya.

Bagus keluar kamar, kembali menghidupkan bohlam yang diperlukan saja untuk menerangi ruangan. Ia segera berlarian keluar rumah. Tampak raut wajah yang muram setelah melihat jemurannya basah. 

“Basah semua begini, gimana besok mau cari kerjaan lagi?” gerutu Bagus di tengah hujan.

Karena kekecewaan, tanpa sadar Bagus juga ikut kebasahan. Seperti tidak peduli dengan hujan yang membasahi dirinya saat ini. Yang ada dalam pikirannya, ayahnya bakal kecewa lagi jika besok Bagus terlihat santai saja di rumah. Ia juga tidak bisa menyalahkan Tyas, gadis sekolah menengah atas kalau terbangun di tengah malam seperti zombie itu.

“Maafin Bagus, Yah,” lirihnya. 

“Ya udahlah, sabar. Pakai baju seadanya aja, cari kerjaan di pasar dulu buat bantuin Ayah,” pasrahnya sambil membawa jemuran basah.

Ketika akan memasuki rumah dan bersiap menutup pintu, Bagus melihat sosok pemuda yang ia kenal. Asep namanya, seperti sedang membawa wanita. Anehnya, wanita itu seperti tidak sadarkan diri. Walau Asep memakai jas hujan yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, Bagus sangat mengenal perawakan bentuk tubuh lelaki yang tinggal berdekatan dari rumahnya itu.

“Pakai jas hujan di dalam mobil?” Bagus bertanya dalam hati.

Sangat jelas membuat Bagus curiga karena Asep dikenal sebagai orang yang tidak jelas, suka memalak, mabuk-mabukan, berjudi, dan banyak hal lainnya tidak senonoh dan tidak patut sebagai contoh untuk ditiru warga setempat. Seorang pengangguran, rumah kecil dan kumuh seperti tempat tinggalnya saat ini, Asep bisa-bisanya mengendarai sebuah mobil, menambah kecurigaan Bagus. Apalagi gonta-ganti sepeda motor keluaran terbaru.

“Dasar laki-laki edan, siapa wanita yang dibawanya itu? Aku harus melihat dan memeriksanya,” ucap Bagus. Dia pun melemparkan jemuran basah di atas meja, bergegas menyelesaikan rasa penasaran, bisa saja Asep melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap wanita itu.

Bagus memang tidak menyukai Asep karena pemuda itu pernah melakukan tindakan buruk kepada Tyas, yakni pernah menggodanya, bahkan memberikan Tyas jajanan berupa makanan dan minuman yang diberikan obat tidur. Tyas yang polos karena berniat tidak mau membuat orang lain kecewa, menerima pemberian Asep. Untungnya ada Bagus waktu kejadian itu. Bagus menghampiri mereka berdua dan mengajak Tyas pulang ke rumah. Dengan penolakan yang halus karena Bagus tidak mau gegabah asal menuduh orang sembarangan tanpa bukti. 

Kembali Bagus mengikuti diam-diam tetangganya itu. Mengendap-endap di pekarangan rumah Asep, Bagus sangat yakin ada yang tidak beres, ia sangat berhati-hati dalam melangkah. 

***

Kedua netra Hanna perlahan terbuka. Ditemuinya kegelapan, hanya sedikit ia bisa melihat sekitar. Kini Hanna sepenuhnya terjaga, tetapi ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengikat kedua tangan dan kakinya, serta mulut dilekatkan kain hitam, tubuhnya didudukkan di kursi yang hampir reot. Untung saja masih bisa menahan bobot tubuh Hanna.

“Di mana ini?” Hanna bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa ia berada di tempat gelap dan lembab begini. Pakaiannya pun terlihat sedikit basah. Ia heran. Bukannya dia sebelumnya ada di luar rumah, bermain bersama hujan lalu kembali pulang.

Satu per satu potongan-potongan kejadian sebelumnya mulai terkumpul. Dan, kini menjadi satu, Hanna mengingat apa yang menimpa dirinya. Ia melihat sosok pria yang tak dikenali sama sekali olehnya. Pria yang menutupi dirinya dengan jas hujan tebal, terlihat hanya sorotan mata karena kilatan cahaya petir yang menari di atas langit pada saat itu dan … Hanna berlari, tetapi ia tertangkap, mencoba menelepon polisi, tetapi dihempas dan tangannya dicekal erat. Sesuatu menancap di leher Hanna lalu pandangannya gelap dalam sekejap waktu itu.

Apa aku diculik? Di mana ini? Siapa yang melakukan ini? Alasannya apa? Berbagai pertanyaan hinggap di kepala Hanna. 

Gadis itu mengedarkan pandangan. Ia melihat sebuah kursi, meja bekas berwarna cokelat tua, banyak retakan kecil di kaca yang melapisi atasnya, dan goresan tak beraturan, entah disebabkan oleh apa. Tergantung lampu berwarna kuning redup tengah menyorot, memberikan sedikit penerangan di ruangan ini yang membantu penglihatan Hanna. Setidaknya itu lebih baik, pikir Hanna. Bukan Robby yang menculik atau membawa ke tempat ini, begitulah asumsi gadis itu. Semua pertanyaan Hanna lenyap seketika karena terdengar suara cukup mengejutkan. 

“Ternyata Anda sudah sadar!” ucap seorang pria.

Hanna membulatkan kedua mata, melihat sosok yang tidak dikenal muncul di balik gelapnya ruangan. Rahang petak, mata kecil, batang hidung terlihat seperti patah habis dipukul berkali-kali. Rambut pendek keriting, seperti biji jagung yang tak beraturan. Serta tubuh kurusnya memakai kemeja yang modis, tidak terlihat cocok dengan wajah pas-pasan dari pria itu. Dari perawakannya, Hanna merasakan firasat buruk, apalagi mendapati dirinya terikat di sebuah kursi dan mulut tersumpal kain.

“Hmm–hmmm.” Hanna hanya bisa bergumam. Padahal meronta seperti ingin membicarakan sesuatu, tetapi apa daya mulut tertutup.

Pria itu menatap Hanna dengan tatapan mesum. Memandangi lekuk tubuh Hanna dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan penuh nafsu. 

“Hai, Cantik yang dibuang, ternyata kau sudah sadar, ya?” ucapnya. Muncul senyum menyeringai dari orang tersebut yang tak dikenal Hanna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami di Atas Kertas   Bab 80

    Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.

  • Suami di Atas Kertas   Bab 79

    Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B

  • Suami di Atas Kertas   Bab 78

    "Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan

  • Suami di Atas Kertas   Bab 77

    "Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal

  • Suami di Atas Kertas   Bab 76

    Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce

  • Suami di Atas Kertas   Bab 75

    "Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,

  • Suami di Atas Kertas   Bab 74

    "Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me

  • Suami di Atas Kertas   Bab 73

    "Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru

  • Suami di Atas Kertas   Bab 72

    Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status