“Hmmm ... hmmm.” Suara Hanna hanya terdengar tak jelas. Ia sedikit menjingkatkan tubuhnya dan mendongak-dongakkan kepala, seolah memberi isyarat meminta sumpalan di mulutnya itu dibuka.
Pria misterius itu mengambil posisi seperti berlutut. Tangan satunya di atas lutut, dan ujung kaki satunya ditekuk di lantai sebagai penyanggah tubuh.“Apa? Ngomong yang jelas, dong! Oh, iya, kau tidak bisa berbicara dengan jelas karena benda itu mengganggu bibir indahmu,” ujar pria muda misterius itu sambil menunjuk sehelai kain yang menyumpal mulut Hanna.Kedua mata Hanna berlinang hingga akhirnya tak bisa lagi dibendung, pecah mengeluarkan bulir bening dari sudut matanya.“Wah, kau bisa menangis, ya? Jangan merengek kepadaku! Baiklah, aku bantu kau sedikit,” ucap pria misterius.Ia mengulurkan tangannya. Dengan satu tarikan kasar, merobek kain yang melekat di bahu Hanna. Hal itu membuat Hanna terkejut, bola matanya melebar, melirik bahunya yang kini terekspos, menampilkan kulit putih bersihnya. Air mata kian tumpah, Hanna mengerti dengan situasi saat ini bahwa pria itu mempunyai niat buruk. Menggeleng berkali-kali, Hanna mengerjap, menunjukkan rasa memelas, mengisyaratkan agar pria itu paham dan berhenti dengan aksi kotornya.“Oops … aku salah meraih sesuatu sepertinya,” ucap pria misterius penuh kebohongan, padahal ia sengaja agar bisa melihat bagian tubuh gadis yang ia sandra. Kali ini ia sungguh-sungguh melonggarkan kain yang menempel pada bibir Hanna.Belum sempat pria itu berbicara, Hanna menyela lebih dahulu. “Siapa kau? Aku tidak tahu kau siapa. Tolong, hentikan perbuatanmu! Aku mohon,” pinta Hanna dengan suara yang lirih.Pria misterius bermaksud membicarakan Robby yang selama ini menjalani hubungan secara backstreet dengan Hanna. Robby hanya memanfaatkan Hanna demi harta dan melampiaskan nafsu bejatnya selama ini.“Hmm, suaramu merdu juga, ya, berkata demikian, pantas saja lelaki itu tergiur akan dirimu. Melepaskanmu? Sebuah hal yang sia-sia, dong. Sayang kalau tubuh mulus indah begini, aku tidak bisa nikmatin sebelum …,” ucap pria misterius, jarinya menelusuri kulit mulus Hanna, dari pipi lembab Hanna, menjalar ke leher turun perlahan berhenti sampai ke bahu.“Cih, jauhkan tangan kotormu itu!” sergah Hanna. Tak sudi tubuh miliknya sendiri di sentuh oleh pria tak dikenal, sudah jelek, berkelakuan mesum, apalagi tanpa rasa cinta sama sekali.Percikan saliva Hanna mengenai salah satu pipi pria misterius itu. Pria itu membulatkan kedua matanya. Dengan rasa geram, mengelap air liur di pipinya dengan telapak tangan.“Jangan kasar begitu, Cantik!” ucap pria misterius. Garis lengkung terbentuk dari kedua sudut bibir.Ia menatap Hanna. Tujuan pria misterius itu ialah menyekap dan memperkosa Hanna selama berhari-hari sampai hari ditentukan untuk Hanna dilepaskan agar Robby tidak diminta pertanggung jawaban kelak. Agar Robby tidak terlihat terlibat mempunyai hubungan dengan Hanna di publik, sekaligus tidak ketahuan oleh istri yang baru ia nikahin. Dalang di balik semua kejadian penculikan ini sudah direncanakan oleh Robby dengan persiapan matang. Ia membayar Asep, pemuda misterius saat ini yang tidak dikenal Hanna.“Lepaskan aku! Kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah putri pewaris tunggal perusahaan terbesar dan ternama, Glorius Company Group. Jangan berani kau menyentuhku sekali lagi! Kalau tidak, kau akan tinggal nama setelah kejadian ini!” bentak Hanna dengan sisa tenaganya. “Aku mau mengompol setelah mendengar itu,” cibir Asep. Ia menutup mulut dengan kedua tangan dan mengeluarkan ekspresi pura-pura ketakutan.“Hey, dengarkan ini baik-baik! Aku tidak takut dengan ancamanmu, mau pewaris tunggal, perusahaan besar atau apalah itu. Persetan! Aku sama sekali tidak tertekan mendengar semua itu,” sambung Asep. Membesarkan kedua bola netra. Tangannya menarik rambut Hanna hingga memperlihatkan wajah gadis itu yang menengadah ke atas sampai mereka berdua saling bertatapan, hanya beberapa sentimeter jaraknya.Mendengar ucapan Asep, mental Hanna yang mengecil. Pikirannya kini menjadi kacau, ketakutan karena bisa saja ia terbunuh di tangan lelaki di hadapannya saat ini. Hanna tidak bisa berbuat apa-apa juga karena ia selama ini menghilang dari orang tuanya demi lelaki yang ia cintai selama ini. Yang tak lain adalah demi Robby. Namun, sebaliknya, ternyata lelaki itu hanya memanfaatkannya saja. Asep mendekatkan wajahnya ke leher jenjang Hanna. Mencium aroma tubuh wanita yang kini berada di genggaman. Kemudian, dengan beraninya Asep mencium leher itu. Hanna tersentak, menjauhkan secara paksa kepalanya. Sempat membuat Hanna merasakan sakit karena ia tidak bisa menghindar akibat rambut yang masih berada di genggaman Asep.“Lepaskan tanganmu! Berapa pun akan aku bayar jika kau mau melepaskanku,” pinta Hanna dengan wajah memelas.Mendengar perkataan Hanna, Asep tersenyum. Terlintas di pikirannya mengkhianati pekerjaannya saat ini.“Tadi kau mengancamku, sekarang minta ingin dilepaskan,” sindir Asep.“Ya, aku mohon sekarang kau lepaskan aku dan aku berjanji akan membayarmu berapa pun yang kau minta,” ujar Hanna. Merasakan seperti ada kesempatan untuknya.“Berapa pun, ya?” ucap Asep. Ia meletakkan ujung jarinya di dagu. Sedang memikirkan sesuatu. “Bagaimana kalau aset perusahaanmu lima puluh persen untukku setelah melepaskanmu?” sambung Asep bertanya.“Apa? Kau gila, ya?” Hanna berkata spontan setelah mendengar tawaran Asep.“Aku memang sudah gila,” jawab Asep dengan entengnya.“Hanya lima puluh persen, dari pada semuanya, sepertinya kebesaran, ya? Bagaimana kalau tujuh puluh lima persen,” sambung Asep sambil terkekeh mempermainkan Hanna.“Lima puluh persen saja sudah kebesaran. Kau bukan mengurangi, malah menambah tawaranmu. Dasar gila!” bentak Hanna.“Dasar sampah! Kau berani mempermainkanku begini,” sambung gadis itu yang terlihat kesal. “Bukannya bersyukur, nilai tujuh puluh lima persen itu sebanding dengan harga nyawamu di sini. Tidak mungkin orang tuamu juga tega tidak mau menyelamatkan putri semata wayangnya ditukar dengan harta,” timpal Asep.Lelaki itu berpikiran lebih baik ia bernegoisasi dengan Hanna, mungkin saja ia dapat sebagian harta atau kekuasaan gadis itu. Setelah mendapatkannya, Asep tidak perlu melakukan hal kotor apa pun lagi. Mendapatkan tangkapan besar, Asep cukup duduk manis mengelola aset miliknya. Semudah itu Asep berpikiran ingin mengkhianati orang yang telah menyuruhnya.Hanna mengira, laki-laki yang ada di depannya ini hanya akan meminta sejumlah uang tunai. Kenyataannya malah aset properti milik keluarga. Tidak dengan Hanna, pastinya ia tidak ingin memberikan lima puluh, bahkan sampai tujuh puluh lima persen hasil kerja keras papanya selama ini hanya untuk kepentingan menyelamatkan dirinya. Hanna berpikir, semua laki-laki sama saja. Hanya menginginkan harta, bukan kesetiaan yang tulus. Melihat kelakuan Robby apalagi lelaki di hadapannya sekarang ini, bisa berkhianat melepaskan dirinya hanya demi harta. Setelah melayangkan sebuah tawaran, Hanna berpikir pasti ada motif yang ia tidak tahu pasti siapa yang menyuruh seorang lelaki ini untuk menyekap lalu bisa saja membunuhnya. “Tidak, aku tidak akan memberikan nilai sebegitu besarnya untuk bajingan sepertimu!” ucap Hanna.“Jadi, kau mengurungkan niatmu untuk dilepaskan dan mau aku siksa di sini, ya!” balasnya sekaligus ancaman kepada Hanna.Lelaki itu hanya menggertak Hanna agar ia mau menerima tawaran sebelumnya. Jadi, Asep tidak perlu bekerja atau berhubungan lagi kepada orang-orang yang menyewa jasa kotornya.“Dasar laki-laki bajingan! Aku tidak akan memberikan aset kekayaan keluargaku kepadamu. Aku tidak akan sudi!” tolak Hanna. Ia memelotot kepada Asep.“Kau wanita sialan! Dikasih hati malah minta jantung. Aku tidak akan berbelas kasihan kepadamu,” sergah Asep.Asep kesal, ia menyumpal kembali mulut Hanna. Hendak melanjutkan aksi tak senonoh yang sempat tertunda. “Lebih baik mulutmu tersumpal begini,” ucap Asep. Mengikatkan sumpalan lebih kuat.Hanna meronta-ronta. Ia tahu bahwa akan terjadi hal yang tidak beres selanjutnya. Pikiran kotor lelaki itu. Berusaha melawan sekeras yang ia bisa, tetapi berakhir sia-sia. Fisik Asep sangat kuat, tak bisa dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hanna lemah. Dress Hanna dilucuti dari tubuhnya. “Mmmm … mmmm.” Hanna bergumam tak jelas. Asep menggeleng lalu tersenyum miring, makin Hanna meronta, makin membuat Asep bernafsu. Apalah daya Hanna tidak sanggup melawan dalam kondisi terikat. Tubuh bagian atas Hanna dijamah oleh Asep. Saat ini kondisi Hanna setengah telanjang, baru bagian atas yang terbuka.Air mata mulai keluar dari kedua mata Hanna. Berharap terbangun dari mimpi buruk yang saat ini terjadi. Hanna, seseorang yang sangat disegani ketika berada di luar sana, malah dilecehkan di tempat kumuh sepert
Bagus berhasil masuk ke kediaman Asep. Dirasakannya tempat tinggal tetangganya itu yang lembab dan minim cahaya. Sungguh membuat tidak nyaman bagi siapa pun yang menempati rumah ini. Meski penerangan yang sedikit, Bagus dapat melihat sosok wanita yang berada sejauh satu meter dari posisinya berdiri. Bagus memangkas jaraknya dengan Hanna yang masih duduk di kursi. Bagus terkejut ketika melihat gadis itu yang setengah telanjang. Namun, hasrat Bagus tidaklah langsung naik hanya gara-gara itu. Dirinya bukanlah Asep. Tujuan Bagus adalah murni ingin menyelamatkan gadis itu. Beragam asumsi sudah bersarang di kepala Bagus. Bisa saja Asep belum menuntaskan nafsu bejatnya terhadap wanita ini. Atau, bisa jadi sudah diperbuat Asep. Entahlah, Bagus tidak tahu. Ia mencoba membangun wanita itu agar secepatnya bisa bebas dari tempat ini, sebelum Asep datang. Bagus membuka kain yang menyumpal mulut Hanna.“Hey, kamu! Bangunlah. Ayo!” titah Bagus sambil menepuk-nepuk pipi Hanna. “Hey! Ayo, bangun! Kam
“Dek, kita itu harus menolong sesama. Bisa jadi dia adalah korban Asep. Kalian sama-sama wanita. Coba kamu pikir jika kamu berada di posisinya. Pasti ingin ada seseorang yang menolong, kan? Tidak ada salahnya kita berbuat kebaikan, Dek,” ujar Bagus. Mendengar perkataan Bagus, Tyas pun merasa seperti sebuah aliran listrik mengalir di seluruh peredaran darahnya. Bisa Tyas bayangkan jika kejadian tersebut terjadi kepada dirinya sendiri.“Iya, Kak. Iya. Beliin Tyas sarapan, Kak. Tyas mau berangkat sekolah,” ucap Tyas. “Kakak belikan. Tapi kakak minta tolong, habis pulang sekolah, kamu jaga gadis itu, ya. Kasih dia makan juga,” pinta Bagus. Tyas menghela napas, “Siap, Kakakku,” kata Tyas. Bagus tersenyum. Diusapnya lembut kepala Tyas. Lantas, Bagus pergi untuk membeli sarapan untuk mereka sekeluarga. Namun, tiba-tiba saja ditahan oleh Tyas. “Kakak, tunggu!” Bagus menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap Tyas kembali. “Iya, Dek, ada apa?” tanya sang kakak. Tyas mengarahk
“Sudah tau pusing, lagi sakit. Sok-sokan pula kamu dengan kondisi lemah begini!” ujar Tyas sambil merangkul tubuh Hanna yang lemah.“Bisa mati aku dimarahin Kakak, kalau kau sampai mati di sini. Tentu juga sangat merepotkan kami mengurus biaya kematianmu,” sambung Tyas dengan perkataan yang tidak sopan.Hanna membulatkan kedua bola mata, seperti ingin keluar dari tempatnya. Seorang gadis berkata tidak sopan untuk ke sekian kali kepadanya. Namun, yang terlintas di pikiran Hanna, walaupun Tyas tidak sopan kepadanya, tetapi ia sangat menurutin perkataan Kakaknya. Membuat Hanna menjadi penasaran siapa sang kakak yang terus menerus diucapkan gadis itu.“Sebaiknya kamu makan, jika tidak makan kondisimu akan makin melemah. Maaf kami tidak bisa memberimu makan yang enak seperti yang kau makan sehari-hari di luar sana,” imbuh Tyas dengan intonasi yang pelan. ***Bagus tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari terakhir. Ketika ia akhirnya bisa tidur, malah di tempat yang tidak nyaman. Di te
Bagus menoleh. Entah sejak kapan Asep datang dan seenaknya menghardik dirinya begitu saja. Tak ubahnya seperti Julio tadi. Perkataan Asep lebih menohok. Namun, Bagus rasa Asep-lah orang yang tak tahu diri!“Tampangku masih lebih mending darimu, Asep,” batin Bagus. Bagus bangkit dari duduknya sambil mengontrol emosi di dada. “Mungkin kau sudah merasa kaya sekarang. Tapi, hartamu didapat dari jalan yang tidak halal. Harusnya kau sadar akan hal itu,” ucap Bagus. Untuk hal yang satu ini, ia berani melawan. Sebab Asep sama seperti dirinya. Bukan sombong, tetapi Bagus bisa mengatakan kalau dirinya lebih baik dari Asep. Tetangganya itu, entah berapa banyak keburukan yang ia buat, entah dari mana saja ia peroleh pundi-pundi kekayaannya. Terakhir kali, ia memergoki Asep yang menyekap seorang gadis dalam rumahnya. Bagus jadi teringat akan gadis itu. Bagaimana kondisinya sekarang? Pikir Bagus. “Berani kau melawan aku, Sialan!” umpat Asep. Hampir saja satu bogem mentah mendarat ke wajah Bagus,
“Pak, apa benar di sini sedang membutuhkan kuli angkut?” tanya Bagus. Lelaki itu menatap Bagus dari atas sampai bawah lalu berkata, “Iya, benar.”“Saya mau menjadi kuli angkut di sini, Pak. Apa bisa?” tanya Bagus. Karena kesibukan melayani pembeli, pemilik toko itu tak sempat menginterogasi Bagus. Dia pun mengiyakan saja. Bagus amat senang, terlebih dia langsung bekerja hari itu juga. “Tolong angkat barang belanjaan ibu itu,” titah pemilik toko. Bagus mengangguk. Menghampiri seorang wanita yang dimaksud sang pemilik toko. Bagus menatap barang belanjaan wanita yang asyik berkipas itu sampai-sampai menelan ludah. Barang belanjaannya begitu banyak. Karena diam saja, membuat ibu berpenampilan modis tersebut tampak marah. “Kenapa kau diam saja? Cepat angkat barang-barang saya.” Bagus tersentak, tubuh gemetar melihat mengerikannya tatapan wanita itu. Bagus langsung mengangkat sepuluh karung beras di pungungnya. Satu karung beras, beratnya sepuluh kilo. Oh, tidak, Bagus merasakan ini le
“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra